Jumat, 19 Februari 2010

Anthony Giddens - Seri Tokoh


Suatu ketika saya bersama dengan seorang teman bercanda untuk menghilangkan kesumpekan. Kami berusaha menguji konsep narsisme dan kemungkinan seberapa narsis-nya kami. Pertama, kami mencoba bercanda dengan judul tulisan. Coba bayangkan tulisan berjudul seperti ini: “Antara Saya, Anthony Giddens, dan Stuart Hall”. Cukup narsis bukan?

Atau judulnya ini: “Saya di Mata Giddens”…hehe…memangnya siapa saya? Salah satu cara yang biasanya digunakan untuk menunjukkan narsisme adalah dengan menggunakan tokoh untuk “meninggikan” diri sendiri. Tokoh sendiri bisa dipertanyakan levelnya. Asalkan individu yang populer di mata masyarakat dan relatif berkontribusi secara luas, kita bisa menyebutnya tokoh. Dalam hal ini, Giddens adalah tokoh dalam bidang akademis. Tokoh di dalam dunia akademis bias dilihat dari kontribusinya di dunia pengetahuan secara umum. Hal ini bisa dilacak dari tulisan atau buku yang dihasilkan. Giddens sendiria ada di wilayah ilmu sosial dan sekaligus ilmu humaniora.

Pelajaran yang saya dapatkan dari uji-menguji tingkat narsistik itu adalah ternyata narsisme lebih bisa dilihat oleh orang lain. Ini berita bagusnya. Individu biasanya tidak ingin dinilai narsis. Individu cenderung melihat dirinya sendiri dengan tinta emas dan ada kemungkinan berlebihan dalam melihat diri sendiri. Jadi, saya dan mungkin teman saya itu, bisa sedikit lega karena walau kami mengaku agak narsis, belum tentu orang lain melihatnya demikian. Walau sebenarnya bisa juga sebaliknya.

Kembali kepada “tokoh” yang akan didedah ini. Kita menjelaskan tokoh bukan berarti kita mengkultuskannya. Bisa juga kita berusaha melihat tokoh untuk menunjukkan kontribusinya dalam bidang tertentu. Dalam konteks dunia pemikiran, seorang tokoh biasanya dikaji dengan konsep pemikiran yang disampaikannya. Katakanlah, bila kita membicarakan Giddens, berarti sedikit banyak kita akan membicarakan strukturasi juga. Jadi, mendedah seorang tokoh keilmuan, bukan berarti pendedah tersebut berusaha menjadi epigon ataupun fans dari sang tokoh.

Saya baru sekali menakar tokoh, yaitu Stuart Hall. Menurut saya, menakar tokoh jauh lebih sulit dibandingkan dengan menakar buku ataupun album musik. Banyak tokoh yang ingin saya takar dan kisahkan, terutama tokoh ilmu komunikasi. Untuk kali ini saya akan menelaah Giddens yang pemikir “luar” ilmu komunikasi dulu sajalah. Kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk menelaah tokoh ini di dalam riset terkini dan mungkin yang terbesar bagi saya.

Di dalam tulisan singkat ini, saya ingin secara singkat berkisah tentang Anthony Giddens. Kemudian akan dijelaskan kontribusi pemikirannnya secara umum. Pada bagian terakhir akan berusaha ditelaah hubungan konsepsi pemikiran Giddens dengan fenomena ilmu komunikasi, ilmu yang sedikit saya kuasai.
Pertanyaan awalnya adalah: siapa Giddens? Untuk mengenal Giddens secara singkat berikut ini saya ambil biografi singkatnya dari situs LSE (London School of Economy):

Giddens lahir tanggal 18 Januari 1938 di Edmonton, North London. Ia menempuh pendidikan di University of Hull and London School of Economics. Giddens menulis disertasi yang berjudul “Sport and Society in Contemporary Britain”. Ia mengajar di University of Leicester dan juga Cambridge, tempat ia mendapatkan gelar professor Sosiologi. Ia menjabat direktur LSE pada tahun 1997 sampai 2003. Ia mendapatkan gelar kehormatan dari 15 universitas. Buku-bukunya telah diterjemahkan dalam kurang lebih empat puluh bahasa. Giddens adalah orang pertama di keluarganya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Giddens juga adalah seorang supporter loyal dari klub sepakbola daerahnya, Tottenham Hotspur. Klub London yang lain selain Spurs yang berlaga di divisi Premiership adalah Arsenal, Chelsea, Fulham dan West Ham United.

