Senin, 31 Januari 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 1


Banyak pengalaman yang saya rasakan langsung melalui panca indera atau tubuh. Juga banyak pengalaman tak langsung yang saya coba pahami dengan menggunakan pikiran. Ragam hal tersebut bila tak diikat dalam untaian kata akan menghilang dengan cepat nantinya. Segala macam hal yang saya alami tersebut berkaitan erat dengan aktivitas saya di tempat utama, Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, dan dua “aktivitas” lain yang tidak menyimpang dari profesi saya. Malah sebenarnya ketiganya saling mendukung dan melengkapi.



Semua hal tersebut mudah hilang bila tak segera dicatat dan dikomentari, bahkan lebih mendalam lagi, dianalisis. Karena itulah, agar apa pun yang saya alami dan coba ketahui tidak hilang, saya mencoba menuliskannya. Semua itu akan coba saya maktubkan dalam tulisan yang berjudul “Belajar Bermedia Bersama” disingkat BBB. Aslinya, Belajar Bermedia Bersama, adalah slogan atau bahasa kerennya tagline di newsletter Polysemia di organisasi nirlaba yang saya dan teman-teman keloka, PKMBP, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer. Judul BBB saya gunakan agar saya pribadi, dan teman-teman, tidak lupa ada “’lembaga” yang kami urus, agar terus berjalan dan coba berkontribusi sosial, terutama di bidang kajian media.



Belajar bermedia bersama itu paling tidak dapat dimaknai tiga hal. Pertama, bahwa di dalam hidup ini kita selalu belajar, dan media adalah salah satu sumber informasi untuk dipelajari. Di era seperti sekarang ini, media bahkan menjadi sumber informasi utama, juga sumber panduan nilai hidup terkemuka. Kedua, bermedia adalah esensial di dalam kehidupan bersama. Media adalah semacam alat dan upaya untuk mencapai kehidupan bersama yang lebih baik. Melalui media kita bisa berbagi hal-hal positif dan mengurangi dampak hal-hal negatif. Terakhir, bahwa di dalam belajar, bersama itu lebih baik daripada belajar sendirian. Hal ini saya buktikan sendiri. Saya dan teman-teman di tiga tempat saya beraktivitas, mendapat manfaat dari berkolaborasi secara langsung maupun tak langsung. Media membantu kita dalam berbagi untuk saling belajar.



BBB adalah upaya sederhana saya untuk menangkap berbagai topik tentang media, dan lebih luas tentang komunikasi, yang terjadi dalam waktu seminggu. Dengan begitu, semestinya tulisan ini coba mendedah fenomena kemediaan pada minggu pertama tahun 2011 ini. Sayang memang karena tahun ini sudah berjalan tiga minggu dan saya agak telat memulai serial BBB ini. Karena itulah, saya akan menuliskannya dalam tiga bagian. Untuk bagian pertama ini tentu saja sedikit lebih panjang karena ada latar belakang modus tulisan.



Untuk BBB bagian pertama ini, saya juga akan sedikit berbincang tentang fenomena kemediaan pada tahun 2010 kemarin karena sayang bila dilewatkan begitu saja dan mesti terdokumentasikan dengan baik agar informasi yang ada bisa dikelola dan diperdalam lagi. Sebagian yang dibahas sedikit banyak sudah saya perbincangkan di program acara “Angkringan Gayam” dua minggu lalu. Sebagian yang lain coba saya ingat dari berbagai kejadian yang saya tangkap dari media.



Tahun lalu perbincangan mengenai media didominasi oleh berbagai kejadian yang berkaitan dengan media baru. Perbincangan pertama adalah kasus Ariel yang tersandung permasalahan pornografi di dunia maya. Sampai kini kasus tersebut masih ramai dibicarakan dan menimbulkan polemik di masyarakat. Hal yang patut disayangkan adalah kasus ini menghabiskan waktu dan upaya kita yang berlebihan, sementara ketersediaan jaringan internet bagi masyarakat Indonesia masih relatif minim. Kasus pertama ini juga menunjukkan pada kita bahwa media baru rentan digunakan oleh pihak penguasa untuk masuk ke dalam kehidupan privat kita. Kasus ini menjadi kasus pertama yang “menguji” Pornografi apakah implementatif bagi kehidupan kita dalam bermasyarakat sekarang ini.



Perbincangan kedua adalah kasus Sinta dan Jojo. Tindakan yang berawal dari iseng-iseng belaka ini ternyata mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Sekali lagi, kita disuguhi hal yang kurang substantif. Hasrat yang kuat untuk mendapatkan popularitas dengan instan membuat mereka mengunggah puluhan video gerakan lipsinc mereka di dunia maya. Lagu “Keong Racun” memang kemudian mempopulerkan mereka. Secara personal mereka memang untung, antara lain menjadi bintang iklan dan mendapatkan beasiswa dari kampus mereka. Tidak peduli bahwa untuk mendapatkan beasiswa yang diperlukan sebenarnya adalah kapasitas intelektual, bukan kapasitas “goyang badan”.



Kasus untuk media baru di tahun kemarin tidak hanya yang bernuansa “negatif”. Ada juga fenomena yang menunjukkan bagaimana media baru bisa dikombinasikan dengan media lama dan berkontribusi secara langsung untuk masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas komunitas Jalin Merapi sewaktu erupsi Merapi di akhir tahun kemarin. Jalin Merapi menjadi penghubung bagi berbagai tindakan personal dan kelompok untuk membantu sesama. Informasi mengenai kebutuhan akan bantuan bertemu dengan informasi pihak yang bisa membantu melalui Jalin Merapi. Aktivitas di media baru sekaligus menjadi penyeimbang liputan oleh sebagian media televisi yang dinilai berlebihan.



