Selasa, 25 Januari 2011

Agar Regulator Media Tidak Menjadi Ironi


sebelumnya, terutama pada lima tahun pertama setelah 1998. Setelah tahun 2003 pelan namun pasti rejim penguasa, yang diwakili oleh pemerintah mulai kembali mencengkeram kebebasan tersebut. Hal ini bisa dilihat melalui perannya yang semakin besar sebagai regulator dan peraturan perundangan yang dihadirkan. Bahkan regulator yang lain, terutama yang dibentuk oleh legislatif, pun diintervensi melalui peraturan pemerintah yang dikeluarkannya. Suatu produk perundangan bisa saja bagus dan demokratis, namun bila turunannya tidak demokratis, tentunya tidak akan bagus bagi kemerdekaan bermedia.



Paling tidak ada lima regulator media yang terbentuk atau dibentuk kembali setelah Reformasi 1998. Berikut ini regulator-regulator tersebut berdasarkan urutan waktu keluarnya Undang Undang yang memformulasikannya: pertama, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang uniknya ditetapkan bukan oleh UU melainkan oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 2003. Walau sudah ada UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, namun BRTI tidak disebut secara jelas di dalam UU ini. BRTI adalah regulator media yang unik. Walau di bawah “koordinasi” pemerintah, regulator ini relatif baik menjalankan prinsip kepublikan, terutama berkaitan dengan isu monopoli.



Kedua, Dewan Pers, berdasarkan UU No. 40 tahun tentang Pers. Regulator ini tidak berasal dari bentukan negara apalagi pemerintah. Dewan Pers merupakan self regulatory body yang berasal dari insan pers sendiri dan dipilih oleh mereka walau nantinya disahkan oleh presiden. Dewan Pers relatif baik dalam menjalankan tugasnya walau sebenarnya tugasnya cukup berat, yaitu mengurusi semua jenis media dalam fungsinya mendistribusikan pesan faktual kepada masyarakat. Selain itu, tugas Dewan Pers menjadi berat karena wilayah kerjanya di seluruh Indonesia walau tidak ada Dewan Pers daerah.



Ketiga, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Daerah (KPID), yang terbentuk berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Regulator media ini menjalankan tugasnya dengan susah payah karena kewenangannya dipangkas dalam dua kali judicial review sehingga menjadi “macan ompong”. KPI kemudian lebih menjalankan fungsi media watch yang sebenarnya banyak dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Sampai sekarang KPI tidak bisa menjalankan kewenangannya dengan efektif, juga berbagai ketentuan hukum di dalam UU Penyiaran tidak ditegakkan karena komitmen pemerintah dan penegak hukum yang kurang serius.



Keempat, Komisi Informasi (KI), berdiri sebagai amanat UU No. 14 tahun 2008. Sampai sekarang kelembagaan KI, dan juga Komisi Informasi Daerah, belum dituntaskan padahal kepentingan masyarakat atas keterbukaan informasi untuk publik semakin diperlukan. Media pun memerlukan keterbukaan informasi dari lembaga-lembaga publik agar masyarakat berdaya dengan informasi yang didapatkannya. Walau belum terbentuk sepenuhnya, di beberapa daerah sudah mulai muncul sengketa atas informasi publik.



Kelima, lembaga sensor film (bukan LSF dengan huruf besar), yang terbentuk berdasarkan UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Walau sudah ada UU Perfilman yang baru, LSF yang sekarang ini bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1994 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Banyak pihak menilai UU Perfilman terbaru adalah regulasi yang otoriter sehingga regulator bentukannya pun otoriter. Hampir bersamaan dengan pengesahan UU Perfilman tahun 2009 tersebut, berbagai kalangan melansir ide lembaga klasifikasi film yang lebih demokratis dan tidak menghambat kebebasan bermedia, berekspersi, dan berpendapat melalui film.



Regulator media (dan informasi) sebenarnya memiliki peran sentral di era demokrasi seperti sekarang ini. Regulator media ini bertanggung-jawab atas hadirnya kondisi demokratis bagi kehidupan bermedia dan melindungi masyarakat. Jadi, sebenarnya regulator-regulator media ini, apalagi yang dibentuk oleh negara (KPI dan KI) dan masyarakat sipil (Dewan Pers), adalah garda depan dalam mengedepankan kepentingan masyarakat. Regulator media bisa menjadi pelindung maupun penuntun masyarakat bagi kepentingan politik dan ekonomi yang meraja dalam dunia media kita sekarang ini. Sayangnya, regulator-regulator media ini tidak dibiarkan otonom karena “politik anggaran” yang masih dilakukan oleh pemerintah. Juga masih terdapat banyak kasus yang menunjukkan arti penting eksistensi regulator media.



