Senin, 31 Januari 2011
Menulis dan Sahabat-Sahabatnya
Pagi hari keempat di awal tahun yang cerah. Apa yang mesti ditulisnya? Sebuah tulisan positif pembuka semangat, atau tulisan yang menghampa sekaligus mencerahkan, dan pada gilirannya membuat daya hidup lebih kuat? Lalu, bagaimana dengan formatnya? Telaah naratif faktual, atau mungkin sedikit “akademis”? atau kata-kata yang coba meminiaturkan situasi dan perasaan dengan hangat dan tipis seperti puisi? Pilihan itu terbentang luas kini. Sungguh beragam bentuk yang bisa dihasilkan atau dikreasikan dari untaian kata. Hal yang sama yang bisa dicurahkan manusia untuk memanifestasikan perasaan dan pemikirannya.
Benar saja seperti yang dia duga semula. Dia tak mampu menulis karena bingung dengan membuncahnya ide dan hasrat. Dia mencoba menulis apa yang disebutnya puisi, walau dia tidak percaya diri menyebut untaian kata yang ditulisnya adalah puisi. Ketika menghidupi sungai menulis…kata-kata akan mengalir deras. Larik itulah yang berusaha dia tulis untuk mengkreasi sebuah puisi. Namun kalimat itu hanya rangkaian kata tak berelasi dengan apa pun, termasuk dengan denting di hati seperti galibnya ketika menulis sebuah puisi. Tetap tak ada puisi yang tercipta. Kata-kata itu seperti terbendung di antara hulu dan muara ke samudera luas tulisan. Mungkin memang bukan waktunya berpuisi sekarang ini.
Dia pun tahu, pada suatu ketika bila “sungai puisi” sudah mengalir, ia akan mengalir dengan deras dan bisa berhari-hari.
Terlepas dari ketidakmampuan menguntai kata menjadi, yang dia sebut, puisi, sebenarnya masa belakangan ini, sekitar setahun ini, dia bersyukur karena relatif dia tidak merasa kesulitan menulis apa pun. Tulisan sekitar 600 kata untuk opini di surat kabar dan blog atau notes di FB, bukan lagi sesuatu yang sulit diwujudkan di masa sekarang ini. Tidak seperti masa lalu. Juga tulisan agak panjang untuk bab dalam buku, sekitar 3000 sampai 6000 kata, bukan lagi hal yang sangat sulit. Menulis menjadi jauh lebih mudah dibandingkan setahun yang lalu. Justru permasalahannya adalah, dia tidak bisa menghentikan hasrat untuk menulis apa saja, fakta dan fiksi, untuk “kewajiban” atau tugas dan untuk bersenang-senang.
Bila menilik pada hidup yang lebih luas, dia bisa membiarkan sungai menulis itu mengalir begitu saja. Biarkan semua berjalan apa adanya. Begitulah hatinya berkata-kata sendiri. Dari semuanya, yang terpenting di hatinya muncul rasa percaya diri yang syahdu. Semacam optimisme yang berdialektika di dalam diri, dan tidak ada urusannya dengan orang-orang lain. Terus terang, dulu beberapa tahun yang lalu, dia sangat terintimidasi oleh orang-orang lain ketika dia “dituduh” tidak bisa menulis dan hanya menggunakan sebagian otaknya, “otak sisa” untuk beraktivitas. Rasa sakit atas hinaan itu masih dia rasakan sampai sekarang. Dia yakin hinaan “otak sisa” itu adalah ucapan terkeji yang dia terima sampai kini. Walau dia menyesalkan dirinya juga karena terintimidasi ucapan seseorang yang tak berkelas seperti itu. Bahkan, salah satunya karena hinaan itu, sekitar tiga tahun yang lalu itu dia sangat tertekan dan bahkan berniat bunuh diri karena berbagai hal walau dia tahu perbuatan itu adalah dosa besar dalam buku agama, namun sebenarnya merupakan pengorbanan paling rasional di dalam buku filsafat, terutama dalam aliran eksistensialisme. Tetapi hampir pasti penganut eksistensialisme seperti dirinya pasti akan menerima rasa sakit. Bukankah esensi hidup ini adalah pada rasa sakit, ketiadaan, dan kehampaan? Seorang eksistensialis tidak akan bunuh diri sesakit apa pun kehidupan. Walau begitu sebagai akibat rasa sakit di hati dia menjadi memiliki hasrat untuk menelaah konsepsi tentang bunuh diri. Isu bunuh diri pernah diulas dengan sangat bagus dan indah di “Mite Sisifus” karya Albert Camus, “Veronika Memutuskan Mati” oleh Paulo Cuelho, dan dalam film “Elizabethtown”.
