Kamis, 28 Januari 2010

Jazz Jazz Jazz


Sejak mendengarkan album milik duo Daryl Hall and John Oates yang berjudul “Change of Season”, album pertama yang saya dengarkan dengan mendalam, pada tahun 1991, banyak album musik yang sudah saya akses. Itu pun bila meniadakan “pergaulan” saya pada tahun 1980-an dengan album-album musik milik ayah saya, semisal Bee Gees, The Beatles, Lobo, Chrisye, Ebiet G. Ade, Franky and Jane, dan sebagainya.

Banyaknya jumlah album musik yang saya akses itu sekitar seribuan. Tidak semua album itu saya kenali dengan baik. Ada yang sangat saya kenal dengan baik karena sering sekali saya dengarkan, sampai yang tidak terlalu kenal karena hanya saya akses beberapa-kali. Bagi saya, “bergaul” dengan album-album musik tersebut mirip dengan bergaul dengan sesama manusia. Ada teman atau kenalan yang kita pahami betul karena senang dan cocok berinteraksi bersamanya, sampai teman yang hanya kenal-kenal belaka dan jarang berinteraksi karena berbagai hal.

Ada juga kenalan atau orang yang kita tahu tetapi kita tidak terlalu intens berinteraksi dengannya. Penyebab kita kurang intens berkomunikasi dengan diri orang tersebut juga banyak musababnya, entah karena tidak terlalu cocok karena pandangan atas dunia serta cara dirinya berekspresi berbeda dengan kita. Bisa juga karena dia berada pada bidang yang jauh berbeda dengan diri kita, bahkan pada bidang aktivitas yang mungkin tidak kita pahami.

Walau kita tidak terlalu intens dan kurang memahami seseorang itu, kita mengetahui bahwa ia adalah individu yang baik. Individu yang bahkan secara kualititas menempatkan dirinya sebagai manusia yang unggul. Dua individu, atau lebih, yang saling mengenal tetapi tidak dekat, bahkan tidak cocok, satu sama lain, bukan berarti salah satu individu tidak baik menurut dimensi umum. Hanya tidak cocok saja. Titik. Sesuai dengan analogi itulah saya mengetahui jazz. Saya tidak terlalu memahaminya tetapi saya tahu jazz memiliki “kualitas” yang bagus sehingga saya perlu menjaga interaksi dengannya dengan tetap rapi agar inspirasinya tetap saya dapatkan.

Setelah saya mengulik lagi koleksi album saya, hanya sedikit album dari genre jazz yang saya miliki dan saya akses dengan intens. Album-album itu adalah (berdasarkan urutan akses): Fourplay – Elixir (1995), Dave Grusin - The Fabulous Baker Boys Soundtrack (1989), Chet Baker – The Best of Chet Baker Sings (1989), Miles Davis – Kind of Blue, Miles Davis – Cool and Collected (2006), dan Herbie Hancock - River (The Joni Letters) (2007). Saya juga tidak memiliki album jazz dari musisi ataupun penyanyi Indonesia.

Dari sisi kuantitas tentunya jumlah album jazz ini jauh dari jumlah album dari jenis musik yang lain, terutama rock, alternatif, dan “disco” 80-an. Melalui jumlah album jazz ini saya juga belajar banyak, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa saya tidak menyukai jazz dulu.

Dengan melihat album-album jazz yang saya miliki, saya bisa membayangkan selera musik saya yang dulunya tidak menyukai jazz. Alasan yang pertama adalah “kemapanan” yang dibawa ole jazz. Bila mengingat musik jazz jaman dulu ketika kuliah, saya ingat persis bahwa musik jazz-lah yang lebih bisa masuk ke kampus UGM tercinta, apalagi bila penyelenggaranya adalah fakultas sebelah yang memang kesannya lebih “mapan”. Sementara, saya dulu mengidentikkan diri anti kemapanan sehingga musik yang didengar adalah alternatif. Mesti diingat sewaktu saya kuliah S1, alternatif menjadi genre musik yang baru muncul dan merajai selera musik anak muda.

Satu contoh kasus adalah ketika teman saya ingin memberi saya hadiah album musik ketika saya berulang tahun pada tahun 1996. Dia telah membelikan saya album Elixir oleh Fourplay. Saya menolaknya dan meminta album yang lain. Sialnya, album yang saya minta itu adalah album yang kurang bagus, bahkan saya lupa nama penyanyinya, yang saya ingat hanyalah band tersebut digadang-gadang setara dengan Oasis, Blur, Stereophonics, dan Ash, yang dulu baru mulai terkenal. Band itu malah tidak terdengar lagi sekarang.

Album-album jazz yang lain saya akses karena rekan-rekan saya mengakses musik selama kuliah dulu. Ada rekan yang mengenalkan Elixir juga, serta mematenkan selera musik saya pada U2 dan REM. Ada juga teman yang mengenalkan saya pada Dire Straits. Bila tidak dikenalkan olehnya, mana mungkin saya tahu band “aneh” itu? Hehe…Teman lainnya mengenalkan saya pada musik “tua”, antara lain musik bergenre jazz ini.

