Rabu, 19 Mei 2010

Armada Racun - Pes(ta) dengan Lagu Protes


Di lagu "Let Robeson Sing" dari album “Know Your Enemy”, yang dirilis pada tahun 2001, Manic Street Preacher bertanya: "Can anyone make a difference anymore? Can anyone write a protest song?" Saya setuju dengan pernyataan itu, menurut saya, belakangan ini band Indonesia jarang sekali melancarkan “protes”, eksplisit maupun implisit.

Apakah memang sudah sangat jarang penyanyi yang memprotes lewat lagu? Apakah lagu bukan lagi dianggap sebagai media untuk melancarkan protes? Protes terhadap apa saja, terutama pada pemilik kuasa dan pihak-pihak yang “sok kuasa”. Seingat saya, Iwan Fals pun yang dulunya rajin menulis dan menyanyikan lagu protes, kini tidak lagi menyanyikannya, dan lebih pada pesan lagu yang introspektif atas hidup daripada menggugat ketidakberesan.

Belakangan ini saya pribadi juga belum mendapatkan album musisi Indonesia yang oke, yang mengundang saya untuk mengulik isinya lebih mendalam. Itulah sebabnya saya kembali pada band-band Barat lama kesukaan saya, The Cure, U2, New Order, Radiohead, dan Manic Street Preachers. Tetapi armada yang “meracuni” kemudian datang, band ini membuat saya berhasrat untuk mendengarkan lagi musik Indonesia setelah dua bulan terakhir ini agak vakum.

Bagi pendengar yang tidak mengenal musik Indonesia terkini dengan agak dekat, mungkin bakal bingung dengan nama-nama band yang mirip atau minimal memberi asosiasi sama. Bersama dengan beberapa teman, saya bercanda dengan menggunakan nama band, misalkan “Siksa Kubur” dan “Kuburan”, juga “Armada” dan “Armada Racun”. Jelas kedua komparasi tersebut berbeda jauh dari sisi musik ataupun etos yang dibawa oleh mereka. Kebetulan, “Armada” yang tanpa racun baru-baru ini juga mengeluarkan album (yang tidak perlu dibahas).

Sementara “Armada (dengan) Racun” adalah band dengan spirit luar biasa, untuk memprotes, dan di sisi lain, merayakan hidup walau hidup ini kejam karena hadirnya ketidakadilan kelas. Maka, Armada Racun datang dengan debut album ini. Maka kerinduan saya pada lagu-lagu protes terobati. Lagu pertama sudah mengajak kita bergoyang untuk isi lagu yang paradoksal, “Sad People Dance”. All people dance when they're unhappy …Sebenarnya, untuk apa berdansa bila tak membawa pada kebahagiaan.

Hal yang sama diulang di lagu kedua, “Mati Gaya”. Dengan topik yang sama tetapi dengan metafor lebih mendalam, mati gaya dianggap sebagai istilah yang mungkin dekat dengan kegagapan mengikuti roda kehidupan. Modernitas (atau postmodernitas) yang terlampau cepat membuat kita sedikit sulit mengikutinya.

Pada lagu ketigalah, “Tuan Rumah Tanpa Tanah”, nada protes itu mulai kentara sekali. Sebenarnya lagu ini senada dengan “Drakula” dan “Amerika”. Perbedaan kelas dan telaah ekonomi politik muncul di ketiga lagu ini, mengingatkan kembali pada kita bahwa “perjuangan” itu belum mati.
“Tuan Rumah Tanpa Tanah” kemungkinan digerakkan oleh kegelisahan kapitalisme global yang menganeksasi “tanah” dan juga otonomi kita di tanah sendiri. “Drakula”, menunjukkan pada kita bahwa manusia tetaplah “pengisap darah” manusia lain. Tak lebih dan tak kurang. Pengakuan yang jujur sekali bahwa kita sendirilah sang “drakula”. Kita tak kenal Pancasila…kita hanya kenal punkasila (saya berharap kata lanjutannya adalah “pangkasilah”, biar lebih pas dan menghajar), walau begitu, Armada Racun lumayan cerdas juga dalam memainkan kata.

Sementara lagu “Amerika”, lagu favorit saya di album ini, secara cerdik “memlesetkan” Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Saya terhibur sekaligus tersadar lebih dalam karena lagu ini. Tersadar betapa “unsur luar”, dalam hal ini Amerika, begitu menguasai kita. Tetapi apa yang disebut “luar” dan “dalam” itu? Toh, album ini sendiri pun terpengaruh oleh unsur “luar”, bukan Amerika memang, tetapi Barat juga yaitu Perancis sesuai dengan judulnya dan penggalan lirik di lagu “Beautiful Dream” dan “I’m Small”. Jadi, memang unsur luar dan dalam itu problem kita dulu dan sepertinya jauh dari selesai, apalagi bila dikaitkan dengan baik-benar, sakral-profan.

Seperti juga lagu “Mati Gaya”, lagu “Boys Kissing Boys” juga menunjukkan kegagapan pada hidup yang cepat berubah. Apakah identitas seksual begitu membingungkan? Jawabannya tentatif. Hal terpenting adalah respons kita atasnya. Respons Armada Racun bisa ditelaah dari lagu ini.
Lagu-lagu yang lain bermakna kontemplatif personal, “Beautiful Dream”, “Lalat Betina”, “I’m Small”, dan “Train’s Song”. Ini menunjukkan bahwa kaum muda sekalipun hadir sebagai pemrotes, tetaplah kaum muda yang hidupnya problematik menyangkut dengan kaum muda lain. Lirik lengkap “Lalat Betina” menunjukkan hal ini: lalat betina lalat betina lalat betina segeralah kau sucikan hatimu…

Penggelan lirik kesukaan saya ada di lagu “Beautiful Dream”, don't sleep when you're not happy….Apakah nantinya akan menghasilkan mimpi yang buruk, atau jangan-jangan hidup yang buruk? Sementara, lagu cinta agak manis namun berkelas muncul di lagu “Train’s Song”, my hands too small to reach/just a child so much sorrow/A symbol of my tommorow/the train take my love away/When the train take my love away/When the train take my love away….Cinta, kereta api, dan perjalanan kontemplatif, apalagi maknanya bila bukan problema anak muda?

Sesuai dengan rilisan mereka, bahwa harapannya album ini menghadirkan wabah pes di mana-mana, kemungkinan besar akan terwujud. Menurut saya, album ini sangat layak untuk didengarkan. Musik berkelas dan lagu protes yang banyak sudah cukup menunjukkan hal itu. Pes di sini tidak lagi diartikan sebagai penyakit, melainkan pes(ta). Berpesta dengan musik. Bersuka-cita dengan protes yang tajam.
Setajam sembilu namun di sisi lain membuka kesadaran akan “pengisapan” kelas bawah oleh kelas pemilik kuasa. Manifesto ini tidak terlihat jauh-jauh, lirik “Good News for Everybody” menunjukkannya… tuang tuang kita berpesta/di dalam ruang kita berdansa/ Ayo kawan habiskan malam/tak peduli pagi menjelang.

Ayo terus bersama menyanyikan lagu protes walau terkadang sakit, walau seringkali tujuan memprotes untuk menyadarkan kehidupan dianggap hanya utopia.

Daftar lagu:
1. Sad People Dance
2. Mati Gaya
3. Tuan Rumah Tanpa Tanah
4. Beautiful Dream
5. Drakula
6. Good News for Everybody
7. Boys Kissing Boys
8. Amerika
9. Lalat Betina
10. I’m Small
11. Train’s Song

2 komentar:

  1. Saya setuju dengan pernyataan itu, menurut saya, belakangan ini band Indonesia jarang sekali melancarkan “protes”, eksplisit maupun implisit.

    Apakah memang sudah sangat jarang penyanyi yang memprotes lewat lagu? Apakah lagu bukan lagi dianggap sebagai media untuk melancarkan protes? Protes terhadap apa saja, terutama pada pemilik kuasa dan pihak-pihak yang “sok kuasa”.

    A: Belum pernah baca lirik liriknya dari KOIL? :D (Blakclight Shines ON)

    BalasHapus
  2. Pis Bro,..
    Sayang nya bahasan ini cuma bikin penasaran kayak gimana sih lagu nya..?
    tapi emang bener sih saat ini lagu2 semacam itu sudah langka di pasar musik indonesia ketika para pelantun lagu protes ini sudah pada mapan hidup nya, zaman memang berubah generasi penikmat musik nya juga,
    tapi nasib rakyat belum banyak berubah, lagu2 bertema protes sosial masih diperlukan saat ini sebab para pihak yang diprotes lewat Demo2 semakin punya resistansi yang tinggi
    tiggal bagaimana kreativitas musisi itu sendiri menuangkan kritik dan protes kedalam lagu nya apapun genre musik nya sehingga masrakat sadar akan nasib nya yang selalu di jadikan objek politik dan kekuasaan oleh para pemimpin nya
    yopie doank

    BalasHapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...