Kamis, 03 Juni 2010

Apa “Keren” Itu Sebenarnya?


Hari Minggu lalu saya membaca sebuah suratkabar yang memberitakan bila penulis favorit saya jaman dulu akan merilis novelnya secara lengkap. Penulis yang saya maksud adalah Gola Gong. Pada dekade awal 1990-an dia adalah penulis untuk kaum muda pria yang terkenal. Novel-novelnya yang digandrungi remaja pria, “Balada si Roy”, menularkan wabah menjadi advonturir di kalangan remaja pria. Novel itu unik karena bercerita tentang anak muda yang coba melawan tafsiran mainsteam atas remaja laki-laki. Bila pada dekade sebelumnya, ikon untuk kaum muda diwakili oleh Boy, yang kaya, populer, dan “gemerlap”. Tidak demikian halnya dengan Roy. Roy adalah pemuda kebanyakan yang mesti bertarung untuk hidupnya dan mencari jati diri dengan berkelana.

Di sisi lain, saya, dan mungkin juga rekan-rekan seangkatan, merasa bahwa menjadi seperti Roy adalah sesuatu yang “keren”. Tidak ada definisi solid untuk kata keren. Hal yang terpenting adalah rasa “berbeda” dan unik sebagai kaum muda. Makna keren di sini berubah dari jaman ke jaman. Mungkin untuk anak muda jaman sekarang keren itu sangat berbeda dengan jaman satu dekade sebelumnya. Misalnya, anak muda sekarang memasukkan karakter dekat dengan media baru sebagai bagian dari kualitas keren.

Tulisan sederhana ini juga saya maksudkan sebagai catatan penutup perkuliahan”Media, Budaya, dan Kaum Muda” yang sudah berakhir hari Kamis ini. Banyak yang saya dapatkan dari pembelajaran di kelas, berinteraksi dengan para pembelajar. Merekalah kaum muda sesungguhnya, yang juga merupakan “warga asli” era media baru. Pengetahuan baru juga didapatkan dari berinteraksi dengan para pengajar yang lain, yang tentunya memiliki pengetahuan berbeda dengan perspektif lain yang unik pula.

Bill Osgerby, penulis buku “Youth Media” (2004, Routlegde: London), berpendapat bahwa “keren” adalah kata kunci yang digunakan oleh media untuk menjaring audiens kaum muda. Perasaan “keren”, perasaan berbeda nan unik, memang selalu dicari oleh kaum muda. Bila dianggap melenceng, apalagi tidak keren, suatu pesan media cenderung dihindari oleh kaum muda.

Walau begitu, makna keren sendiri sebenarnya tetap sulit didefinisikan. Sesuatu yang awalnya dianggap keren dan pas ditujukan untuk kaum muda, ternyata oleh kaum muda sendiri yang menjadi audiens media tersebut, ternyata tidak keren. Seringkali untuk mendapatkan label keren, suatu media melakukan percobaan yang relatif panjang.

Istilah keren menghablur pada tiap lokus media bila dikaitkan dengan kaum muda. Kaum muda di dalam lokus pesan media misalnya, berusaha digambarkan sekeren mungkin untuk mendapatkan perhatian audiens. Seringkali makna keren ini dilekatkan pada produk yang ditawarkan di dalam iklan. Kaum muda lelaki yang keren misalnya, digambarkan seperti Cristiano Ronaldo, yang jago beraktivitas fisik, bermain sepakbola, dan tetap merawat rambutnya.

Atau pasangan yang keren adalah imaji yang dimunculkan oleh Bella dan Edward, seperti dalam tetralogi “Twilight”. Tidak peduli, karakter yang ditampilkan itu berasal dari dunia nyata atau dunia fiksi, asalkan imaji yang ditawarkan bisa merangkum makna kekerenan tersebut.

Pada lokus audiens, cara pandang terhadap kekerenan tadi bisa dibalik. Pengakses media yang berasal dari kaum muda berusaha mendapatkan atribut keren dengan mengakses pesan media tertentu. Seringkali persoalan menonton film terbaru dan memainkan game terbaru, merujuk pada istilah keren yang bisa didapatkan walau tentu saja ada motivasi yang lain juga.

Selain itu media bisa digunakan sebagai rujukan untuk bertindak. Inilah yang disebut oleh David Gauntlett sebagai “panduan diri”. Media digunakan oleh kaum muda sebagai prosedur untuk hidup dengan sesamanya dan kaum dewasa. Misalkan pertanyaan-pertanyaan seperti kapan waktu yang tepat untuk “nembak” atau apa yang diperlukan dalam prom night? Adalah topik yang muncul pada media untuk remaja, yang termasuk bagian dari kaum muda. Audiens kaum muda yang memahami prosedur bergaul inilah yang dimaknai sebagai anak muda yang keren, sementara yang tidak paham kemungkinan akan dianggap “katro” atau “jayus”, atau apa pun istilah yang digunakan untuk “mengeluarkan” sekelompok orang dari karakter keren.

Lokus media yang terakhir adalah kaum muda sebagai pelaku media. Beberapa kelompok kaum muda seringkali tidak puas dengan budaya umum yang ada, atau paling tidak wacananya. Mereka akan berusaha melahirkan hal yang keren, hal yang berbeda dengan tafsiran umum tadi.

Pada dasarnya, budaya dominan, mainstream, atau apa pun namanya punya daya sendiri untuk mempertahankan dirinya sendiri atau memperbaruinya. Kaum muda yang berperan sebagai pelaku media biasanya akan menjadi pihak yang memperbarui, antara lain dengan menemukan istilah keren tadi. Di dalam bidang informasi musik misalnya.

Sekelompok kaum muda di Yogyakarta misalnya, gerah dengan kondisi pemberitaan tentang musik oleh media mainstream yang lebih terfokus pada aktivitas musik nasional dan aliran yang itu-itu saja. Kemudian mereka menerbitkan zine yang berusaha mendobrak pemberitaan yang ada. Melalui medianya, mereka memberitakan aktivitas musik lokal di Yogyakarta, terutama yang bervisi independen.

Pelaku media yang berasal dari kaum muda biasanya menggunakan media baru dan media alternatif untuk memproduksi dan mendistribusikan medianya. Banyak situs dan blog yang berperan sebagai media kaum muda yang berusaha memberikan tafsir atas sesuatu yang berbeda dengan tafsir umum. Begitu pun yang berbentuk media alternatif. Media penyampaian ide yang berbeda dengan media konvensional dan dekat dengan media sosial dan aktivitas berkesenian adalah bentuk yang limrah digunakan oleh kaum muda.

Konsep yang juga bisa dilihat untuk mengamati aktivitas kaum muda bermedia adalah media literacy atau kecakapan bermedia. Audiens kaum muda dengan tingkat literasi media yang tinggi tentu tidak mudah percaya dan terhegemoni dengan pesan media. Pelaku media yang mengkreasi pesan media adalah pihak yang memiliki tingkat literasi yang tinggi karena dia menafsir ulang pesan media dengan kritis dan kemudian memproduksi ulang pesan tadi ke dalam pesan baru. Salah satu kecakapan tertinggi selain memproduksi adalah menggunakan media untuk kepentingan yang lebih luas. Pada titik ini, kaum muda bisa menggunakan medianya untuk mewujudkan visi kepublikan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita mengombinasikan yang keren dan peduli pada kepentingan publik dalam aktivitas kaum muda bermedia? Pertanyaan yang bisa kita pikirkan bila kita sudah menemukan makna keren tadi…. :D

2 komentar:

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...