Rabu, 19 Mei 2010

Afgan - The One, Manual Biasa dan "Manjur" dalam Merilis Album


Album ini adalah contoh output yang baik untuk mengamati industri musik Indonesia secara umum. Album yang mengikuti manual perilisan album yang hampir pasti sukses: musik yang mudah dicerna, lirik yang “membuai” audiens tertentu, dan citra positif penyanyinya. Melalui album ini kita juga dapat mengamati struktur industri musik yang lebih luas.

Mengakses musik dan mengamati industri musik Indonesia memang unik. Mungkin tidak ada di belahan dunia lain, terutama yang industri musiknya maju seperti di Amerika Serikat dan Inggris, yang industrinya dikembangkan juga oleh industri rokok, yang ditolak di mana-mana, dan industri makanan cepat saja.

Keikutsertaan industri rokok dalam pentas musik sempat membuat beberapa penyanyi luar negeri hampir membatalkan penampilannya. Selain itu, salah satu produk rokok terlibat secara aktif di dalam penyelenggaraan kontes musik independen, yang album kompilasinya kini sudah menginjak jilid empat.
Industri makanan cepat saji juga tidak mau kalah. Mereka menyelenggarakan kontes band melalui gerai makanannya. Band pemenang kompetisi kemudian dibuatkan album yang ditawarkan kepada pembeli produk makanannya. Produk tadi mengambil karakter ekslusivitas penjualan yang tidak dijual di tempat lain. “Ekslusif” di sini dimaknai sebagai tempat penjualan saja, tidak dimaknai sebagai kualitas band yang “terpilih”. Lagipula, “memaksa” pembeli makanan membeli album tersebut juga tidak etis. Toh, mereka membeli makanan, bukan album medioker semacam itu.

Selain itu, produksi album di Indonesia juga lahan kerjasama yang subur dan berbentuk “simbiosis mutualisme”, interaksi saling menguntungkan, antar pelaku industri. Selain, industri rokok dan makanan cepat saji, prodik kecantikan juga bisa diajak bekerja sama. Salah satu album yang bekerja sama dengan sebuah produk kecantikan adalah album terbaru Afgan berjudul “the One” ini. Salah satu lagu di album ini adalah “Wajahmu Mengalihkan Duniaku”, pas sekali dengan produk kecantikan yang diiklankan oleh Afgan.

Pertanyaannya, mengapa industri kreatif banyak sekali dimasuki unsur-unsur pasar? Tidak salah memang, di sisi lain malah menguntungkan pengakses album, yang bisa membeli album relatif jauh lebih murah. Tetapi tidakkah ada jalan lain untuk industri kreatif musik Indonesia?

Kita memang “unik”. Di negara inilah tempat dicanangkannya industri kreatif sebagai industri yang penting tetapi di sisi lain, pemerintah tidak serius mengatasi pembajakan dan apresiasi atas karya orang lain. Di negara inilah, pemerintah memiliki “template” pengembangan industri kreatif, yang juga dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia. Ironisnya, artikel tentang rencana pengembangan pemerintah itu susah dimengerti, menggunakan bahasa “teknis” dan “jargon” khas pemerintah, yang sulit dimengerti orang kebanyakan seperti kita.

Kita pun sebenarnya bisa punya dua posisi berkaitan dengan kondisi musik Indonesia. Kita bisa berargumen bahwa kondisi ini memang khas Indonesia dan kita tidak perlu merujuk pada negara dengan industri yang lebih maju. Posisi yang lain adalah kondisi yang ada di negara dengan industri musik yang maju tadi memang adalah rujukan. Dengan perbaikan habis-habisan, industri musik kita mungkin bisa seperti di Amerika Serikat atau pun Inggris.

Walau begitu dasar bermusik adalah sama. Pertama, apresiasi atas pelakunya, terutama hak cipta dan imbal balik yang fair bagi pelaku utamanya. Kedua, industri musik diarahkan pada kualitas bermusik yang lebih baik, termasuk pendistribusian, akses dan apresiasinya. Kenyataanya, kondisi di Indonesia masih jauh dari ideal. Selain pembajakan yang merajalela, yang untuk distribusi album fisik mencapai lebih dari 90%, hal yang lebih mendasar juga terjadi, yaitu aktivitas “nyata” bermusik. Hal ini bisa dilihat dari acara-acara musik di berbagai stasiun televisi komersial. Pemusiknya yang bermain “playback” atau lipsinc, penonton live yang berpura-pura menikmati, dan ekspansi habis-habisan kepentingan pasar dengan mengabaikan kemampuan bemusik.

Bila yang esensial dan yang nyata diabaikan, bagaimana bisa maju?

Album ini adalah potret yang bagus untuk melihat industri musik Indonesia secara umum. Selain kerjasama dengan ragam produk, tidak hanya satu produk kecantikan, album ini jelas menyasar audiens yang besar: perempuan, terutama perempuan muda.

Siapa yang tidak senang melihat dan mendengar Afgan? Lelaki muda, tampan, dan bersuara bagus. Belum lagi dia pun dicitrakan sebagai lelaki muda baik-baik lewat banyak produk yang diiklankan di televisi. Ibu mana yang tidak ingin suatu saat anaknya dipersunting lelaki baik-baik, tampan, kaya, dan bersuara bagus.

Ini adalah manual biasa di dalam industri musik. Citra penyanyi pria solo sebagai lelaki baik-baik dan idaman semua perempuan. Anak kecil perempuan saja senang dengan “om” Afgan, apalagi para perempuan muda. Di sisi lain, industri bisa menggambarkan penyanyi solo pria sebagai lelaki “pemberontak”. Ini jarang sekali di Indonesia. Kira-kira kalau di luar nagri sana seperti Eminem-lah.

Materi lagu di album ini pun memperkuat hal tersebut. Tidak hanya menggambarkan penyampai pesan sebagai lelaki muda berbakat dan baik-baik saja, lirik lagu-lagunya memang bisa “membuai” perempuan merasa sebagai pujaan. Hal ini diperkuat lagi dengan produk yang diiklankan, yang memang secara sengaja dibangun secara sinergis dengan isi album. Kita bisa menyimak berapa kali kata putih dan cantik muncul di album ini.

Tetapi saya sungguh tidak tahu, apakah ada “jalan keluar” untuk mengapresiasi perempuan sebagai audiens tanpa terjebak dengan stereotipe dan pemaknaan umum. Kemungkinan besar ada. Hal ini sama dengan mencari jawaban, kapan industri musik Indonesia lebih baik lagi dengan lebih mengutamakan para pelakunya, bukan pihak-pihak lain yang mencoba mendapatkan keuntungan (besar) dari musik.

Judul : The One
Penyanyi : Afgan
Tahu : 2010
Daftar lagu:
1. Tak Peduli
2. Cinta 2 hati
3. Bukan Cinta Biasa
4. Wajahmu Mengalihkan Duniaku
5. Bawalah Cintaku
6. Dia Dia Dia
7. Panah Asmara
8. Masih Untukmu
9. Semurni Kasih
10. Rumahmu Jauh
11. Seperti Bintang
12.Pencari Jalan-Mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...