Jumat, 07 Mei 2010

Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 5)


Pertengahan dekade 1990-an dan awal 2000-an kemajuan teknologi tidak hanya memunculkan dua media baru bagi masyarakat Indonesia, internet dan handphone, media baru yang lain, game, menjadi jauh lebih maju dan bersinergi dengan internet dan handphone pula. Hal yang terpenting adalah bagaimana teknologi mengubah media “lama” menjadi lebih “bertenaga”. Teknologi informasi dan komunikasi menjadikan fungsi produksi, penyimpanan, tampilan, dan distribusi menjadi jauh lebih mudah dan murah dibandingkan era sebelumnya.

Dalam media film misalnya, produksi pesan film menjadi lebih mudah. Tidak lagi diperlukan kamera yang “berat”, mahal dan sulit dibawa. Penyuntingan film juga menjadi lebih mudah. Siapa pun yang ingin mengedit, tidak perlu belajar terlalu lama dan membutuhkan biaya yang relatif besar. Dengan kesungguhan dan kemauan untuk berlatih, seseorang dapat menguasai program editing. Program komputer untuk mengedit gambar yang free juga bisa didapat di internet. Pun ilustrasi musik dan gambar bisa diunduh dari internet, terutama yang tidak menjadi obyek hak cipta.
Kelompok usia yang memanfaatkan kesempatan keterbukaan di bidang film ini adalah kaum muda. Kaum muda kemudian berkomunitas untuk memproduksi film dan juga aktivitas di seputarnya. Kaum muda Yogyakarta kemudian banyak memproduksi film indie.

Dua topik besar inilah yang kemarin dibahas di “Angkringan Gayam”, sebuah acara diskusi mengenai fenomena media dan budaya populer kaum muda di Yogyakarta. Acaranya sendiri berlangsung Senin kemarin, 19 April 2010. Angkringan Gayam kali ini menghadirkan paling banyak narasumber sepanjang yang saya ikuti. Karena ramai dan yang dibicarakan menarik, inilah Angkringan Gayam terheboh sejauh ini.

Narasumber yang hadir adalah Ismail Basbeth dari hideproject, Damar Ardi dari situs komunitasfilm.org, dan Abraham Mudito (Abib) dari FFD (Forum Film Dokumenter), serta ditambah Ipung yang diwawancarai melalui telepon. Seperti tugas saya dua minggu sekali, saya menjadi co-host membantu Sondy Garcia.
Seperti yang diduga sebelumnya, terutama dalam obrolan sebelum on air, topik pembicaraan meluas kemana-mana karena dua istilah ini, film indie dan komunitas film itu, luas sekali.

Walau begitu, bukannya diskusi tanpa benang merah juga, banyak informasi dan pengetahuan mengenai komunitas film di Yogya yang memproduksi film indie dan bukan indie. Pertanyaannya, seperti yang dijelaskan oleh Mail, independen terhadap apa?

Kita selalu mengaitkan film indie dengan independensi terhadap pasar (atau kepentingan ekonomi). Ternyata, ranah produksi bisa tidak independen terhadap kepentingan lain, tidak hanya ekonomi. Masih menurut Mail, perkembangan film indie di Indonesia berbeda dengan perkembangan di Amerika, karena di sana film indie lahir untuk “melawan” struktur yang sudah mapan, sementara di Indonesia struktur tersebut belum mapan sehingga ketika banyak pihak mengaitkan rilis film “Kuldesak” sebagai tonggak film indie. Asumsi itu belumlah tepat.

Abib juga menambahkan, bahwa ketika film dokumenter dimasukkan, ia memiliki sejarah yang relatif berbeda dengan film fiksi dan film eksperimen yang indie dan non-indie sekali pun. Forum Film Dokumenter yang diasuh Abib dan kawan-kawan memiliki visi sederhana saja, yaitu ingin mengenalkan film dokumenter pada masyarakat Indonesia, terutama Yogyakarta, dengan lebih baik lagi.

Begitu juga dengan komunitas film. Istilah ini merujuk pada wilayah yang luas. Komunitas yang mana? Ada komunitas yang memproduksi film, ada yang eksebisi, seperti Kinoki, dan ada yang menjadi semacam organisasi yang mengumpulkan informasi seperti Rumah Sinema. Jadi komunitas film itu luas sekali. Hal yang terpenting adalah komunitas film itu cair sekali. Biasanya komunitas film berkumpul dan bekerja sama atas kesamaan visi.