Cukup banyak peristiwa yang bisa kita jadikan contoh bagaimana masyarakat dan, dalam beberapa kasus, media, bingung menyikapi berbagai pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh pemilik kuasa, baik kuasa politik maupun kuasa ekonomi, yang menggunakan media. Dengan demikian, regulator media semakin memiliki arti penting di tengah masyarakat saat ini. Regulator media dapat membantu masyarakat dengan memberikan peringatan dan sanksi yang tegas. Ironis bila ternyata dalam kenyataannya regulator media justru tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan mudah bisa kita lihat, anggota atau komisioner regulator media tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa dari mereka jarang sekali hadir dan mungkin tetap tidak merasa mewakili publik. Begitu juga output yang dirilisnya, terutama ketidakterbukaan keputusan yang diambil. Masyarakat yang ingin mengetahui tidak mendapatkan informasi yang memadai.



Lalu, bagaimana agar regulator media tidak menjadi ironi di tengah era demokrasi sekarang ini? Pertama dan yang terpenting, adalah selalu mengedepankan visi kepublikan. Artinya, regulator media mesti transparan dalam mengambil kebijakan, “melibatkan” publik, dan bermanfaat bagi masyarakat. Kedua, para anggota atau komisioner regulator media mesti memisahkan diri dan “jabatan” dengan tegas. Anggota regulator media adalah wakil publik, bukan mewakili diri, kelompok, atau medianya (untuk Dewan Pers), dengan demikian semua “identitas” tersebut dilepaskan dan melebur dalam publik. Namun hal ini belum sepenuhnya terwujud. Satu kasus yang dapat kita amati adalah posisi diri dan “jabatan” beberapa anggota atau komisioner Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang “dimanfaatkan” pihak-pihak lain dalam polemik sanksi untuk Metro TV dan polemik progam faktual versus hiburan (non-faktual).



Anggota atau komisioner regulator media semestinya juga bisa dipantau kinerjanya oleh masyarakat dan legislatif yang memberi mereka mandat. Bila masyarakat memiliki akses mengawasi akan terlihat siapa anggota regulator media yang jarang atau tidak pernah menjalankan tugasnya padahal mereka digaji oleh dana masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat juga bisa memantau kinerja regulator media dan para anggotanya secara periodik, misalnya tiga bulan sekali, untuk memastikan mandat yang diberikan dijalankan dengan baik. Pemantau regulator media yang lain adalah berbagai elemen masyarakat, antara lain PR2Media, yang berusaha sekeras mungkin berposisi untuk kepentingan publik. Hal ini mesti dilakukan agar regulator media juga tidak berlebihan dalam menjalankan kewenangannya.



Tulisan ini akhirnya ditujukan sebagai tambahan informasi bagi buku “Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi” yang “dilepas” ke masyarakat tanggal 24 Januari 2011. Buku ini adalah upaya kecil untuk mewujudkan kondisi bermedia yang demokratis di Indonesia. Buku ini diterbitkan bekerja sama dengan Yayasan Tifa. Buku ini adalah buku kedua PR2Media yang terbit setelah buku “Pelarangan Buku di Indonesia”. rencananya buku ini akan segera diikuti dengan penerbitana buku “Ideologi Media” yang merupakan manifesto PR2Media. Peluncuran buku regulator media ini juga dilengkapi dengan seminar yang menghadirkan dua pembahas, yaitu Eko Maryadi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Triyono Lukmantoro, akademisi dan essais dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, serta dihadiri tamu undangan dari kampus, media, pemerintah, dan para penggiat demokrasi media yang ada di masyarakat.



Tulisan ini tentu saja bukan sebuah resensi karena tak elok bila saya mereview buku di mana saya juga merupakan salah satu penulisnya. Walau sebenarnya buku dan penulisnya bisa dianggap sebagai entitas yang berbeda. Akhirnya, tulisan ini ingin saya tutup dengan harapan agar kondisi kehidupan bermedia di Indonesia lebih baik lagi. Juga harapan agar PR2Media bisa terus meneliti dan menerbitkan buku ketiga, keempat, dan seterusnya. Semoga buku ini bermanfaat dan berkontribusi secara baik bagi kita semua. Sukses untuk rekan-rekan PR2Media dan seluruh penggiat kemerdekaan bermedia di Indonesia.

Judul Buku : Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi: Studi Evaluatif terhadap Peran Regulator Media dan Komunikasi dalam Menegakkan Demokrasi di Indonesia

Penulis : S. Bayu Wahyono, Puji Rianto, Darmanto, Moch. Faried Cahyono, Wisnu Martha Adiputra

Tahun : 2010 (Januari, cetakan pertama)

Penerbit : PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan Yayasan Tifa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...