Jumat, 07 Januari 2011

Album Musikal Laskar Pelangi: Kembali pada yang Asali


Ketika mendengarkan album “Musikal Laskar Pelangi” ini saya teringat dengan tim nasional sepakbola Indonesia yang tampil di piala AFF akhir tahun 2010 kemarin. Apa persamaan dan perbedaan Laskar Pelangi dengan timnas Indonesia? Perbedaan utamanya adalah Laskar Pelangi adalah hasil kreasi fiksi oleh Andrea Hirata yang berwujud novel dan terbit pada tahun 2005. Kisah ini memang sebagian berasal dari masa lalu penulisnya dan bersifat tak nyata, sementara timnas adalah sekumpulan pesepakbola berjumlah dua puluh tiga orang yang tampil mewakili Indonesia memainkan olahraga paling populer di negeri indah ini. Timnas adalah realitas. Fakta empiris yang ada dalam kehidupan. Mudah sekali mencari perbedaan keduanya. Kita akan menengok perbedaan yang lain nanti.

Lalu apa persamaannya? Persamaannya, Laskar Pelangi sebagai sebuah karya dan timnas sepakbola Indonesia adalah keduanya mengembalikan pada hal-hal yang asali. Hal-hal positif yang kita ingin rasakan secara kolektif. Hal asali pertama adalah keindahan berusaha dengan keras dari para tokohnya. Laskar Pelangi yang awalnya merupakan sebuah pesan media cetak, buku, kemudian juga merambah film dan musik rekaman. Kita semua ingat bahwa film dan OST dari film tersebut, media musik rekaman, yang muncul pada tahun 2008, juga sukses mengikuti novelnya. Kita disuguhkan kisah anak-anak yang berusaha dengan keras untuk menempuh pendidikan. Hanya satu anak yang kemudian bersekolah sangat tinggi tetapi kita semua pembaca bahagia dengan usaha yang mereka lakukan. Tak peduli pada akhir kisahnya, kita bahagia menyaksikan para tokoh Laskar Pelangi berusaha keras untuk belajar di tengah keterbatasan.

Hal yang sama terjadi pada timnas sepakbola kita. Kapan terakhir kali kita, masyarakat Indonesia, bergembira dengan sepakbola timnas sendiri? Kita mungkin sudah lupa karena sudah begitu lama. Saya pribadi antusias mengikuti timnas kita ketika jaman Bima Sakti cs bermain. Hal yang kita ingat baru saja di akhir tahun kemarin itu adalah kegembiraan mendukung timnas. Kita bangga dengan Firman Utina dan kawan-kawan tampil di lapangan. Walau kita tidak merengkuh gelar juara, kita bahagia melihat perjuangan berkelas timnas di leg kedua final AFF. Ada usaha yang luar biasa. Melalui sepakbola kemarin itu, rasa bangga kita atas nasionalisme Indonesia menguat kembali. Kita tahu bahwa masalahnya bukan di para pemain. Di tengah ketidakbecusan para pengurus PSSI, penampilan timnas adalah pelangi di hari-hari tak indah bersama PSSI yang mengurus sepakbola kita.

Hal yang asali tersebut juga mengalir dengan lancar dan hangat pada kita semua. Ide cerita yang sebenarnya biasa namun dikemas dengan luar biasa dari Laskar Pelangi mengalir pada pesan media yang lain. Perhatian masyarakat Indonesia juga kemudian membesar pada situasi pendidikan dasar di berbagai wilayah Indonesia, apalagi ketika novel Laskar Pelangi dibicakan dalam Kick Andy di sebuah stasiun televisi, salah satu dari sedikit program bagus di layar televisi kita.

Timnas sepakbola pun demikian juga. Antuasiasme masyarakat Indonesia menonton sepakbola negerinya sendiri meningkat. Keinginan besar untuk menjadi penonton yang baik juga meningkat. Hal ini terlihat dari dukungan yang tetap sangat besar pada timnas kita. Saya kira penyebabnya bukan ketampanan Irfan Bachdim keterampilan Christian Gonzales mengocek bola belaka, yang membuat fans timnas bertambah. Juga bukan hanya karena ekspos media yang besar sekali, namun sekali lagi, antusiasme itu berasal pada yang asali dari sepakbola. Baru kali ini kita begitu optimis memperbaiki kondisi persepakbola Indonesia. Baru kali ini kita sebagai masyarakat merasa terlibat intens karena pada hakekatnya sepakbola adalah punya kita bersama.

Bila kita sudah mengulik persamaan Laskar Pelangi dan timnas, kini saatnya kita melihat perbedaannya. Perbedaan lainnya, selain sifat fakta dan pesan media yang mungkin ditampilkan: faktual dan fiksional, adalah kehadiran di dalam pesan media yang lain. Dunia imajiner yang diciptakan Laskar Pelangi berkembang tidak hanya di novelnya, melainkan juga berkembang menjadi beragam isi pesan media lain sampai pada drama musikal ini. Drama musikal yang kembali meneguhkan bahwa sebagai seperangkat ide, Laskar Pelangi memang luar biasa. Pesan media yang belum muncul dari Laskar Pelangi hanyalah pesan media baru, misalnya Laskar Pelangi belum hadir di dalam game komputer. Padahal, bila kita melihat isinya potensi Laskar Pelangi untuk ditampilkan dalam game sangatlah besar. Laskar Pelangi bisa menjadi game yang bagus dan mendidik. Juga tak ada situs yang terus mengumpulkan informasi terbaru tentang Laskar Pelangi, misalnya tentang sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh wilayah Indonesia yang bagus namun terkendala dengan fasilitas yang ada.

