Selasa, 29 Juni 2010

Media, Kabar Bohong, dan Panik Massa


Hari Senin kemarin dari pagi sampai malam bagi saya adalah hari yang inspiratif dan pantas disyukuri. Paginya, walau hanya sesaat, saya bisa mengobrol atau bahasa kerennya berdiskusi dengan dua orang rekan tentang media. Salah satu rekan saya adalah senior yang akan purna tugas hari Sabtu besok (03/07/10). Satunya lagi adalah seoranag rekan yang sedang berlibur dari sekolahnya di Singapura. Rekan kedua saya ini kebetulan sedang meneliti berkaitan dengan sensor di media.

Obrolan bergerak ke arah betapa takutnya masyarakat kita dengan media, dan pada akhirnya merujuk pada "kata". Mengapa kita begitu takut dengan kata? rekan senior saya kemudian memberikan argumennya, kemungkinan karena masyaarakat kita terlalu percaya dengan mantra. Rekan yang satunya lagi kemudian menggunakan sensor sebagai titik masuk. Ia mengatakan bahwa salah satu alasan sensor dilakukan karena kata dianggap bisa "melukai".

Malamnya, saya mengisi acara di sebuah stasiun radio swasta di Yogyakarta. Nama acaranya "Angkringan Gayam". Topik yang dibahas tadi malam itu adalah berita bohong atau hoax tentang pembacokan yang terjadi di Yogya bagian utara. Saya jadi teringat dengan ucapan rekan senior saya di pagi harinya: bahwa masyarakat kita begitu percaya "mantra". Tafsir awal argumen tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita begitu percaya pada kata-kata, bisa disebut juga realitas media dibandingkan dengan realitas empiris. Tafsir kedua adalah masyarakat kita begitu percaya dengan hal-hal yang berbau supranatural.

Kembali pada hoax tentang pembacokan. Berita tentang perampasan disertai dengan pembacokan tersebut tidak sepenuhnya salah. Berdasarkan informasi dari polisi yang termuat dalam beberapa suratkabar lokal, memang pada tanggal 14 dan 15 Juni 2010 terjadi perampasan disertai kekerasan. Kejadian tadi jadi membesar ketika disebarkan di sebuah situs pertemanan populer dan kemudian banyak pengguna internet me-link (mengaitkan) dan men-tag (menautkan) kisah tersebut di akunnya.

Di aras lain, berita dari mulut ke mulut tersebar dengan cepat. Biasalah, sesuatu informasi akan "ditambahi" oleh orang yang satu ke orang yang lain. Kisah tersebut juga menjadi lebih menimbulkan rasa khawatir ketika disebarkan melalui SMS. Akibatnya, seperti yang warga Yogya rasakan sekitar dua minggu terakhir adalah kecemasan berlebihan.

kecemasan atau juga kepanikan yang muncul memang tidak terlihat seperti halnya isu tsunami ketika gempa tahun 2006 lalu, tetapi efeknya tetap sama, anak-anak muda, terutama yang perempuan menjadi tidak berani untuk pulang terlalu malam, apalagi melewati jalan lingkar utara Yogya. Kecemasan semakin menjadi dengan tanbahan "bumbu" yang menjadikan peristiwa kriminal "biasa" tadi semakin tampak menyeramkan, misalnya para pelaku pembacok adalah psikopat, mereka juga menggunakan motor merek tertentu yang berwarna putih. Kemungkinan besar anak muda yang mengendarai motor bebek otomatis warna putih itu pasti dijauhi bila ada di jalan lingkar utara.

Kasus ini menunjukkan betapa masyarakat kita cepat panik pada sesuatu tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Untuk Yogya, kasus yang mirip terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu penyebaran virus HIV melalui jarum suntik di bioskop dan mal. Orang tidak mengecek informasi empirisnya. Sederhana saja, apakah hal tersebut mungkin? jawabannya tidak mungkin. Tetapi waktu itu orang-orang sudah telanjur panik sehingga mencurigai orang-orang di sekitar bila berada di keramaian.