Rasa negatif itu untungnya hanya masa lalu. Kini dia menjadi lebih awas dalam memilih orang-orang lain yang bisa dekat dengannya. Untuk apa punya teman seperti Dementor dalam kisah Harry Potter, yang mengisap optimisme kita pada hidup sampai habis? Sedangkan orang-orang lain masih banyak, termasuk orang-orang yang memang dekat dan menerima dirinya apa adanya. Orang-orang yang berhati emas dan mencerahkan banyak dia temui belakangan ini. Beberapa sangat bagus hatinya dan diikuti oleh otak yang brilian. Tidak mungkin semua orang menyukai kita tetapi kita bisa menata siapa yang ada di sekitar hidup kita.
Tulisan ini adalah semacam perayaan kecil personal untuk merayakan aktivitas menulis yang dia lakukan. Tulisan yang sebenarnya bisa hadir beberapa bulan yang lalu namun tak juga dirampungkannya. Sedianya, tulisan ini berjudul “300 untuk Berhibernasi Selamanya”, tulisan yang coba dihadirkan untuk merayakan tulisannya yang ke-300 di sini. Juga sekaligus untuk menuntaskan semuanya. Dia ingin menulis sesuatu yang jauh lebih penting dibandingkan menulis “tak penting” di sini. Tetapi ternyata hatinya berkata lain, menulis di sini adalah salah satu hal yang paling eksistensial sekarang ini, paling penting baginya. Dia tidak bisa meninggalkannya, bahkan untuk berhibernasi sementara buat mengerjakan sesuatu yang lebih besar yang bernama disertasi itu.
Tidak, tidak mungkin dia menghentikan aktivitasnya menulis di sini sekarang ini. Tidak akan dia lakukan ketika dia menemukan sahabat-sahabat dalam aktivitas menulis, baik sahabat dalam makna sesungguhnya atau pun sahabat dalam arti metafor dari aktivitas menulis. Judul ini dia gunakan terus karena judul ini, yang berasal dari judul sebuah buku “Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya”, adalah judul yang paling dia sukai. Mengapa tidak ada rasa jeri pada kata “musuh” di dalam judul itu? begitu tanyanya, padahal kata musuh adalah suatu yang negatif, yang mesti dihindari. Sementara kebanyakan tulisan berbahasa Indonesia cenderung meninggalkan kata-kata negatif, termasuk kata musuh, padahal dari yang negatif, kita bisa mendapatkan daya hidup yang lebih menghajar.
Namun, kali ini dia memilih kata “sahabat” dibandingkan “musuh”. Bukan apa-apa, layaknya sebuah awal memang mesti dibungkus dulu dengan positif walau sulit sekali berpijak pada awalan dan selalu konsisten pada hasrat besar yang sama. Biasanya kita hanya jago dalam persiapan, namun mengendur pada detik-detik berikutnya. Kita memang selalu siap untuk siap-siap. Biasanya kita akan membuat resolusi awal tahun. Sudah bagus bila resolusi itu bertahap sepertiga tahun. Biasanya menuju akhir tahun, resolusi itu berubah menjadi kekosongan janji tanpa arti. Dia tidak ingin berjanji kosong pada dirinya sendiri.
Dia tetap berusaha mempertahankan optimismenya, yang penting berjanji dulu dalam hati. Dia juga tidak berusaha lupa bahwa yang terpenting adalah bukan menuju ke mana, melainkan bagaimana kita mencapai tujuan itu. Optimisme dan pesimisme seperti dualitas personal yang selalu mengambang di benak dan hati. Dia terus berusaha memompa hal-hal yang positif itu. Salam super, luar biasa, kau memukau...dia mulai merasakan tindakannnya justru semacam kebodohan. Mengapa tidak dijalani saja? dan kemudian dia mencoba mengingat-ingat hal-hal baik yang dia dapat dari menulis. Mengapa kita memerlukan kata-kata penyemangat dari orang lain padahal kita bisa memunculkannya dari diri kita sendiri?
