Jumat, 14 Januari 2011

Laskar Pelangi: Ketika Kebaikan Menular

Oleh: Wisnu Martha Adiputra dan Diyah Hayu Rahmitasari



Ketika coba mereview album drama musikal Laskar Pelangi, saya teringat dengan seorang rekan yang minggu depan akan melanjutkan studi ke Australia. Rekan saya ini jauh lebih muda dari saya dan galibnya orang muda, dia begitu antusias belajar banyak hal tentang fenomena komunikasi dan tulisan-tulisannya juga bagus. Walau dia lebih muda, saya pun banyak belajar darinya. Walau kemudian kami tidak lagi sekantor, saya yakin di lain waktu kami akan berkolaborasi lagi dalam menulis dan meneliti. Bagaimana pun aktivitas akademis, meneliti, mempublikasi hasil telaah, dan berbuat atau berkontribusi untuk masyarakat, tidak akan bisa dibatasi oleh tempat. Kerja akademis itu berbasis pada kompetisi yang sehat dan kolaboratif di berbagai kampus dan organisasi masyarakat sipil.



Hal lain yang membuat saya teringat pada dirinya adalah bahwa kami pernah menulis bersama tentang film Laskar Pelangi sekitar dua tahun yang lalu. Hayu, dan juga Zaki, selamat belajar (lagi) dan sukses selalu untuk kalian berdua (eh, bertiga dengan dek Hayya). Teruslah menjadi “anak muda” yang menginspirasi dan menularkan kebaikan. Dan seperti kata Hayu di tulisan di bawah ini, janganlah melupakan mimpi-mimpi besar kita :D



Hayu, selamat mengenang-ngenang. Teman-teman, terutama yang saya taut, selamat membaca....



Rasanya film Laskar Pelangi belum berhenti membuat kejutan demi kejutan bagi kita. Kejutan terakhir adalah jumlah penontonnya yang sudah mencapai hampir tiga juta dalam waktu sebulan masa tayang. Sekitar empat puluh hari sejak film Laskar Pelangi dirilis pada 25 September 2008 di bioskop-bioskop Indonesia, masih ditemui deretan panjang antrian penonton yang disusul dengan terpasangnya kertas putih bertuliskan “maaf, tiket Laskar Pelangi untuk hari ini habis”. Terlepas dari fakta bahwa hanya ada satu bioskop yang menayangkan Laskar Pelangi di Yogyakarta, fenomena ini mempertegas bukti bahwa film besutan Riri Riza ini memang layak diacungi jempol.



Diangkat dari sebuah novel best-seller karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi bercerita tentang anak-anak Belitong dalam memperjuangkan mimpi mereka, terutama impian yang terkait dengan pendidikan, disertai pula dengan bumbu-bumbu diskriminasi, persahabatan, dan juga cinta. Dengan setting alam Pulau Belitong yang indah dan unik, film ini mencoba menawarkan sesuatu yang relatif baru bila dibandingkan dengan urusan mistis dan berbau pornigrafi yang seringkali muncul dalam film Indonesia.



Hal yang paling penting menurut kedua penulis adalah kita dapat belajar dari sesuatu yang positif dari fenomena Laskar Pelangi. Inti dari “pelajaran” tersebut adalah bahwa kebaikan itu menular. Bila kita terus berusaha berbuat baik dengan sekuat tenaga, kebaikan tersebut akan menulari pihak lain, dan juga diri kita di upaya berikutnya. Kebaikan tersebut akan merembes ke mana-mana.



Paling tidak ada tiga hal baik yang ditularkan dan juga diciptakan (kembali) oleh Laskar Pelangi. Pertama, penularan “pesan” media yang baik. Buku (novel) yang bagus “menulari” penciptaan film yang bagus. Film yang bagus menulari penciptaan album soundtrack yang bagus. Bukunya dibeli dan dibaca oleh banyak pembaca dan telah sampai dicetak ulang berkali-kali. Filmnya ditonton oleh jutaan orang. OST (Original Soundtrack)-nya habis di toko-toko kaset dan CD. Fakta larisnya album OST Laskar Pelangi pasti akan lebih bila pembajakan tidak marak di Indonesia. Larisnya Laskar Pelangi dalam variasi produk dan kreasi pesan medianya ini tentu saja bukan melulu karena kualitas tetapi juga karena tim manajemen dan distribusi yang bekerja dengan sangat baik.



Dari sini kami berdua menyimpulkan bahwa proses “adaptasi” pesan pada dasarnya adalah esensi dari kerja media. Sebagai sebuah karya fiksi kreatif, realitas yang ada di dalam film dan buku adalah rekonstruksi dari realitas sosial. Hal ini pula yang berlaku dalam film Laskar Pelangi. Film ini bahkan merupakan hasil dua kali adaptasi. Pertama, adaptasi Andrea Hirata atas hidup personalnya dan kehidupan masyarakat Belitong yang ditafsirnya, dan kedua, hasil adaptasi Riri Riza atas novel Andrea Hirata. Sangat wajar jika kemudian, kisah di dalam film memiliki hiperbola di sana-sini, sebagaimana yang dikeluhkan oleh audiens yang mengakses kedua pesan media, buku dan film. Misalnya, keberadaan Lintang sebagai si jenius hasil didikan alam. Bagi beberapa orang hal ini dianggap sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta, ambisius dan berlebihan. Juga adegan menunggu buaya lewat yang menurut beberapa penonton tidak masuk akal. Walau begitu, secara umum metamorfosis pesan media Laskar Pelangi dari novel ke film merupakan proses yang bagus karena memang berada dalam koridor pesan fiksional.