Kontribusi terbesar Giddens terutama berasal dari buku yang ditulisnya pada tahun 1984, yang berjudul “The Constitution of Society”. Melalui buku inilah pemikiran terpenting Giddens terlacak. Konsepsi yang kita kenal sebagai strukturasi. Ia melihat bahwa kajian ilmu sosial selalu berada pada dua kutub besar. Pandangan klasik melihat bahwa struktur (pandangan makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (pandangan mikro), yang ia sebut agen.

Cukup lama kedua kutub pemikiran tersebut meraja dalam ilmu sosial. Giddens mengambil “jalan tengah” dan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Inilah yang ia sebut dengan nama strukturasi. Melalui konsepsinya ini, Giddens menerabas hutan belantara teori sosial. Pohon-pohondi dalam rimba yang coba “dilampaui” oleh Giddens adalah fungsionalisme, interaksionisme, strukturalisme, post-strukturalisme, dan post-modernisme. (dikutip dari buku “Anthony Giddens: Suatu Pengantar” (2002) oleh B. Herry-Priyono, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia).

Selain itu, melalui strukturasi, Giddens juga menunjukkan makna dualitas. Biasanya di dalam ilmu sosial, dua elemen hadir untuk saling “meniadakan” satu sama lain. Ini dikenal sebagai dualisme. Giddens kemudian membedakannya dengan melansir konsep dualitas, yaitu karakter dari dua elemen yang “menyatu” adalah saling melengkapi. Salah satu ada karena yang lain ada.

Melihat sedikit eksplanasi di atas tentang kontribusi pemikiran Giddens dalam ilmu sosial, kita pun bisa menyimpulkan bahwa kontribusi pemikiran Giddens di dalam ilmu komunikasi cukup besar pula. Paling tidak ini ditunjukkan dalam buku “Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal” yang ditulis oleh Vincent Mosco pada tahun 1996. Mosco menggunakan strukturasi sebagai salah satu pintu masuk untuk mendedah fenomena media dari sudut pandang ekonomi politik. Dua pintu masuk yang lain adalah komodifikasi dan spasialisasi. Pada konsep spasialisasi pun, sebenarnya Giddens juga berkontribusi karena ia juga menelaah konsepsi ruang dan waktu.

Buku lain yang cukup bagus yang juga menggunakan pemikiran Giddens adalah buku yang ditulis oleh David Gauntlett pada tahun 2002, yang berjudul “Media, Gender and Identity: An Introduction”. Di dalam buku ini, Gauntlett menggunakan pemikiran Giddens untuk menelaah interaksi identitas dan media melalui telaahnya atas modernisasi. Juga melalui telaah Giddens atas tubuh, keagenan, dan identitas. Giddens di dalam buku ini disandingkan dengan pemikiran Foucault untuk menelaah identitas.

Menurut saya, pemikiran Giddens membuat ia masuk dalam kategori “atap” di dalam rumah ilmu komunikasi. Giddens tidak “mendirikan” rumah, dan ruang-ruang di dalamnya, ia menaungi rumah yang ada. Pemikiran Giddens sangat dekat dengan fenomena industri media dan komunikasi organisasi. Pemikirannya bisa digunakan pada hampir semua fenomena komunikasi media ataupun non-media.

Di dalam kajian media misalnya, kita bisa melihat wartawan sebagai agen, kemudian pola kerja, prosedur, dan yang berkaitan dengan konteks produksi pesan lainnya adalah struktur. Berita yang diproduksi tersebut selalu berkaitan dengan kecakapan wartawan, ketentuan prosedur di dalam profesi pencari berita, dan strategi organisasi media di mana wartawan tersebut bekerja. Proses produksi berita tersebut juga ada di dalam “struktur” lain yang lebih besar, semisal norma yang berlaku di dalam masyarakat, dan juga “sistem” bila struktur tersebut sudah relatif stabil.

Demikianlah, fungsi tokoh dan pemikirannya di dalam telaah memang bukan semata-mata untuk mengenal dan memahaminya, melainkan juga untuk lebih bagus dalam mengamati fenomena yang ada di dalam kehidupan. Jadi tidak penting “Saya di Mata si Tokoh” atau “Tokoh di Mata Saya”. Hal yang terpenting adalah bagaimana kita lebih dekat dan menyelami kehidupan dengan sebaik-baiknya.


(gambar dipinjam dari top-people.starmedia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...