Penyebab lain saya tidak menyukai jazz dahulu adalah minimnya kehadiran lirik. Kebanyakan lagu jazz adalah instrumental. Saya tidak tahu musik sebagai musik belaka, biasanya saya memahami dan mencoba-coba menakar musik melalui liriknya. Alasan ini perlahan-lahan saya hilangkan, toh lirik adalah bagian dari bunyi pula. Musik dan lirik adalah satu kesatuan di dalam lagu. Kehadiran salah satu adalah intinya, bukannya ketidakhadiran salah satu, untuk diakses dan dipahami.

Wah, saya sudah terlalu banyak bercerita di luar albumnya sendiri. Inilah album jazz Indonesia pertama yang saya dengarkan dengan lumayan mendalam. Musik yang bagus, cerdas, dan mengingatkan saya pada musik Indonesia yang kaya. Semua lagunya, dua belas, bagus sekali. Nomor yang paling saya sukai adalah “I Wish” dari CD 1 dan “Bulan di atas Asia” dari CD 2.

Selain itu, album ini menjadi teman saya belakangan ini untuk membaca. Bagi saya, mendengarkan album musik yang dikombinasikan dengan pesan media lain, adalah sebentuk petualangan yang mengaksyikkan. Kombinasi yang bagus adalah, musik dan buku, dan musik dan film. Biasanya saya mendapatkan manfaat yang banyak dari pesan media bila digabung dengan musik.

Musik jazz menguatkan itu. Jazz bahkan menjadi sangat berguna setara bila saya membaca dengan mendengarkan Bjork, Sonic Youth, dan Nine Inch Nails. Musik yang memberi ruang ekspresi indivual bagi musisinya walau masih dalam kesatuan utuh sebuah band. Selain itu, saya juga mendengarkan jazz karena membaca sebuah review tentang album Sonic Youth, yang menyatakan bahwa Sonic Youth adalah satu-satunya musisi jazz yang membalut musiknya dengan gaya alternatif. Bila saya mendengarkan Sonic Youth, mengapa saya tidak mendengarkan jazz sekalian?

Album ini adalah double album. Pengalaman saya dengan double album selalu positif. Memperbincangkan double album saya jadi ingat dengan The Beatles – White Album (1968), Gun N Roses – Use Your Illusion (1991), Smashing Pumpkins – Mellon Collie and Infinite Sadness (1995), dan Manic Street Preachers – Lipstick Traces (2003). Semuanya album bagus dan kesan saya diperkuat oleh album ini yang juga double.

Walau demikian, ada perbedaannya juga, pada album-album yang saya sebut itu, kemungkinannya menjadi double album adalah materi lagu yang banyak, yang tidak cukup ada dalam satu album tetapi tidak mungkin menunggu lagi untuk merilis album. Sementara itu, album ini menjadi double karena sebab lain, yaitu masa waktu karya yang berbeda. CD pertama diproduksi pada tahun 2009, sementara itu CD kedua diproduksi sebelas tahun sebelumnya, pada tahun 1998. Walau demikian, tidak ada perbedaan kualitas dari keduanya. Perbedaannya hanya pada line up untuk kedua CD, pada CD pertama Dewa Budjana hadir bersama Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, AS Mates, dan Donny Suhendra. Pada CD kedua, yang hadir adalah Embong Rahardjo, musisi kawakan Indonesia.

Sebagai tambahan, cover dan pengemasan album ini juga sangat bagus. Saya senang sekali dengan sampulnya yang berupa lukisan oleh Erica Hertu Wahyuni. Secara umum, banyak kemajuan dalam pengemasan album musik Indonesia belakangan ini. Tentu saja ini sinyal yang positif bagi para penggemar musik yang mengoleksi album musik Indonesia bukan bajakan. Mengakses album Indonesia asli memang banyak kebahagiaannya…hehe…

Dari lima album yang sudah saya takar di tahun 2010 ini, album ini adalah album terbaik dan semoga begitu sampai akhir tahun sehingga album ini bisa jadi deretan album Indonesia terbaik pada tahun ini. Sesuai dengan judulnya, keindahan, kedalaman, dan keragaman ekspresi jua yang saya rasakan. Album ini sangat layak untuk didengarkan walau saya sampai sekarang belum dapat memahami jazz secara utuh penuh. Manfaatnya banyak saya dapatkan sekaligus keindahannya begitu menghanyutkan.

Judul : Joy Joy Joy
Musisi : Javajazz
Tahun : 2009
Label : Inline Music, distribusi oleh Demajors


Daftar lagu:
CD1
1. Exit Permit
2. Border Line
3. I Wish
4. Joy Joy Joy
5. Going Home
6. Java’s Weather
CD2
1. The Seeker
2. Lembah
3. Bulan di atas Asia
4. Drama
5. Violation
6. Crystal Sky

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...