Rabu, 16 Juni 2010
Menulis: Penyembuhan, Keterkaitan, dan Keberlimpahan
Menulis itu bukan hanya permasalahan merangkai huruf menjadi kata, kemudian kata mewujud menjadi kalimat. Bukan cuma itu. Menulis juga bukan hanya sekadar menyampaikan isi pikiran dan hati kita. Menulis adalah bercerita kembali tentang kehidupan. Walau yang kita tuliskan adalah sejumput kecil kehidupan, dia tetaplah kehidupan.
Pada awalnya, bagi saya menulis sekadar kemampuan merangkai kata untuk menyampaikan pemikiran dan sanubari kita. Ternyata saya tidak sepenuhnya benar. Menulis memiliki fungsi-fungsi lebih besar dari yang kita duga. Menulis adalah bercerita tentang kehidupan, merayakan, sekaligus mensyukurinya.
Bagi saya pribadi, ada tiga moment yang membuat saya merasa tidak terbelenggu dengan aktivitas menulis lagi. Pertama, ragam kejadian di mana saya semakin dekat dengan beberapa teman dan semakin menjauh dengan beberapa orang yang dulunya teman. Nelson Mandela pernah berkata bahwa dunia akan menghukum orang yang ragu-ragu. Itulah yang terjadi pada saya dalam konteks berteman. Terkadang kita “berteman” bukan karena kecocokan tetapi karena kita pikir kita bisa dekat tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Berteman itu lebih karena kita saling menghargai diri masing-masing sebagai individu. Saya kemudian memilih, orang-orang yang pura-pura “berteman” tetapi sebenarnya tidak, sebaiknya tidak perlu dipikirkan lagi, apalagi kontak secara personal.
Dengan teman-teman saya itu, saya belajar untuk menyampaikan dan mendokumentasikan pikiran betapa pun sedikit dan sederhananya pemikiran itu. Saya jadi belajar cara berpendapat dengan bagus sekaligus tidak kaku. Saya belajar bahwa dalam berdiskusi hal yang lebih penting adalah mendapatkan semua pemikiran dari partisipan diskusi, bukan pendapat siapa yang lebih bagus. Seringkali permasalahan dalam berpendapat bukan pada substansinya melainkan pada cara menyampaikan pendapat tersebut. Pendapat itu pun jadi lebih bermakna jika dituliskan ataupun didokumentasikan. Diskusi paling lama seminggu sekali dengan teman-teman inilah yang membuat saya bertahan. Bukankah, itu gunanya teman: membuat kita bisa bertahan pada hidup yang tak mudah ini.
Sejak itulah saya mencoba menulis dengan rutin walau sedikit dan sederhana. Dimulai oleh tulisan-tulisan 300, 500 dan 1000 kata, kemudian diteruskan menjadi 5000 kata. Kini saya relatif menulis dalam level sedang. Artinya, tidak sedikit tetapi juga belum terlalu banyak. Melalui peristiwa pertama ini, saya juga belajar untuk menata pikiran sekaligus menuliskan yang lumayan penting dan membuang yang tidak terlalu penting.
Pada titik ini pula, saya belajar bahwa menulis itu merupakan “penyembuhan” diri. Melalui menulis, saya bisa memahami bahwa rasa sakit dilukai oleh orang lain bisa berkurang pelan-pelan. Dengan menulis saya bisa belajar dan memahami kejadian-kejadian pada masa lalu itu, terutama yang menyakitkan. Luka hati memang sulit untuk sembuh benar tetapi paling tidak kita bisa mengenali lebih detail mengapa sebuah luka terjadi dan terasa begitu sakit. Tentu saja, penyembuhan melalui menulis ini tidak hanya berarti kita yang “tersakiti” tetapi juga rasa sakit yang kita timbulkan sendiri. Melalui menulis, saya memahami dan mengetahui kesalahan-kesalahan yang saya perbuat pada masa lalu dan kemudian berjanji untuk memperbaikinya. Teman-teman itulah yang sampai sekarang menjadi inspirasi bagi saya untuk menulis dan untuk hal-hal yang lebih besar dalam hidup.
Kejadian kedua yang juga berpengaruh adalah ketika saya memulai menulis secara rutin di Facebook. Sebelumnya, saya mencoba menulis dengan rutin di blog saya, yang diinspirasikan oleh sang istri, tetapi aktivitas menulis itu tidak bertahan begitu lama walau saya dapatkan manfaatnya juga, yaitu terkait dengan banyak orang yang rajin menulis dan memiliki karya-karya yang bagus pula, ada foto, puisi, dan karya-karya lain yang bagus. Terkait dengan banyak orang hebat sekaligus rendah hati dan sederhana adalah berkah pertama dalam situs blog dan pertemanan.
Berkat Facebook itulah yang menyebabkan sekitar sepuluh bulan ini saya merasa menulis tidak lagi sebagai kekangan melainkan sebagai sebuah aktivitas yang harus selalu dilakukan per hari. Kini saya relatif jauh lebih mudah menulis. Untuk beberapa hal, saya malah “menjebak” diri sendiri ketika rajin menulis di Facebook, yaitu menulis hal “tak penting” terlalu banyak, sementara hal-hal yang penting tetap kelabakan untuk diselesaikan. Tetapi, ini pun tetap saya syukuri karena paling tidak menulis bukanlah hal yang menakutkan lagi. Kini problemnya memang bukan pada memulai menulis tetapi menghentikannya sementara waktu dan lebih berkonsentrasi pada hal “penting”.
Pada titik ini, menulis bagi saya adalah upaya untuk lebih mengaitkan diri kita dengan ragam elemen di dalam kehidupan ini. Saya merasa sudah cukup banyak membaca, mendengar, menonton sesuatu, dan juga cukup lama hidup untuk mengamati banyak peristiwa, tetapi mengapa saya belum juga bisa mengaitkan dan merangkaikannya? Tadinya sebelum memulai menulis secara rutin, semua hal itu tidak terangkai. Dengan menulis rutin saya mulai merasakan bahwa di dalam mikro kosmos diri, semuanya bisa terangkaikan. Misalnya, untuk menulis sekarang ini, saya terinspirasi dari album the best-nya the Cure, “Galore”, yang saya jadikan inspirasi dan judul untuk tulisan ini.
Masih berhubungan dengan “keterkaitan” sebenarnya, saya kemudian dibawa pada momen ketiga, yaitu “menemukan” novel-novel Haruki Murakami. Bagi saya, novel-novel Murakami bukan hanya berkisah dengan bagus tetapi memberikan kekuatan untuk saya agar terus belajar menulis. Inilah esensinya, menulislah hanya untuk menulis. Bukan untuk hal lain, apalagi untuk menonjolkan diri pada orang lain.
Saya pernah distigma tidak bisa menulis oleh seseorang yang mungkin merasa dirinya hebat dalam menulis dan stigma itu sungguh menyakitkan. Tetapi kemudian saya belajar bahwa banyak orang yang hebat di dalam menulis yang saya kenal tetapi tidak pernah “menghajar” orang lain seperti itu. Justru bila seseorang benar-benar mencintai menulis, dia tidak akan bisa menggunakan kemampuan menulisnya itu untuk membanggakan diri. Saya kenal dengan orang-orang lain yang lebih hebat dalam menulis tetapi lebih rendah hati dan tidak pernah menghina kemampuan menulis orang lain sedikit pun.
Murakami menginspirasi bahwa menulis adalah menulis dan diri kita akan lebih kaya bila mendalami hal-hal mikro di sekitar kita. Inilah yang disebut “keberlimpahan”. Di dalam hidup, kita bisa merasa selalu kurang atau berlimpah, ini adalah pilihan kita, tetapi hidup selalu memberikan “keberlimpahan” untuk dituliskan. Kini saya merasakan betul bahwa menulis itu juga cara untuk merayakan keberlimpahan hidup kita. Untuk mendapatkan hidup yang “berlimpah”, kita tidak perlu mencarinya di luar hidup tetapi mendalaminya di dalam hidup kita sendiri.
Kita mungkin akan lebih kaget mendapatkan “keberlimpahan” hidup lebih banyak lagi dengan menulis.
(gambar: Haruki Murakami - South of the Border, West of the Sun)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar