Jumat, 07 Mei 2010
300, Eh...200
Tulisan ini sebenarnya sudah saya pikirkan cukup lama. Rencananya akan diunggah dua tulisan sebelumnya. Kira-kira motifnya untuk sedikit bersenang-senang "merayakan" tulis-menulis yang sudah ada di sini. Saya ingin menghasilkan tulisan yang mencabik-cabik hati, minimal hati orang-orang terdekat dan hati sendiri. Namun apa daya, dipikir-pikirkan, dirancang-rancang, tulisan tidak jadi juga. Sulit memang mengatur waktu untuk kesenangan bila ada pekerjaan lain yang aktivitas utamanya menulis juga. Maksud saya, menulis sebagai pekerjaan. Hal yang terbaik adalah kombinasi bagi keduanya: menulis untuk kesenangan dan pekerjaan.
Lalu, kondisi saat ini di mana saya sendirian berada di kota yang selalu asing. Di kota yang area akrabya sedikit saja, ditemani televisi tanpa suara, saya akhirnya bisa menulis lagi. Kemudian, problem baru muncul. Apa yang mesti ditulis? ada banyak hal yang saya pikirkan dan alami, yang mana dulu? atau apakah harus memilih salah satu saja, atau berusaha menggabungkan semuanya? saya berpikir agak lama. Pertanyaan terakhirlah yang menjadi pilihan. Semua hal yang saya alami dan pikirkan sekitar seminggu ini akan saya tuangkan. Masalah baru kemudian muncul, yang mana dulu? Inilah problem eksistensial dari menulis. Sekalipun merasa sudah siap, hal-hal teknis praksis tetap menjadi problem bagi kita tidak hanya dalam dunia menulis. Bukankah begitu?
Jumat minggu kemarin saya menonton Jagongan Wagen. Acara yang diselenggarakan di Padepokan Bagong Kussudiardjo itu sebenarnya sangat dekat dengan rumah saya, tetapi saya tidak pernah menyaksikannya. Penyaksian saya yang pertama untuk Jagongan Wagen ya kemarin itu. Topiknya adalah Image (ing) body. Bagus sekali, tidak hanya pertunjukannya melainkan juga penontonnya, yang "khusyuk" dan tertib menyaksikan. Menginspirasi dan menunjukkan bahwa tubuh memiliki potensi-potensi melampaui kebertubuhan. Tuhan, sang Pencipta Tubuh, terima kasih untuk penyadaran cara lain "menikmati" ciptaan terhebat-Mu itu.
Hal lain yang juga saya syukuri adalah bekerja bersama teman-teman dari berbagai disiplin ilmu. Bersama teman-teman sedisiplin ilmu dan sevisi untuk riset lembaga penyiaran publik. Bersama teman-teman dari disiplin ilmu yang berbeda untuk mendedah bencana, tentu saja saya kebagian aspek komunikasinya. Aktivitas ini menyadarkan saya sekali lagi bahwa disiplin ilmu yang saya dalami ini luar biasa sampai-sampai rekan dari disiplin ilmu lain pun sangat tertarik. Sekali lagi, bagaimana menjadikan apa yang kita pelajari sebagai "jalan hidup" adalah problema eksistensial kita sepanjang hidup.
Semingguan ini saya juga bahagia karena tulisan bimbingan saya termuat dalam Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010, majalah musik terkemuka. Saya melihat dia semakin menemukan "nyala api"-nya untuk menjadi jurnalis musik. Salah satu kebahagiaan adalah membantu individu lain menemukan jalan hidupnya. Ini adalah kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan mendapatkan uang berapa pun dari berprofesi.
Televisi adalah hal lain yang saya pikirkan. Ini gara-gara saya mendengarkan lagi album Melbi, "Balada Joni dan Susi". Album yang utuh penuh mendedah televisi dan dampaknya pada masyarakat kelas bawah. Tetapi pertanyaannya, apakah televisi memang benar-benar berhala? bila iya, kemudian bagaimana ia menjadi berhala, tidak lagi berhala kecil tetapi sudah berhala besar? kemudian saya juga menyadari betapa pemahaman saya akan media televisi ini minim. Saya ingin mendalaminya lagi. Ini bukan hal yang sulit karena sebenarnya saya punya bahan bacaan yang relatif memadai untuk televisi. Tinggal mendalaminya saja.
Justru inilah titik yang mengarahkan pada problem baru. Betapa banyak buku yang dimiliki tetapi yang belum dicerna dengan baik, betapa banyak album musik yang belum diapresiasi dengan ciamik. Saya terus membeli buku, film, album, tetapi apakah sudah benar-benar optimal mengaksesnya? Jelas harus diupayakan untuk mendalaminya.
Terakhir, entah mengapa ketika menulis judul "200", saya jadi ingat dengan film "300". Film lumayan bagus tetapi dengan cara pandang buruk terhadap "the other". Film yang bukan tentang tulis-menulis sebenarnya tetapi justru saya jadi ingat dengan aktivitas menulis. Hal yang paling saya ingat dari film "300" adalah bagaimana 300 petarung berperang dengan hebat dan efektif bisa mengalahkan kelompok petarung lain yang jauh lebih banyak. Dalam kasus saya, apakah 200 tulisan saya benar-benar jadi "petarung" yang baik bagi diri saya. Saya tidak terlalu percaya dengan adagium "pengarang telah mati" karena bagaimana pun tulisan kita adalah bagian dari eksistensi diri. Tulisan-tulisan tersebut akan "bertarung" bagi diri kita, sebagai wacana dan sebagai pembentuk persepsi atas diri.
Saya juga ingat dengan tiga film lain. Tidak seperti film "300" yang tidak berkaitan langsung dengan menulis, ketiga film ini berkaitan langsung dengan tulis-menulis. Ketiga film itu adalah, "Julie and Julia", "Jane Austen's Book Club", dan "Stranger than Fiction". "Julie and Julia" menunjukkan bahwa menulis (blog) itu bukanlah perkara menulis saja tetapi lebih jauh dari itu. Menulis adalah masalah pembuktian diri sendiri mengatasi segala kelemahan yang ada. "Jane Austen's Book Club" memperlihatkan bahwa karya seorang penulis bisa menjadi bahan diskusi yang asyik, sekaligus cerminan bagi hidup kita. Lewat novel-novel Jane Austen, semua tokoh dalam film ini "mengambil" pelajaran. Fiksi bisa berpengaruh begitu besar pada kehidupan ternyata. Dan yang paling saya suka, "Stranger than Fiction", menjadi metafora bahwa kehidupan pengarang dan tulis-menulis itu sangat dekat dengan hidup yang sesungguhnya, bahkan bisa mengubah hidup itu sendiri.
Wah, saya mesti berhenti di sini. Saya tidak ingin "jatuh cinta" lebih mendalam pada film. Cukuplah hanya pada musik populer dan buku. Ini pun sudah menghabiskan waktu, masih banyak album yang belum dikulik dan ditakar, begitu pun masih banyak buku yang belum terbaca, terutama buku-buku Haruki Murakami yang begitu "mengisap" diri itu. Juga buku-buku teks kuliah yang bejibun itu, serta masih banyak dendam yang mesti dituntaskan pada hidup yang fana dan tak fana.
Sementara, cukuplah dua ratus ini dulu. Terima kasih untuk Pencipta Sungai Waktu yang membolehkan saya mengarungi sungai itu dengan mengakses pesan media dan menulis.
Terima kasih untuk para perangkai kata yang selalu memberi inspirasi di tiap pagi seperti ini.
Sementara sampai di sini dulu....
Sementara, biarkan sungai waktu mengalir seperti biasanya....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar