Kamis, 03 Juni 2010

“Membaca” Realitas, Mendapatkan Pengetahuan


Setelah berjibaku selama satu semester, akhirnya proses pembelajaran di kelas selesai juga. Ada pencapaian dan tentunya ada juga hal-hal yang tak tercapai dan tak selesai. Walau begitu, capaian yang sudah ada dan proses yang telah dijalani selama sekitar empat belas kali pertemuan di kelas, adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Untuk “merayakan” berakhirnya perkuliahan dan untuk mereview prosesnya, saya mencoba menulis catatan penutup dari perkuliahan Filsafat Komunikasi. Mata kuliah ini lebih difokuskan pada filsafat ilmu dari keilmuan komunikasi sehingga tiga “aktivitas” menjadi tulang punggungnya, yaitu mempertanyakan “apa”, “bagaimana”, dan “untuk apa” kita mendalami sebuah ilmu, dalam kelas ini ilmu tersebut adalah ilmu komunikasi?

Ketiga pertanyaan itu lebih luas merujuk pada tiga bidang di dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang di dalam filsafat tersebut terlalu luas untuk diperdalam selama satu semester dan ada dalam bidang ilmu tersendiri, yaitu Filsafat, sehingga fokusnya adalah berusaha meminjam esensi dari ketiganya dan mengimplementasikannya pada ilmu komunikasi.

Selaian ontologi, epistemologi, dan aksiologi, filsafat (ilmu) komunikasi juga merujuk pada dua konsep besar yang bernama empirisisme dan rasionalisme. Keduanya memberikan konsekuensi yang berbeda pada pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa mempelalajari ilmu komunikasi. Pertanyaan apa yang dipelajari merujuk pada sesuatu yang diperdebatkan sejak awal keilmuan, yaitu “apa yang menjadi realitas di dalam ilmu tertentu”, fenomena apa yang menjadi “obyek” keilmuan komunikasi? Apakah realitas tersebut ada di luar sana atau di dalam pemikiran pembelajar ilmu?

Pertanyaan kedua, “bagaimana mendekati realitas untuk keilmuan tertentu” berkaitan dengan posisi pengamat terhadap realitas. Pertanyaan ini dekat dengan metodologi keilmuan dan mempertanyakan karakteristik dari tiap jenis ilmu. Berdasarkan pertanyaan ini, ilmu komunikasi sebenarnya ada di dua domain, yaitu ilmu sosial dan ilmu humaniora walau kedua ilmu tersebut juga mengalami perkembangan sendiri yang juga sepesat ilmu komunikasi.

Terakhir, “untuk apa mempelajari realitas tertentu” merujuk pada motif akhir dalam memperdalam ilmu komunikasi. Dalam perspektif empirisisme, pembelajar bertujuan mendapatkan pengetahuan yang dapat diterapkan secara umum dan hasil telaah diasumsikan dapat digeneralisasikan pada realitas yang mirip. Sementara dalam perspektif rasionalisme, pengetahuan didapat dengan cara memahami realitas. Motifnya adalah mencari keunikan dan kedalaman dari realitas tertentu.

Selain itu, terdapat tiga lokus dalam memperlajari ilmu komunikasi, yaitu institusi produsen/kreator pesan, pesan, dan audiens. Juga mesti diingat, apa, bagaimana, dan untuk apa kita mendekati semua lokus keilmuan tersebut adalah dengan selalu mengaitkannya dengan empirisisme dan rasionalisme. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana kita mencari informasi atau data pengamatan untuk tiap lokus tersebut?

Sumber informasi sebenarnya hanya ada dua yaitu orang dan teks atau dokumen tertulis. Individu atau orang sebagai sumber informasi kemudian bisa diperluas lagi menjadi interaksi antar orang yang menciptakan prosedur dan proses, yang bisa kita amati secara langsung ataupun melalui dokumen yang dihasilkan dari interaksi tersebut.

Individu dalam lokus organisasi pencipta pesan atau media misalnya, bukanlah sekadar individu, tetapi nilai informasi darinya ditentukan dari posisi dalam institusi dan perannya dalam produksi pesan. Begitu pun dalam lokus audiens, individu bisa dipahami sebagai “individu” yang unik atau sekumpulan orang yang diasumsikan memiliki karakter yang sama.

Lokus pesan atau konten media kemungkinan besar merupakan lokus terpenting karena di sinilah fokus keilmuan komunikasi berasal. Institusi media misalnya merupakan wahana dari banyak ilmu untuk diteliti tetapi ilmu komunikasi adalah yang utama karena fokus media adalah menghasilkan konten. Jadi, bila pembelajar dari ilmu ekonomi mempelajari institusi media dan berfokus pada aspek keuangannya, tentu saja masih sesuai dengan fokus ilmunya. Begitu pula sebaliknya. Bila ada pembelajar ilmu komunikasi tertarik dengan institusi lain selain media, misalnya Bank atau partai politik, tentu secara keilmuan masih dibolehkan asalkan fokusnya tetap pada produksi/kreasi dan distribusi pesan, internal apalagi eksternal institusi.

Cara kita belajar sesuatu juga beragam. Mulai dari yang awal sampai yang akhir, mulai dari yang sederhana sampai cara yang relatif kompleks. Cara awal dan paling sederhana dalam mempelajari sesuatu adalah mengenali dan mendefinisikan istilah-istilah yang relevan. Definisi istilah atau konsep sebenarnya baru berguna bila bisa dihubungkan dengan lokus dan membentuk taksonomi yang dibenarkan secara ilmiah.
Hal ini pun sebenarnya bukan perkara mudah. Ilmu komunikasi yang memiliki dua “kaki”, satu kaki di ilmu sosial dan satunya lagi di ilmu humaniora, memiliki banyak definisi konsep yang sama pada lokus yang berbeda, dan seringkali memiliki karakter yang unik dan tidak mudah dipindahkan pada bagian taksonomi tertentu.

Itulah sebabnya, para pembelajar yang semata-mata berusaha mencari istilah di internet seringkali kesulitan menempatkan istilah tersebut pada “tempat” yang sesuai. Katakanlah konsep “audiens aktif” yang dipahami lebih pada laku fisik. Juga istilah “struktural” dalam memahami audiens yang berbeda sekali dengan “strukturalisme” pada teks. Juga konsep “literasi media” yang disalahkaprahi sebagai pandangan kritis atas media. Sedihnya, salah kaprah tersebut juga menghinggapi pembelajar komunikasi yang sudah malang melintang di dunia riset.

Contoh terbaru misalnya, saya pernah diprotes seorang rekan mengenai istilah “industri kreatif” yang sering digunakan untuk membicarakan media baru . Menurutnya, setiap industri bagaimana pun harus kreatif, tidak peduli pada media baru ataupun media lama. Hal yang dia lupa adalah makna “kreatif” di sini bukan merujuk pada kata sifat, melainkan karakter dari pesan media baru yang lebih dekat dengan ide dan keunikan pesan. Inilah yang menjadi dasar bagi industri kreatif.

Masih banyak kasus sebenarnya yang menunjukkan bagaimana definisi konsep justru bisa menjebak para pembelajar. Lalu bagaimana cara menghindari jebakan tersebut? Caranya adalah tidak menghentikan aktivitas belajar pada definisi, kita mesti “membaca” konsep sedetail mungkin dan mendudukkannnya pada taksonomi tertentu yang koheren, runtut dan solid.

Bukankah kehandalan hasil pembelajaran saling terkait dengan taksonomi yang ada di pemikiran, yang rasional, dan juga dengan taksonomi yang berlaku umum, yang relatif lekat dengan empirisisme?

(gambar dipinjam dari sitemaker.umich.edu)

2 komentar:

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...