Jumat, 07 Mei 2010

Fans Sepakbola, Piala Dunia, dan Media

Pukul 04.00 saya terbangun dan langsung menyalakan pesawat televisi. Saya tahu bahwa sudah terlambat untuk menyaksikan pertandingan semifinal leg 2 antara Barcelona versus Inter Milan. Ternyata memang tidak mungkin dua hari berturut-turut begadang karena bagaimana pun juga tubuh memerlukan istirahat walaupun hasrat untuk menonton tetaplah sangat kuat.

Hasilnya sudah diketahui, walau Barca menang 1-0, mereka tetap tidak lolos ke final untuk mempertahankan gelarnya. Dua tim yang lolos adalah Bayer Munchen dan Inter Milan. Terakhir Munchen masuk ke final pada tahun 2001, saat mereka merebut gelar juara dengan mengalahkan Valencia. Sementara, Inter lebih lama lagi, lebih tua dari umur saya :) Inter terakhir lolos ke final pada tahun 1972.

Wah, saya terlalu melantur untuk dalam membuka tulisan. Salah satu intinya adalah, sepakbola itu sesuatu yang sangat menarik. Para penggemarnya rela begadang "hanya" untuk menonton sepakbola. Itu pun belum cukup, para penggemar sepakbola kemudian merasa mesti berasosiasi atau berkomunitas untuk "memaksimalkan" akses mereka pada sepakbola.

Itulah yang kami bicarakan dalam program talkshow "Angkringan Gayam" di Geronimo FM pada tanggal 26 April 2010 pukul 21.00 - 22.00 kemarin, sebuah topik lebar: fans sepakbola, Piala Dunia, dan Media. Sebenarnya saya juga tetap ingin menggunakan judul "Media Terbuka dan Musuh-musuhnya", tetapi rasanya sudah bosan ketika sudah mencapai episode ke-5. Saya juga bisa menggunakan judul "Media Tertutup dan Kawan-kawannya", tetapi judul ini bernuansa kurang konstruktif. Jadi, saya menggunakan judul "biasa", dan semoga isinya tidak biasa-biasa saja :)

Diskusi kali ini mendatangkan sebuah komunitas fans sepakbola dan juga mewawancarai salah seorang wartawan yang dekat dengan sepakbola. Fans sepakbola yang diundang adalah Milanisti Indonesia atau para fans klub besar Italia, AC Milan. Tiga orang datang mewakili Milanisti "cabang" Yogya, yaitu: Fajar, Damar dan Helmi (saya mesti mengecek nama lengkap mereka yang sampai sekarang belum saya dapatkan). Sementara wakil dari pekerja media adalah Arya, wartawan Detiksport.

Para fans Milan bercerita bahwa mereka terbentuk pada tahun 2007 di mana awalnya mereka hanya terdiri dari sedikit sekali orang. Hal yang unik adalah mereka berkumpul juga karena bermain "bola mini". Dulu olahraga bernama futsal belumlah dikenal. Pada awal berdirinya mereka hanya menggunakan milist dan mononton bersama atau "nonbar"/"nobar" (yang biasa saja). Kini, mereka menggunakan berbagai media baru untuk berkomunikasi secara internal, antara lain tentu saja Facebook. Sementara penggunaan media yang lain adalah televisi. Karena "perayaan" menonton bersama ini adalah "ritual" yang penting bagi pecinta sepakbola selain bertukar dan berbagi informasi dan pengetahuan.

Berdasarkan obrolan dengan ketika orang Milanisti tersebut, kita jadi memahami lebih mendalam tentang aktivitas para penggemar sepakbola. Mereka berkumpul karena kesukaan pada klub yang sama, berbagi dan bertukar informasi mengenai klub yang mereka sukai dan juga informasi mengenai sepakbola pada umumnya , dan menonton pertandingan bersama. Selain itu, aktivitas menonton bersama ini "diperluas" lagi dengan menonton bersama dengan fans klub lawan. Fenomena ini adalah "pertandingan" lain di samping pertandingan sesungguhnya di layar kaca. Inilah yang disebut simulakra. Walau begitu, simulakra ini tidak sepenuhnya, toh kebanyakan dari mereka bermain futsal dengan fans tim lawan.

Fans klub semacam ini bukan fenomena baru di Indonesia. Walau begitu perubahan cepat terjadi belakangan ini. Biasanya fans sepakbola ini adalah fans klub besar. Klub-klub dari Inggris terutama Manchester United, berhasil "menciptakan" fans yang banyak di berbagai negara. Bagaimana pun juga kepentingan pasar juga bermain dalam hal ini. Media cetak tentang sepakbola misalnya, cukup banyak bermunculan belakangan ini. Begitu pun program acara di televisi, apalagi menjelang Piala Dunia pada bulan Juni nanti.

Piala Dunia menjadi magnet yang luar biasa bagi media. Stasiun televisi misalnya, berebutan menyiarkan pertandingan sepakbola. Untuk Piala Dunia, kelompok usaha tertentu yang "memiliki" tiga stasiun televisi mendapatkan hak tayang untuk Piala Dunia. Satu bulan lebih sebelum Piala Dunia sekarang ini, mereka sudah sibuk menyiarkan pesan tentang Piala Dunia, prediksi, perjalanan kualifikasi, dan pertandingan-pertandingan final pada masa lalu. Di luar pesan itu, muncul juga iklan-iklan produk yang mengaitkan dengan sepakbola dan Piala Dunia. Hal yang unik misalnya adalah kemunculan iklan sebuah produk susu bayi yang bertema sepakbola.

Salah seorang wartawan sepakbola, Arya dari detiksport, bercerita bahwa Piala Dunia memang penting bagi medianya. Ada dua hal yang akan dilakukan oleh detik, yaitu mengirim dua wartawannya untuk meliput langsung Piala Dunia bulan Juni nanti di Afrika Selatan. Mengirim wartawan untuk meliput secara langsung adalah upaya paling optimal untuk menunjukkan keseriusan peliputan. Selain itu, detiksport juga melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk merayakan Piala Dunia, yaitu lomba perayaan gol oleh para fans. Video tersebut kemudian dikirimkan ke situs detik dan pemenangnya diunggah di situs.

Saya masih ingin menulis, tetapi nantilah diteruskan lagi. Sepakbola memang indah walau keindahan itu mesti dibayar dengan keadaan antara "sadar dan tidak" karena mengantuk. Di satu sisi saya senang juga karena kondisi seperti ini biasanya saya malah produktif. Kondisi ini membuat saya membayangkan sebuah lagu. Lagu "Daysleeper" dari REM....

I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much
Daysleeper....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...