Kedua, kebaikan tersebut tidak hanya menulari pesan atau teks media yang lain, “penularan” hal-hal baik dan asali tersebut juga mewujud sampai ke dunia nyata. Beberapa kejadian nyata terinspirasi oleh Laskar Pelangi. Berbagai kejadian tersebut paling tidak terdokumentasi dalam media massa akhir-akhir ini. Ada guru yang berusaha menjadi guru yang lebih baik lagi seperti ibu Muslimah, salah satu tokoh di Laskar Pelangi. Ada kepedulian yang meningkat pada pendidikan oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, juga perhatian yang lebih besar pada daerah terpencil, seperti sekolah yang hampir roboh, SD Muhammadiyah di pulau Belitong, yang fasilitas pendidikannya minim.



Pertanyaan selanjutnya, mengapa Laskar Pelangi dapat mendorong perubahan walau belum bersifat sistemik? Kita akan sedikit menafsir teks filmnya. Antara lain jawabnya adalah Laskar Pelangi mengajak kita berpikir alternatif. Ada perspektif baru yang ditawarkan. Kita “dipaksa” untuk merombak pemikiran dan mulai mengindahkan fakta bahwa masih ada anak-anak yang bersekolah dengan tidak menggunakan seragam, masih banyak pembelajar yang belajar berhitung dengan batang lidi, bahkan masih banyak anak yang mesti putus sekolah karena keadaan yang memaksa seperti Lintang. Kesediaan untuk melihat sesuatu hal dengan perspektif yang lain merupakan langkah awal untuk bisa memahami (dan menikmati) kehidupan. Laskar Pelangi telah mengajarkan hal tersebut.



Kebaikan dalam level ini diharapkan bisa menular pada hal baik yang lain, yaitu menghargai pendidikan, meskipun ketika adegan para anggota Laskar Pelangi mengusir kambing-kambing dari ruang kelas terpampang di layar, masih banyak penonton yang tertawa ngakak dan bukannya tersenyum miris. Contoh ini menunjukkan bahwa kita masih memerlukan waktu lagi untuk menghargai pendidikan dengan tulus, bukan pada gelar ataupun potensi ekonomi, melainkan pada proses pendidikan yang mencerahkan.



Hal berikutnya yang dapat menggugah kita adalah tentang impian masa kecil. Film yang berdurasi lumayan panjang ini menekankan pentingnya “membebaskan” impian masa kecil, yang mungkin kelak akan berguna ketika kita bertambah dewasa: jangan pernah mematikan impian sendiri. Salah satu merek otomotif terkemuka pernah menggunakan tagline “the Power of Dream” atau kekuatan mimpi. Mimpi memang merupakan kekuatan yang sangat penting, terutama mimpi-mimpi yang kita miliki semasa kecil. Karena gambar menara Eiffel pada kotak yang diberikan Aling-lah, Ikal kecil kemudian bermimpi untuk bisa pergi ke Paris. Mimpi itu akhirnya berhasil diwujudkannya. Siapa yang menyangka jika tanpa sadar, mimpi masa kecil tersebut mengendap di otak dan kemudian merembes pada hati dan tindakan dan pada akhirnya menggiringnya untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sepertinya Paulo Coelho benar, ketika ia mengatakan bahwa ketika kita bermimpi, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu kita mewujudkan mimpi tersebut.



Terakhir, kebaikan dari Laskar Pelangi juga semestinya membuat kita kembali berpikir atas efek positif dari media. Selama ini kita lebih sering berfokus pada efek negatif media, misalnya pengaruh media yang dianggap besar pada kekerasan, pornografi, dan panik massa. Kepanikan masyarakat sebagai akibat tayangan Smackdown di layar televisi beberapa tahun yang lalu adalah contohnya. Bila ada kejadian negatif di masyarakat, kita cenderung menyalahkan media. Bila ada efek positif, kita cenderung melupakan media. Kini saatnya kita kembali memperhatikan dan mengoptimalkan cara agar media memfasilitasi kebaikan pada kehidupan bersama masyarakat Indonesia.



Akhir kata, Laskar Pelangi adalah fenomena luar biasa. Tetapi hal yang lebih luar biasa adalah bagaimana kebaikan ditularkan olehnya. Perbuatan baik mungkin sesuatu yang sudah cukup banyak dilakukan oleh insan bangsa ini tetapi kebaikan yang menular dan ditularkan terus menerus pada banyak orang adalah sesuatu yang masih jarang. Belajar dari Laskar Pelangi, marilah kita saling menularkan kebaikan!



*****



#Tulisan dalam versi awal dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 13 November 2008. Tulisan ini sudah mengalami sedikit perbaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...