Jumat, 07 Mei 2010
Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 4)
Apa itu media terbuka? Media terbuka bisa disamakan dengan media baru, karena melalui media barulah, karakter “keterbukaan” media menguat. Pencipta pesan dan audiens semakin melebur, koneksitas antar pihak-pihak yang berkomunikasi juga semakin dekat, konvergensi antar format pesan juga semakin terlihat saja, dan yang terpenting adalah munculnya “demokratisasi” dalam kehidupan bermedia.
Memproduksi media tidak lagi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keterampilan tertentu dan yang memiliki teknologi yang awalnya relatif mahal. Pada titik ini, media terbuka tidak hanya berupa media baru. Media terbuka bisa berwujud “media lama” karena teknologi meningkatkan kemampuan produksi, penyimpanan, tampilan, dan distribusi pesan.
Salah satu bentuk media terbuka yang paling tidak lima tahun ini marak di kota tercinta ini adalah zine. Banyak definisi mengenai zine, salah satu yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa zine merupakan media yang berbasis komunitas, ditujukan bukan untuk mencari profit, dan paling tidak memiliki motif tersendiri.
Ada pendapat juga yang mengatakan bahwa zine berasal dari kata fanzine, atau majalah (magazine) yang dikelola oleh para fan. Awalnya zine memang merupakan media bagi para penggemar musik. Mereka kemudian berkumpul untuk merayakan kesukaan mereka pada band atau penyanyi tertentu. Mereka berbagi informasi melalui media tertentu, biasanya cetakan.
Pihak yang merilis zine sebenarnya lebih merupakan komunitas atau kelompok yang cair dan bergabung atas kesamaan minat. Walau pada akhirnya ketika zine tersebut mulai terbit reguler, komunitas tadi juga memerlukan semacam struktur dan pembagian tugas. Bahkan dalam beberapa kasus, zine hanya ditulis dan diproduksi oleh satu orang.
Zine memang berada dalam spektrum yang luas dalam formatnya, ada yang hanya satu dua halaman fotokopian, sampai dengan cetakan yang relatif bagus dan berjumlah sekitar 30 halaman. Mulai dari desain yang sangat sederhana sampai dengan desain yang menyamai majalah terkenal.
Zine juga dapat berbentuk satu format sampai yang memiliki multi format. Kemudahan dalam membuat situs, blog, atau pun tampil dalam situs jejaring sosial, membuat zine bisa muncul di mana saja dan lebih cepat didistribusikan. Pada akhirnya, zine juga tidak melulu berbicara tentang musik. Kini, minimal di Yogyakarta, muncul zine dengan beragam topik selain musik, mulai dari film indie sampai dengan fashion.
Untuk itulah diskusi di “Angkringan Gayam” tanggal 29 Maret 2010 kemarin adalah sebuah diskusi yang menarik. Menarik karena mendedah fenomena terkini dari media dan kaum muda, sekaligus menantang karena zine sebenarnya menerabas berbagai pemahaman mengenai media yang pernah dipelajari, terutama bagi pembelajar ilmu komunikasi.
Diskusi di Angkringan Gayam kali ini menghadirkan Arief Nugroho, a.k.a. Auf, dari DAB. DAB adalah zine yang berkisah mengenai musik di Yogya, sesuai dengan motto mereka “Yogyakarta’s finest music magazine”. Auf dan rekan-rekannya di DAB, termasuk konsisten untuk produktif, karena zine mereka sudah mencapai volume 19. Belum lagi edisi khusus dan ragam aktivitas yang lahir berkat zine ini.
Auf bercerita bukan perkara mudah DAB mendapatkan bentuknya yang sekarang. Para pengelolanya mencari format yang pas sejak awal kelahirannya, termasuk mengemas dan mengotak-atik rubrikasi dan kontributornya agar sesuai dengan kepentingan audiens. Kini DAB juga bisa diunduh secara digital sehingga pembacanya pun lebih luas lagi. DAB telah memperluas eksistensinya, tidak hanya di Yogya, kini mereka mulai merambah kota lain, antara lain Bandung.
Pertanyaan yang mungkin hadir di pikiran kita adalah, bagaimana sebenarnya zine merebak cepat belakangan ini. Paling tidak ada tiga faktor merebaknya zine. Pertama, teknologi media semakin murah, mudah dan bagus. Dengan begitu, dengan upaya sedikit dari pengelola yang biasanya kaum muda, mereka mampu memproduksi media yang relatif bagus dan murah. Hal ini tidak ditemui satu dekade sebelumnya di mana biaya untuk memproduksi media cetak masih mahal dan memerlukan kemampuan yang langka dan spesifik.
Kedua, faktor di mana media mainstream tidak menjembatani semua harapan audiens. Bagaimana pun media mainstream memproduksi sesuatu dengan harapan menghasilkan profit agar medianya tetap dapat berjalan dengan baik. Ruang dan waktu yang tersedia bagi mereka juga terbatas, sehingga tidak semua kepentingan audiens terjembatani. Untuk musik misalnya, saya prbadi mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan lewat majalah musik nasional tetapi isi mengenai musik di Yogyakarta tidaklah banyak. Akhirnya kebutuhan itu terpenuhi oleh DAB.
Perkembangan ini bukan salah media mainstream tetapi memang kondisinya seperti itu. Bahkan media mainstream pun kini berusaha mengakomodir audiens melalui bentuk media lain, misalnya melalui situs ataupun blog mereka. Sebuah majalah musik nasional misalnya, memberikan informasi yang lebih banyak di situs mereka, termasuk foto-foto dan wawancara yang tidak terlalu banyak dipotong untuk menyesuaikan dengan format majalahnya.
Faktor terakhir adalah dari sisi produsen pesannya sendiri, yaitu tingkat literasi media yang semakin tumbuh kuat dan bertambah tinggi tingkatannya. Literasi media memang berkaitan langsung dengan kecakapan dalam mengakses pesan, tetapi kecakapan awal ini saja belumlah cukup. Literasi media lewat atas membuat individu berkeinginan memproduksi pesan sesuai dengan minat dan keinginan mereka.
Hal inilah yang terjadi pada kelompok anak muda yang merilis DAB. Mereka adalah kumpulan anak muda yang menyukai musik dan melihat ada kebutuhan informasi mengenai musik Yogyakarta yang tidak terjembatani oleh media yang ada. Anggota kelompok ini memiliki kemampuan yang beragam, ada yang memahami aspek produksi, ada yang jago mengenai manajemen media, ada yang menguasai kemampuan melobi pihak lain, dan lain sebagainya. Intinya, mereka mengkreasi media karena kebersamaan visi dan minat.
Kebersamaan, keinginan untuk belajar, dan visi untuk mengekspresikan diri dan berpendapat mengenai sesuatu, adalah akar dari lahirnya media terbuka. Dan bagi yang bertolak belakangan dengan karakter tersebut adalah “musuh-musuhnya”. Musuh ini hanya akan menghasilkan “media tertutup”, diproduksi sendiri, diakses sendiri, dan diapresiasi sendiri….
Mari bersama-sama mewujudkan media terbuka!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar