Rabu, 03 Februari 2010

Menulis seperti Murakami


Menulis bagi saya tetap sebuah misteri, bukan teka-teki. Apa perbedaan teka-teki dengan misteri? Teka-teki dan misteri sama-sama memerlukan jawaban. Teka-teki akan terjawab dengan bertahap atau langsung tergantung informasi yang tersedia. Semakin banyak informasi yang tersedia dan terkumpul, teka-teki semakin mudah terjawab. Sementara itu, misteri tidak tergantung dari ketersediaan informasi. Bisa jadi informasi yang tersedia banyak, tetapi bila informasi yang banyak tersebut tidak terangkai dengan baik, misteri tetap tidak terjawab. Sebaliknya, walaupun informasi yang terkumpul masih sedikit, misteri sudah terjawab dalam tahap tertentu bila pandai merangkai kepingan informasi yang tersedia. Begitu juga dengan aktivitas menulis. Menulis adalah misteri.

Minimal bagi saya pribadi, menulis itu tidak tergantung dari informasi yang saya miliki tentangnya. Sudah cukup banyak buku tentang menulis yang saya baca tetapi tetap saja, menulis dengan benar-benar cakap itu sulit. Uniknya, saya justru terbantu oleh beberapa buku yang tidak langsung memberikan informasi mengenai menulis akademis. Terdapat tiga buku yang paling berguna bagi saya dalam menulis.

Pertama, “On Writing” karya Stephen King (terbitan Qanita, 2005). Walau buku ini lebih banyak bercerita tentang penulis, bukan aktivitasnya, dan berbicara tentang penulisaan fiksi, buku ini menurut saya inspiratif bagi dunia tulis-menulis. Hal yang paling penting saya dapatkan dari buku ini adalah arti penting kata-kata yang tertulis. Menurut King, kata-kata itu sangatlah berpengaruh. Kata-kata adalah awal bagi kita dalam mencapai keinginan. Hal kedua yang saya dapatkan dari buku ini adalah perjuangan King yang luar biasa dalam menulis. Ia pernah dicerca sebagai penulis “buku sampah” bahkan pernah mengalami kecelakaan yang sangat serius. Walau begitu, ia tetap produktif menulis dan menghasilkan banyak karya.

Kedua, buku kumpulan tulisan berjudul “New Wave Marketing: The World is Still Round The Market is Already Flat” karya Hermawan Kartajaya (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2008). Sepintas buku ini adalah buku “biasa” tetapi sebenarnya tidak ada buku yang biasa. Semua buku selalu luar biasa dalam konteks upaya yang digunakan untuk mengkreasikannya. Buku ini adalah karya kolektif walaupun Hermawan adalah penulisnya. Ide yang penting bagi saya adalah bagaimana menghasilkan tulisan tiap hari walaupun singkat. Buku ini merupakan kumpulan tulisan setiap hari selama seratus hari di harian Kompas. Dari sinilah inspirasi untuk menulis satu tulisan per hari dengan rupa-rupa topik yang saya lakukan beberapa bulan ini berasal.

Dan terakhir, buku yang memberi inspirasi terbesar belakangan ini dalam menulis adalah buku sangat bagus berjudul “What I Talk about When I Talk about Running: A Memoir” karya Haruki Murakami (terbitan Vintage Books, 2008). Terus terang, setelah membaca buku ini dan beberapa karya Murakami yang lain, saya benar-benar ingin menulis seperti dia. Murakami di satu sisi menguatkan konsepsi saya atas tulis-menulis, namun di sisi lain “menghancurkan” pemahaman saya atas menulis.

Paling tidak ada tiga inspirasi yang saya dapat dari buku ini. Hal paling awal adalah cara menulis dengan berani. Menulis dengan berani adalah cara mengatasi pembatas di dalam diri kita sendiri. Murakami sempat memiliki karir yang bagus dengan klubnya tetapi ia tinggalkan demi memasuki dunia kepenulisan.
Seringkali kita merasa tidak mampu menulis dengan bagus, menganggap apa yang kita tulis biasa saja, atau pun tidak mungkin mencapai banyak hal dengan menulis. Apalagi di kehidupan sehari-hari waktu yang longgar untuk menulis memang sulit didapatkan. Murakami menunjukkan secara langsung bahwa menulis itu memang harus diperjuangkan dengan berani sebab tidak ada topik yang biasa dalam menulis, minimal bagi diri kita sendiri.

Menulis sebagai aktivitas biasa saja adalah inspirasi kedua yang saya dapatkan dari memoar Murakami tersebut. Saya pernah distigma tidak bisa menulis. Saya sangat terpukul karenanya. Dua tahun kemudian saya tersadar bahwa kenapa mesti terpukul? Saya terpukul karena saya masih menganggap menulis itu sebagai aktivitas luar biasa. Saya terpukul karena harapan saya untuk menulis dengan baik terhajar oleh stigma tadi. Ketika saya anggap menulis sebagai aktivitas “biasa”, justru saya mulai lebih enteng menulis. Menulis yang biasa tadi, justru pelan-pelan menjadi aktivitas yang luar biasa.

Murakami sendiri menganggap menulis adalah suatu yang biasa karena ia tidak pernah memikirkan dengan sangat mendalam ketika menulis pertama-kali. Ia menulis novel pertamanya dengan tiba-tiba, begitu saja. Ia ingin menulis sebuah novel dan ia menganggap rasanya bisa menyelesaikannya. Murakami menganggap dirinya biasa saja. Ia benar-benar menyelesaikan novelnya dan terus produktif berkarya setelahnya.

Hal terakhir yang saya dapatkan dari buku tentang berlari tersebut adalah menulis itu menyatu dengan kehidupan personal. Dalam kasus Murakami menulis itu adalah benar-benar aktivitas personal. Ia tidak berpretensi menjadi seperti penulis besar, atau menjadi seperti salah satu penulis besar, justru ia menjadi penulis hebat karena sikapnya itu. Ia menulis dengan caranya sendiri, menulis tentang hal-hal yang disukainya dan yang ia tahu benar. Ia sangat menyukai berlari, ia menulis tentang berlari. Berlari di tangan Murakami menjadi aktivitas yang “keren” dan indah.

Ah, sudahlah, saya sudah melantur terlalu jauh. Menulis akan terus menjadi misteri kecuali saya benar-benar mulai menulis. Menganggapnya sebagai hal biasa saja tetapi terus intens melakukannya. Melakukannya dengan mencoba membongkar keterbatasan yang kita miliki.

Menulis bagi saya tetap sebuah misteri dan tulisan ini adalah salah satu rangkaian saya memecahkan misteri tersebut walau entah sampai kapan. Sampai besok atau sepanjang hidup, saya tidak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...