Kasus-kasus lain yang juga mirip, kali ini berhubungan dengan fenomena supranatural. Kasus yang bisa dicontohkan adalah pocong yang bergentayangan beberapa tahun lalu di Yogya. Kisah yang jelas bohong tersebut menyebar dengan cepat dan membuat penduduk Yogya tidak berani keluar malam. Kasus kedua adalah kuntilanak yang menjadi pesugihan bagi produk bakso di sebuah mal di Yogya. Keduanya tersebar dari mulut ke mulut dan membuat warga cemas. Rekan saya yang pendidikannya tinggi pun sampai tidak berani tidur sendirian ketika kami mengadakan sebuah acara waktu itu :)

Kasus lain yang lebih besar, tidak hanya terjadi di Yogya, adalah kasus SMS santet. Pertama-kali berita SMS santet itu tersebar melalui situs berita kemudian meluas dan menimbulkan kepanikan. Ironisnya, berita-berita televisi justru memperkuat hal tersebut. Ada liputan yang memberitakan orang-orang yang pingsan ketika menerima SMS atau telepon yang tidak dikenal. Walau akhirnya diketahui bahwa orang-orang yang pingsan tersebut bukan karena santet, tetapi karena terlalu panik, media turut membantu tersebarnya hoax tersebut. Isu santet via SMS tersebut kemudian dianggap mengarah pada persaingan bisnis karena hoax kemudian menyebutkan bila ada tulisan siksa di SMS berarti yang menerima terkena santet.

Aneh memang, bila memang SMS sudah menjadi median bagi santet, berarti para hantu itu sudah maju dong...bisa saja mereka sebentar lagi punya akun Facebook dan Twitter. Ternyata bukan hanya manusia yang maju teknologinya, para hantu juga. Kita mesti bersyukur atas hal itu. Manusia dan hantu memang sama saja. Sama-sama menakutkan :)

Media massa, terutama televisi, memang unik. Mereka seharusnya berperan memperkuat kesadaran atau rasionalitas, tetapi seringkali media justru "menghilangkan" kesadaran. Lihatlah berapa banyak program "hantu-hantu-an" dahulu dan kini. Kini generasi baru program supranatural sudah muncul. Cobalah kita amati berapa banyak berita televisi yang melaporkan tentang hewan-hewan "aneh" dan mengarahkannya pada mistisme. Padahal seharusnya yang lebih dikedepankan mengapa hewan-hewan itu aneh secara rasional. Bisa jadi itu hewan yang berasal dari habitat lain, misalnya ikan mirip buaya yg merupakan habitat endemik di hutan amazon. Seharusnya media menyampaikan penyebab hewan tersebut bisa hadir di sungai-sungai Indonesia.

Kasus lain yang juga hoax adalah munculnya kolor ijo di banyak daerah di Jawa Barat. Desas-desus mengenai kehadiran kolor ijo sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu dan selalu muncul setiap tahun. Kolor ijo muncul untuk melecehkan kaum perempuan. Mereka bisa jadi memang makhluk halus atau orang-orang yang mencari kesaktian. Sayangnya, masyarakat terlalu panik dan tidak bisa berpikir jernih sehingga pengamanan lingkungann yang memadai malah tidak bisa dilakukan.

Lalu, bagaimana kita menyikapi hoax? hoax sendiri ada beragam jenisnya. Mulai dari yang sekadar "iseng" sampai yang memiliki motif tertentu. Bila hanya sekadar iseng, ya dilupakan saja. Bila ada motif tertentu, polisi sebaiknya mengusut. Ada pakar sosiologi yang menyimpulkan isu pembacokan punya motif untuk meruntuhkan predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar karena masa sekarang ini adalah masa penerimaan siswa baru. Bila memang ada motif yang merugikan banyak orang seperti itu, polisi memang pantas menelisiknya. Misalnya, mencari pengirim SMS pertama-kali yang membuat kepanikan tersebut. Polisi pasti bisa mengingat mereka juga bisa melacak konten komunikasi di handphone dan internet.

Bagi kita, masyarakat Yogya, kata kuncinya adalah jangan mudah percaya dan mudah panik. Sumber yang utama adalah dari media. Media sangat kecil akan berbohong mengenai sebuah berita karena hal itu berkaitan erat dengan reputasi sebuah media. Bila sumber informasi berasal dari orang lain atau teman, kita mesti mengecek sumber utamanya dari mana. Biasanya bila merupakan hoax, teman kita akan mengatakan bahwa sumber informasinya dari temannya lagi dan begitu seterusnya.

Saya sendiri sejak awal tidak terintimidasi dengan segala macam isu pembacokan. Di daerah tempat tinggal saya, suasana malam justru lumayan ramai, banyak warung mie dan angkringan terang-benderang karena menonton pertandingan Piala Dunia di malam hari sekalipun motor beragam merek, termasuk va***, berwarna putih berseliweran.... :D

(gambar dipinjam dari jokeerz.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...