Dua kejadian lain yang juga mudah diingat di tahun yang lalu adalah riuhnya kasus Wikileaks yang kemudian menjadi perbincangan panas akan batas-batas informasi rahasia dan informasi untuk publik. Peretasan informasi yang dilakukan oleh Wikileaks dianggap sebagai tindakan ilegal oleh beberapa pemerintah negara kuat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa keterbukaan pemerintah suatu negara itu sebuah keharusan dan harus diketahui publik agar masyarakat bisa menilai dan mengetahui pelanggaran dan kejahatan pemilik kuasa.



Kasus “rekreasi” Gayus ke Bali juga menjadi sorotan. “Tertangkap”-nya Gayus oleh kamera seorang wartawan mengungkap betapa mudahnya Gayus keluar masuk tahanan. Foto Gayus dengan menggunakan wig yang “jayus” dengan segera bertebaran di dunia maya. Para pengakses dunia maya kemudian iseng (atau kreatif?) mengubah-ubah foto Gayus tersebut dengan memberi wig atau wajah yang berbeda. Di satu sisi kita bisa melihatnya sebagai bentuk kemarahan masyarakat atas kasus kaburnya Gayus pada aparat hukum. Di sisi yang lain, jangan sampai keisengan tersebut berlebihan sehingga merugikan individu lain yang tak bersalah.



Untuk kasus media lama cukup banyak juga yang bisa dicatat. Antara lain kisruhnya penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2010. Film yang dijagokan oleh banyak pihak ternyata tidak “menang” di FFI. Dewan juri pun harus dibentuk dua kali. Sungguh sayang, bila dunia perfilman yang kembali bergairah sejak awal dekade 2000 mesti kembali luruh karena insan di dunia perfilman sendiri yang saling tidak menghormati dan juga karena intervensi pemerintah yang terlalu jauh.



Kasus pembunuhan jurnalis juga semestinya menjadi keprihatinan kita bersama. Jurnalis yang di dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan hukum seakan sangat rentan tercabut nyawanya oleh pihak-pihak yang merasa terganggu kepentingannya. Tahun lalu wilayah Maluku menjadi wilayah paling rawan karena dua jurnalis terbunuh dalam menjalankan tugas di sana, yaitu Ridwan Salamun, kontributor SUN TV, dan Alfrets Mirulewan, Pimpinan Redaksi Mingguan Pelangi Maluku. Pun wilayah Papua, di mana Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV dan Tabloid Jubi, diduga dibunuh oleh pihak tertentu. Menurut Aliansi Jurnalis Independen tindakan kekerasan terhadap wartawan memang meningkat di tahun 2010 dibandingkan tahun sebelumnya.



Fakta tersebut seharusnya membuat kita berbenah serius agar perlindungan terhadap wartawan bisa maksimal dimulai dari meningkatkan pengetahuan dan kecakapan wartawan dalam meliput di wilayah konflik sampai dengan mendorong terus aparat keamanan untuk tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan dan juga melindungi wartawan dari tindakan kekerasan dari pihak-pihak lain. Hal ini semakin penting artinya di tengah sentimen identitas yang semakin kuat dan wartawan adalah bagian dari identitas tertentu.



Kasus lain di penghujung tahun yang bisa kita amati adalah bagaimana sepakbola nasional diliput oleh media. Fenomena sepakbola ini ramai dilaporkan dan dibicarakan tidak hanya di media lama tetapi juga di media baru. Baru kali ini kita melihat peliputan sepakbola nasional dengan luar biasa, mengalahkan liputan sepakbola Eropa dan Amerika Latin. Pemberitaan sepakbola malah cenderung berlebihan ketika menjadi sumber berita bagi program infotainment. Kelompok masyarakat yang dimasukkan dalam kelompok selebriti kelihatannya bertambah, pesepakbola masuk dalam “spesies” ini setelah penyanyi (tanpa karya) dan pemain film (tanpa film).



Isu mengenai infotainment mengemuka kembali setelah perdebatan tiga bulan sebelumnya atas pertanyaan apakah infotainment itu program faktual atau bukan. Perdebatan ini berdekatan dengan sanksi Komisi Penyiaran Indonesia untuk Metro TV yang kemudian memicu polemik atas kewenangan pemberian sanksi dan penyensoran antara KPI dan Dewan Pers. Di dalam kasus perdebatan panas tersebut kita juga melihat bahwa pemisahan antara kepentingan pribadi, kelompok, dan “jabatan” para anggota atau komisioner regulator media, dalam hal ini KPI dan Dewan Pers, penting untuk dibahas agar tidak terjadi konflik kepentingan.



Kembali pada sepakbola. Setelah kekalahan timnas Indonesia dari Malaysia di partai final AFF pemberitaan sepkbola nasional tidaklah surut. Sampai detik ini animo masyarakat untuk mengikuti pemberitaan tentang friksi antara PSSI dengan LPI, dan PSSI dengan berbagai kelompok masyarakat dan juga media, masih mengemuka. Keinginan masyarakat untuk melihat sepakbola negerinya berprestasi dan bukti bahwa masyarakat bisa berperan dalam kemajuan sepakbola nasional seakan menjadi amunisi yang terus-menerus ditangkap media untuk dilaporkan dan mengritik PSSI.



…dan dinamika kejadian yang melibatkan media atau menjadikan media sebagai salah satu aktornya akan terus berlangsung dan menunggu untuk dicatat dan dikomentari….Selamat terus mengamati dan berbuat dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...