Jumat, 21 Januari 2011

Love is Love


Tiga bulan setelah dia menghilang tak berbekas, aku hanya tergugu membisu dan terpaku pada hidup yang statis dan hampa. Aku mencoba melihatnya di semua tempat yang pernah kami datangi. Mengamatinya di langit, di ujung cakrawala. Dia tak ada. Tak pernah ada lagi. Tidak akan pernah sama bayangan diri seseorang dengan dirinya secara nyata. Seindah apa pun bayangan itu. Apalagi di kota dengan manusia-manusia istimewa ini begitu mudah melihat dua manusia, berpasangan-pasangan, memadu kasih, tua-muda, pembelajar-dipelajari. Setiap melihat dua manusia tersenyum bahagia. Bersama. Mereka berdua. Aku sendirian membatu seperti makna yang hadir di lagu Like A Stone oleh Audioslave. Ada luka di hati yang selalu pedih, ada ruam benturan yang kembali terasa ngilu.



Apakah rasa semacam ini disebut cinta? Aku tak yakin. Aku tidak pernah dicintai begitu dalam, namun aku pernah dibenci begitu kuat. Aku beberapa kali dicintai biasa saja namun aku seringkali disakiti. Aku pernah distigma tidak mampu hidup dengan baik, dipandang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua karena kesepian yang kususun dengan rapi dan upaya yang coba kubangun sendiri. Mencintai bagi mereka adalah menjadi epigon. Apa intinya semua ini? Aku tidak pernah bisa merasakan cinta yang sekarang yang sebesar ini pada masa lalu. Sulit untuk mendefinisikan cinta. Sesulit kau mendefinisikan dirimu sendiri. Diri adalah identitas yang cair sementara cinta adalah relasi dinamis yang multitafsir.



Cinta adalah cinta. Cinta adalah lara tersendiri yang diulas dengan ramai. Upaya apa pun untuk mendefinisikannya akan selalu gagal dan akan jatuh pada definisi tanpa arti. Definisi cinta hanyalah jebakan karena cinta sangat personal sifatnya. Cinta bisa jadi saling berbagi. Bisa juga cinta berbagi hubungan tak seimbang, di mana salah satu merasa jadi idola sementara yang satunya lagi menjadi “fan” bagi satunya lagi. Cinta bahkan bisa berarti salah satu menjadi obyek kekuasaan tak benar dari yang lain. Cinta hampir tak terdefinisikan namun kita selalu mencobanya dengan maksimal, dengan sangat susah payah, namun tidak berusaha mewujudkan manifestasinya di kehidupan.



Namun, bagaimana pun juga, kita mesti mendefinisikan cinta. Untuk membagi, menjelaskan, dan menjalaninya, mau tak mau, suka tak suka, definisi itu mesti dibuat oleh masing-masing individu yang ingin memanifestasikan cinta. Aku memilih cinta sebagai interaksi eksistesial antara dua orang, terutama cinta pada lawan jenis. Pada cinta jenis ini tidak mungkin tidak melibatkan hasrat paling purba pada manusia, libido atau hasrat pada tubuh. Walau begitu, bukan “menubuh” yang biasa, namun yang transedental mengatasi hidup dan mati.



Cinta pada akhirnya adalah waktu yang kita jalani bersama, setiap detik yang kita “curi” dari-Nya. Namun, tahukah kau, sejak kau pergi tak berbekas, cinta ini lebih terasa. Ketika cinta adalah sebentuk relasi antar dua manusia, cinta adalah “mengada” dan “meniada”. Cinta akan lebih terasa bila kita berada dalam ruang eksistensial yang sama, namun cinta akan lebih menekan bila kau tiada. Ketiadaan dirimu ketika aku harus mengimplementasikan cinta itu, membuatku sangat tertekan dan perih. Eksistensi dirimu hanya ada dalam kenangan. Memiliki kenangan yang indah atas sebuah relasi sementara kita tidak pada ruang eksistensial yang sama, sungguh membuat sukma terbetot tak tentu.



Cinta adalah cinta seperti juga aku hanyalah aku, yang biasa saja. Medioker abadi. Sementara kau adalah kau. Kau selalu kau yang hebat, yang setara dengan Lady Di, dan siapa pun perempuan yang kukagumi. Namun kau bukan cinta. Cinta melampaui dirimu, dan juga aku. Cinta ada di tempat tersendiri, antara hidup, langit, hujan berkepanjangan, dan kejutan-kejutan di setiap paragraf novel Murakami seperti katamu sendiri. Cinta itu menghablur pada kehidupan yang fana menuju pada yang tak bisa dijangkau.



Bagiku kau sehebat itu. Imaji tentang dirimu bertemu dengan dirimu yang nyata; cara kau membaca dengan membolak-balik halaman buku maju dan mundur, wangi rambutmu yang diusapi wangi shampoo bayam, juga ketidaksukaanmu atas narasi dengan plot biasa. Narasi biasa itu menjemukan, katamu dengan serius. Semua detail itu masih terekam jelas di kepalaku. Semua tentang dirimu terekam tak pernah mati. Tanpamu hidup tak akan sama lagi. Hidup dengan kekosongan hampir absolut ini tidak pernah kusadari sebelumnya. Melumat hatiku utuh penuh.



Siapa yang tahu kepedihan ketika seseorang yang kita cintai tak ada? Siapapun akan paham rasanya perih dengan ketiadaan individu yang dicintai sesungguhnya hanya ketika menjalaninya. Perih itu tak akan dipahami oleh orang lain.



Atau kuyakini saja bahwa definisi cinta itu adalah kekosongan tanpa akhir dalam ketiadaan?

Mungkin cinta adalah cinta yang tidak terpermanai dengan definisi apa pun.



#######



Terinspirasi oleh lagu:

Love is Love – Culture Club



You don't have to touch it to know

Love is everywhere that you go

You don't have to touch it to feel

Love is every second we steal



Love is love is nothing without you

Love is love is everything you do

Open up your eyes

And you will see

Love is love is everything to me



You don't have to touch it to be

Wrapped up in emotion like me

Everyone must feel how I do, yeah

Love is just to be close to you



And you know that love is love

It's written in black and blue

And everything you say

Must bring her closer, closer to you

Ba-ba, ba-ba, ba-ba



Love is love is nothing without you

Love is love is everything you do

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...