Hal ini yang berbeda dengan timnas sepakbola Indonesia. Timnas sebagai sebuah konsep dalam pesan media belumlah dikelola dengan baik. Timnas beserta sampirannya, terutama para istri pemainnya, memang muncul dalam infotainment. Tetapi bukan itu intinya dan dalam beberapa hal malah merugikan muncul dalam “berita” infotainment. Hal yang belum diupayakan adalah pesan mengenai timnas yang tertata dengan baik dalam beragam pesan media “formal” dari timnas sendiri. Misalnya saja timnas dibuatkan film dokumenter yang bagus, atau album kompilasi tentang timnas sehingga memiliki lagu sendiri. Bukan lagu dari film “Garuda di Dadaku” walau lagu tersebut bagus. Atau bahkan bekerja sama dengan pengembang game untuk ditampilkan dalam game sepakbola tentang timnas Indonesia. Bukankah anak bangsa kita banyak yang jago membuat game?

Album musik dari drama musikal Laskar Pelangi besutan Riri Riza ini sangat layak diapresiasi. Kesebelas lagu yang dihadirkan enak didengar dan bergenre langka dalam lanskap musik Indonesia. Erwin Gutawa dan Mira Lesmana piawai menghadirkan musik dan lirik yang pas. Mungkin karena Riri Riza dan Mira Lesmana jualah yang menghadirkan film Laskar Pelangi sekitar tiga tahun yang lalu. Penyanyi yang berkontribusi di album ini juga bagus, terutama Dira Sugandi dan Eka Deli. Belum lagi para penyanyi belia yang mengisi drama ini juga bersuara sangat bagus.

Lirik yang hadir di dalam semua lagu album ini juga termasuk kategori indah. Saya terkesan dengan upaya merelasikan konsep Laskar Pelangi dengan jembatan keledai untuk mengetahui ketujuh warna pelangi, mejikuhibiniu. Terobosan makna yang menarik setelah judul Laskar Pelangi di mana sebelumnya kata laskar identik dengan makna yang negatif; kekerasan dan intoleransi. Kini makna laskar berubah menjadi positif, kolaborasi dan keberagaman.

Walau begitu, masih ada sedikit kekurangan, yaitu tiadanya terobosan tafsir baru atas teks awal. Padahal ide awal yang berasal dari novel misalnya, sedikit memunculkan ketimpangan kelas dan relasi cinta antar etnis. Kedua topik “sensitif” itu bisa saja diperlebar tafsirnya. Ketimpangan kelas muncul dalam lagu “Nasib Tak akan Berubah” dengan kata kuli yang disebut berulang-ulang. Istilah ini bisa dieksplorasi lebih mendalam. Jangan-jangan kita semua adalah kuli dan ada di banyak bidang lain selain pendidikan? Pun dengan relasi cinta antar etnis di lagu “Jari-jari Cantik”, yang berkisah bagaimana Ikal jatuh cinta pada Aling. Fenomena jatuh cinta kultural yang hanya melalui jari-jari Aling. Menarik bila problematika hubungan dua anak manusia antar etnis di lagu tersebut, juga di kisah aslinya, dilebarkan lagi. Mungkin dalam kisah yang nantinya muncul dalam pesan media yang lain. Di dalam pesan media yang bukan untuk anak-anak atau semua umur.

Kekurangan yang lain adalah kesempatan audiens untuk mengakses pesan media ini. Sama seperti drama musikalnya yang hanya dimainkan di Jakarta dalam waktu hanya beberapa hari, album ini hanya bisa diakses atau dibeli di toko-toko buku Gramedia sehingga kesempatan masyarakat menikmati karya yang bagus ini terlimitasi. Di luar itu semua, album ini sangat layak didengarkan oleh semua usia dan dalam semua waktu, siang atau pun malam, karena yang asali selalu cocok untuk semua umur dan semua keadaan. Karena yang asali selalu membuat kita bahagia dan tercerahkan.

Judul Album : Musikal Laskar Pelangi
Penyanyi : Various Artist
Komposer : Erwin Gutawa & Mira Lesmana
Produser dan Arranger : Erwin Gutawa
Tahun : 2010

Daftar lagu:
1.Ensemble Theater Company Musikal Laskar Pelangi & Lea Simanjuntak - Nasib Tak Akan Berubah
2.Anak-anak Laskar Pelangi - Anak Pelangi
3.Christoffer Nelwan - Jari-jari Cantik
4.Gabriel B. Harvianto, Lea Simanjuntak & Iyoq Kusdini - Sekolah Miring
5.Eka Deli & Ensemble Anak-anak Laskar Pelangi - Sahabat Alam
6.Teuku Rizki & Ensemble Musikal Laskar Pelangi - Mahar & Alam
7.Ensemble Theater Company Musikal Laskar Pelangi - Blues Nasib Tak Akan Berubah
8.Dira Sugandi - Hilangnya Harapan
9.Hilmi Faturrahman & Ivant Septiawarman - Menanti Ayah, Menanti Lintang
10.Hilmi Faturrahman - Salam Perpisahan
11.Ensemble Theater Company Musikal Laskar Pelangi - Nasib Telah Berubah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...