Senin, 31 Januari 2011

Morfem - Indonesia (2011)


Indonesia Kita Sehari-Hari


Siapa yang bisa melewatkan album ini? Ketika mendengar Jimi Multhazam membentuk band “sampingan” bernama Morfem, dengan cepat saya berusaha mengakses album berjudul “Indonesia” ini. Bagi saya Jimi ini unik sekali. Dia bisa menulis lirik yang bertopik absurd sebagai pentolan the Upstairs, berbicara hal aneh semacam “Gadis Gangster”, alien di lagu “Apakah Aku Berada di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars”, dan “Cosmic G Spot”. Walau begitu, liriknya bisa saja puitis tak cengeng seperti dalam lagu “Matraman” dan “Percakapan”. Hal ini dimungkinkan karena doski menempatkan Ebiet G. Ade sebagai idola dalam penulisan lirik.



Judul album “Indonesia” juga memiliki makna tersendiri yang menurut saya sangat sengaja dipilih. Indonesia di album ini tentu saja bukan Indonesia milik para elite yang bicara dan bertindak seenak perutnya sendiri. Elite politik yang berdebat di media dalam koridor kosong tanpa keterkaitan dengan manusia kebanyakan. Elite yang berbicara untuk kepentingan bisnis keluarga dan kelompok politiknya. Elite yang sibuk mengurusi moral masyarakat yang sebenarnya sudah bisa mengurusnya dengan baik, padahal apa yang menjadi tugas-tugasnya tidak dilaksanakan. Elite yang sibuk bicara tentang keistimewaan padahal kami, masyarakat, sudahlah istimewa sejak dahulu. Indonesia yang kita jalani sebagai masyarakat adalah Indonesia yang absurd, menyulitkan, namun tetap kita cintai.



Indonesia dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya asyik-asyik saja sampai orang-orang yang disebut “aparat” memasuki hidup kita. Coba saja kita ungkap pengalaman personal bila berhubungan dengan para birokrat. Hal yang semestinya mudah, mereka buat susah. Atau bila ada polisi. Apa yang kita pikirkan dan rasakan? Kemungkinan besar kita malah merasa khawatir dan tak aman, serta perasaan akan “diperas”. Negeri ini memang ironis, ketika kita hidup tanpa pemerintah atau lebih besar, hidup kita baik-baik saja, namun bila ada mereka hidup kita akan terasa teruk.



Lagu “Gadis Suku Pedalaman” sebagai lagu awal sangat mengangkat album ini. Saya tertawa keras mendengarkan lagu ini. Siapa lagi yang bisa menggabungkan kata parabola, sakti mandraguna, avatar dan jalan tikus, selain Jimi Multhazam? Ini adalah khas Jimi yang bisa membicarakan hal aneh dan absurd namun tetap mengasyikkan. Problem dikotomi orang kota, desa, dan pedalaman memang masih mengemuka di masyarakat kita. Belakangan kita membaca di beberapa daerah di Sumatra muncul lagi konflik antara orang pedalaman dan penduduk “biasa”. Pilihan tokoh di lagu pertama ini untuk hidup di pedalaman tentu saja merupakan antitesa dari kehidupan kota yang kita kira lebih baik ini. Lagu sama absurdnya adalah lagu keenam, “Death Kitchen”, yang bicara tentang mabuk dan pembunuhan (?).



Lagu kedua, “Who Stole My Bike”, berkisah tentang resiko yang kita hadapi hidup di masyarakat yang hidupnya masih miskin dan apa pun benda beresiko untuk dicuri. Kemarahan penuh angkara seperti di lagu ini, yang untungnya berbahasa Inggris, pada akhirnya bisa kita terima sebagai resiko menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang masih belum berpunya dan aparat keamanan yang tidak bisa menegakkan hukum walau di beberapa tempat hukum itu tegak hanya bagi orang miskin.



Lagu “ Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun” yang hadir dalam dua versi adalah lagu terkuat di album ini. Lagu yang menjadi manifesto Morfem dan bisa kita ganti menjadi “Berkarya di Mana Pun dengan Media Apa Pun” mengingat keempat porsonelnya adalah juga personel dari band lain yang mungkin lebih mapan. Selain Jimi Multhazam yang merupakan dedengkot the Upstairs, dua personel lainnya juga merupakan anggota band lain, yaitu Pandu Fathoni (Gitaris The Porno)dan Bramasta Juan Sasongko (bass JARB). Hanya Freddie Alexander Warnerin (drum) yang sepertinya tidak bergabung dengan band lain. Lagu ini dijamin bisa segera menjadi lagu wajib, anthem, yang enak dinyanyikan dan berkarakter kuat.



Lagu “Wahana Jalan Tikus” adalah potret lain menjadi bagian masyarakat Indonesia, terutama di Jakarta. Sekali lagi kita mesti kagum dengan Jimi yang bisa memperbincangkan hal kecil atau pun absurd dengan enak. Namun di jalan tikus itulah kita bisa melihat kondisi hidup yang sebenarnya dari masyarakat kita, bukan di mal-mal atau pun citra di sinetron dan film Indonesia yang hampir semua berkualitas buruk.



Lagu berikutnya juga adalah lagu yang bagus dan kritis, serta berpotensi untuk dicekal seperti halnya Seringai ketika membuat t-shirt bertuliskan Melayani dan Melindungi Siapa? Jelas ini merupakan kritik pedas atas kerja polisi lalu-lintas. Mari berdoa agar lagu ini tidak dicekal oleh aparat karena sesungguhnya lagu ini bisa menjadi cermin bagi mereka. “Pilih Sidang atau Berdamai” adalah lagu yang ciamik berirama paling mendekati Weezer di era 1990-an. Pilihan itu ada di akhir lagu dan semestinya kita membuat polisi tidak mendapat keuntungan personal dari tilang.



Singkat kata, album ini layak sekali didengarkan. Seperti halnya makna kata dari morfem yang berarti satuan kecil dari suku kata yang masih memiliki arti, paling tidak kita bisa berkontribusi bagi Indonesia ini walaupun kecil seperti morfem. Dan Morfem yang band ini bukan hanya menyumbang pemaknaan atas Indonesia lewat keenam lagu di album ini. Morfem juga telah berkontribusi bagi musik Indonesia yang di aras “arus utama”-nya semakin menyedihkan.



Penyanyi : Morfem

Judul : Indonesia

Tahun : 2011

Label : MRFM Records dan demajors



Daftar Lagu:

Gadis Suku Pedalaman
Who Stole My Bike
Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun
Wahana Jalan Tikus
Pilih Sidang atau Berdamai
Death Kitchen
Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun (akustik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...