Paling tidak ada empat hal penting yang dia dapatkan dari aktivitas menulis belakangan ini. Pertama, menulis adalah semacam pencerahan personal. Di dalam hidup sehari-hari kita mengalami hal yang menyenangkan atau menyedihkan. Dengan menuliskan hal-hal itu kita diingatkan oleh diri sendiri untuk tidak terlalu bahagia bila sedang dalam keadaan membahagiakan, juga tidak terlalu sedih berlebihan bila situasi sedang teruk. Salah seorang penulis perempuan malah menyebut bahwa menulis adalah salah satu upayanya untuk menjadi waras di dunia yang berubah terlalu cepat ini. Dia setuju dengan opini tersebut, seringkali upaya untuk menjadi sadar selalu berkembang melalui hal kecil seperti menulis.
Melalui menulis kita juga dituntut tanpa syarat untuk mencintai kata dengan tulus tanpa membeda-bedakan karya sendiri. Dia ingat sekali bertahun-tahun dia meletakkan tulisan faktual atau akademis dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tulisan fiksional. Hal ini juga berlaku untuk bacaan. Beberapa tahun yang lalu, cukup lama dia menghindari membaca fiksi dengan intens karena pembedaan anggapan tersebut. Keadaan tersebut bukanlah pencerahan. Namun sekitar setahun ini, dia coba mengubah lagi persepsinya atas jenis tulisan, terutama karyanya sendiri. Toh, semua jenis tulisan tersebut berasal dari dirinya sendiri. Tak baik membeda-bedakan sesuatu apalagi yang berasal dan berkaitan dengan diri sendiri.
Karena itulah, dia mulai memperhatikan fiksi lagi dengan lebih baik. Dia kembali membaca dan menulis puisi walau awalnya sulit sekali karena sudah agak lama “keran” puisi di dunia kreasinya tersendat. Begitu juga dengan prosa, dia semakin mencintai novel-novel, terutama karya Haruki Murakami, penulis asal Jepang yang dia kagumi karena mengeksplorasi area yang “tidak terketahui” dengan sangat baik. Murakami dianggap sebagai Kafka dari Timur (atau bisa juga Kafka adalah Murakami dari Barat?). Dia juga kemudian membaca dan mendalami Kafka yang ternyata sangat bagus. Kafka memang dikenal kuat dalam cerpen-cerpennya tetapi novelnya juga luar biasa. Begitu pun dengan cerita pendek. Dia mulai menyukai kembali cerpen karya penulis Indonesia, terutama karya AS Laksana dan Hamsad Rangkuti, yang dinilainya sangat eksistensialis. Karya Hamsad Rangkuti misalnya, membuatnya teringat dengan kampung halamannya yang tidak berada dalam koridor budaya Jawa. Pengalaman yang indah namun tak mungkin lagi dia rasakan. Begitu pun karya AS Laksana yang “tajam” sekaligus indah. Ada sedikit penyesalan karena sebenarnya dia memiliki kesempatan mengenal lebih jauh dengan AS Laksana yang satu almamater dengannya, sekaligus sahabat karib dari dua sahabatnya di kantor. Itulah sebabnya belakangan ini dia juga sangat menyukai surat kabar yang terbit pada hari Minggu karena memuat cerpen-cerpen yang bagus, terutama dua harian terkemuka di Indonesia. cerpen-cerpen itu indah, singkat, dan mendalam. Koran edisi hari Minggu sangatlah asyik.
Kedua, menulis adalah perjalanan pada wilayah yang tidak diketahui, ini adalah pendapat Charlie Kaufman, seorang penulis skenario hebat, writing is a journey to the unknown. Dia sendiri seringkali kaget karena di tengah aktivitas menulis biasanya sesuatu yang tidak terpahami bisa dieksplorasi, atau bila bukan sesuatu, dia bisa menyampaikan sesuatu dengan cara yang berbeda yang belum terpikir sebelumnya. Merasakan, memahami, dan merayakan perbedaan kecil dan tipis dalam hidup sendiri. Kini dia begitu menikmati menguntai, mengurangi, dan merangkai kembali kata. Jauh lebih mencintainya jauh dibandingkan dahulu. Kata-kata ternyata dapat membawanya pada “tempat” yang belum tersentuh atau bahkan belum terpikir sebelumnya walau sudah dirasakan dengan panca indera.