Jumlah komunitas film sendiri di Yogyakarta tidak bisa dihitung dengan pasti. Selain ranah yang luas, dari hulu ke hilir, sifat komunitas yang cair dapat menyulitkan “penghitungan” tersebut. Walau begitu, geliat komunitas film di kota tercinta ini sangat terasa. Hal tersebut antara lain ditunjukkan animo anak SMA yang mengirim film dokumenter. Menurut Abib, salah satu pemenang bicara di film dokumenternya tentang sulitnya menjadi difabel di Yogyakarta. Di film tersebut, remaja dari sebuah SMA mencoba menyusuri Yogya dengan kursi roda, yang ternyata sulit sekali. Ini baru satu contoh animo. Bila banyak film dokumenter berbicara tentang kota Yogya dan kehidupan penduduknya, tentu saja pengetahuan dan pemahaman kita atas kota multikultur ini akan lebih baik.

Siapa yang “merangkai” seluruh aktivitas komunitas film tersebut? Salah satu pelakunya adalah situs komunitasfilm.org, yang salah satu pengelolanya adalah Damar Ardi. Sebenarnya situs ini tidak hanya mendokumentasi kegiatan komunitas film di Yogya tetapi juga di seluruh Indonesia. Informasi terbaru mengenai aktivitas komunitas film di seluruh Indonesia bisa diketahui dari situs ini. Visi situs ini terlihat dari highlight-nya “Kantor Berita Komunitas Film Indonesia”. Walau begitu, situs ini tidak hanya memberikan informasi terbaru, tetapi juga “sharing” pengalaman individu dan komunitas film. Hal ini terlihat dari rubrikasi di situs ini, ada berita, agenda dan review. Sepengamatan saya, situs ini cukup ciamik menjadi wahana komunitas film di Indonesia untuk berkomunikasi.

Narasumber yang diwawancarai via telepon, Ipung, juga memberikan pendapatnya, bahwa untuk memproduksi film ini cukup mudah, asalkan penuh dengan rasa senang. Ipung juga aktif dalam menyebarkan kemampuan memproduksi yang sebenarnya relatif mudah dipelajari. Melalui tafsiran literasi media, kemampuan produksi pesan adalah kecakapan tertinggi dalam kehidupan bermedia seseorang. Inilah karakter utama dari media terbuka, yaitu mudahnya berbagai pihak menjadi produsen dan pengakses pesan.

Lalu bagaimana menjadi kreator film yang baik? Ismail memberikan rumusannya. Untuk itu seseorang mesti menonton, membaca, memproduksi, dan “ngomong”, mengenai film. Sebenarnya “resep” ini dapat berlaku pada semua jenis pesan media.
Menonton artinya, seseorang mesti menonton banyak film bagus untuk menjadi kreator yang bagus. Ia mencontohkan bagaimana film Iran adalah jenis film yang bagus, tidak perlu terlalu mahal biaya yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Juga tidak terlalu memerlukan teknologi yang mahal. Film Iran relatif berkualitas tinggi dengan “keterbatasan” tersebut.

Selain menonton, seorang calon kreator film juga mestinya banyak membaca mengenai dunia film. Dengan begitu, ia akan menemukan informasi terkini mengenai film dan hal-hal penting lainnya berkaitan dengan film. Sayangnya, buku-buku tentang film relatif langka di sini. Walau begitu, internet dan komunitas kritisi film menjadi sumber informasi yang bagus.

Ketiga, memproduksi. Aktivitas ini juga merupakan keharusan, sebab bagaimana seorang kreator film dikenal dan diakui bila tidak memproduksi film? Minimal ia harus mencoba untuk memproduksi walau pada tahap awal biasanya belum bagus, hal ini tetap dibutuhkan sebagai sarana pembelajaran. Bukankah manusia merangkak terlebih dahulu waktu kecil untuk bisa berlari?

Aktivitas yang terakhir adalah apa yang diistilahkan oleh Mail sebagai “ngomong”. Ngomong di sini berarti berdiskusi. Bisa dengan teman atau orang-orang lain. Di sinilah arti penting sebuah komunitas atau forum. Kita bisa berbagi dan bertukar informasi. Ini yang masih lemah di Indonesia. Tidak hanya di media film, indie ataupun bukan, semua media di Indonesia relatif lemah dalam “ngomong” atau dalam film disebut kritik film. Entah bila kondisinya sudah berubah, tetapi saya pernah membaca berita bahwa dalam perhelatan film nasional, kategori kritik film tidak ada “pemenangnya” karena tidak ada (naskah) kritik yang masuk ke dewan juri.

Pada titik inilah, konsepsi media terbuka menjadi penting, bahwa media terbuka adalah kombinasi yang bagus antara teknologi media dan “komunitas”. Bahwa media tidak lagi digunakan secara membabi-buta untuk menguasai pihak lain. Teknologi baru semestinya menjadikan media sebagai “kawan” bagi demokrasi dan pemberdayaan warga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...