Inilah yang mungkin membuat seseorang yang sudah menemukan indahnya menulis cenderung ketagihan karena ada unsur “bertualang” tersebut. Dia ingin merasakan kondisi yang pas untuk terus bertualang ke wilayah yang tak terpermanai tersebut. Kasus ini mirip dengan Endah N Rhesa yang merasa tidak cukup hanya dengan menulis lagu dan tulisan di blog mereka. Mereka selalu ingin terus melontarkan daya kreasi mereka. Ketagihan menguntai kata ini yang mesti dijaga penuh. Menguntai kata dan mengeksplorasi yang sebelumnya tak terpermanai adalah kebahagiaan yang luar biasa.
Ketiga, menulis membantu menata pikiran dan emosi. Di dalam sehari saja, banyak hal yang dia pikirkan dan rasakan. Menulis membantunya untuk mengingat kegiatan pikiran dan hatinya. Sekitar dua bulan yang lalu ada kasus yang menarik dan sederhana yang terjadi padanya. Dua bulan lalu itu rumahnya dicat kembali karena warna yang lama sudah lumayan pudar. Pengecatan rumah membuat buku-bukunya sulit dicari dan tak tertata karena semua disingkirkan. Sulitnya mendapatkan buku yang dia cari lumayan membuatnya kesulitan menata pikiran, apalagi menuliskannya. Sumber argumen bila tak ditemui ketika diperlukan sungguh menghabiskan energi.
Dia kemudian membayangkannya bila hal tersebut terjadi pada otak dan hati. Bagaimana bila kita ingin mencari suatu informasi, otak kesulitan karena informasi tersebut tak tertata dengan baik? Bagaimana bila dia ingin mencari respon emosi yang cocok bila satuan emosi tersebut tidak terdokumentasi pada tempatnya? Karena itulah, menulis apa pun itu diperlukan untuk menata satuan atau berkasan di pikiran da hati. Selain itu menulis di dalam prosesnya, erat dengan kepentingan pengembangan ide atau pragmatisme. Menulis tidak hanya masalah tata menata pemikiran dan emosi melainkan juga mewujudkannya secara nyata. Bukankah kita seringkali mendengar atau membaca dari para motivator bahwa untuk mewujudkan harapan kita bisa mengucapkannya tiap pagi, tentunya dengan menuliskannya, harapan tersebut bisa lebih menekan untuk diwujudkan di dalam tindakan. Tulisan itu akan mendesak secara konsisten untuk diwujudkan. Tulisan sangat membantu untuk mengimplementasikan mimpi kita.
Keempat, menulis itu berbagi dan saling membantu dengan manusia lain. Menulis adalah aktivitas yang personal, namun ketika sebuah tulisan selesai, tulisan itu juga menjadi perangkai yang baik dengan manusia lain. Bersama teman-teman yang juga antusias menulis sungguh banyak hal yang bisa didapat. Sangat banyak hal yang dia dapatkan dari teman-temannya. Hal yang sama dengan harapannya, semoga tulisannya pun berguna dan bermakna bagi para sahabatnya. Bagaimana pun juga, menulis adalah semacam kesadaran bahwa kita bersama, bahwa ada banyak hal yang bisa diceritakan dan pasti ada yang menyimaknya. Inilah arti penting menulis yang menguatkan kembali manusia sebagai makhluk sosial yang memaknai sesuatu dan membaginya. Dia merasakan itu. Dia merasa terangkai.
Untuk itulah dia taut rekan-rekannya. Para sahabatnya sepanjang jalan, yang sejak awal bersamanya walau mereka jarang mengomentari tulisan-tulisannya. Tak apa, karena dia tahu para sahabatnya itu selalu ada untuknya. Juga dia taut rekan-rekan menulisnya, teman-teman yang berbagi tulisan dan prosesnya untuk semua jenis tulisan dan juga ragam topik tulisan, mulai dari topik media sampai sepakbola, mulai tulisan faktual akademis yang formal, sampai tulisan fiksional yang bebas dan lepas. Kini dia bahagia dari pagi ke pagi, senja ke senja, juga dari hujan ke kemarau. Ajaibnya, itu semua hanya karena menulis. Hanya karena menguntai kata dengan ikhlas utuh penuh. Rekan-rekan, mari terus menulis dan berbagi.
Apa pendapat teman-teman, terutama yang saya taut di tulisan ini, atas aktivitas menulis masing-masing? Indah dan berhargakah seperti yang saya rasakan?
# 4 – 28 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar