Jumat, 13 Agustus 2010

"Pemakaman" Diri di Daerah Pinggiran Kota


Tidak banyak hal bagus yang diawali oleh sesuatu yang negatif. Tidak banyak individu atau kumpulan individu yang bergerak progresif dengan diawali oleh hal-hal yang "buruk" atau "negatif". Namun tidak demikian dengan band asal Kanada ini. mereka memulai karir lewat debut album yang berjudul aneh, "Funeral". Sebuah judul yang rasanya tak enak dibaca apalagi dimaknai. Tetapi begitulah adanya, album pertama yang dirilis pada tahun 2005 itu hanya aneh dalam nama tetapi tidak dalam isinya. Album itu berisi lagu-lagu keren dan lirik-liriknya menafsir pun kehidupan juga oke sekali.


Album pertama itu memang berasal dari kedukaan sebagian anggota band. Di tahun tersuram kehidupan mereka itu, mereka seringkali menghadiri pemakaman orang-orang yang mereka cintai. Walau berasal dari suasana sedih nan mendalam, mereka bisa "membelokkannya" menjadi energi positif untuk salah satu karya debut terbaik dalam musik populer, mirip dengan Manic Street Preachers untuk "Terrorist Generation", dan Pearl Jam, "Ten". Hanya sedikit band yang bisa melakukannya.


Lalu di album kedua yang dirilis pada tahun 2007, "Neon Bible", mereka mencoba menafsir salah satu metanarasi terbesar dalam masyarakat modern, agama dan dinamika percepatan. Album kedua itu bukannya tak bagus. Menurut saya, album kedua Arcade Fire juga bagus namun tak sedalam album pertama. Mungkin mereka sedikit gagap ketika membicarakan hal-hal besar dan ciamik membicarakan hidup personal mereka yang kemudian ditafsir lebih luas.


Kemungkinan hal itu mereka sadari, pada album ketiga yang baru saja dirilis tahun 2010 ini, mereka kembali pada cara berkreasi seperti di album pertama: membicarakan hal-hal di sekitar hidup personal dengan mendalam. Kemudian "memakamkan" diri sendiri untuk menghablurkannya pada kehidupan yang lebih luas. Cara ini tidak hanya membebaskan untuk proses kreatif apa pun, bagi Arcade Fire cara ini membuat mereka menghasilkan karya yang bagus sekali seperti album pertama. Dalam pengemasan ide, album ketiga ini malah terasa lebih matang.


Saya agak terlambat mengetahui Arcade Fire mengeluarkan album. Saya tahu tepat ketika mereka merilisnya. Biasanya untuk band-band bagus yang saya suka, saya sudah mencandra waktu rilis album mereka jauh-jauh hari. Tak apalah, lebih baik tahu terlambat sesaat daripada tahu beberapa hari kemudian karena yang terpenting adalah kecepatan memaknai teks album ini. Saya hanya dapat mengutarakan satu kata untuk album ini: masterpiece!


Album ini bagus sekali dari sisi musik dan lirik. Salah satu review yang saya baca menyebutkan bila album Arcade Fire terkini ini adalah campuran ajaib dari Depeche Mode dan Neil Young. Bagaimana bisa? Depeche Mode mengusung musik elektronik. Setelah mendengarkannya relatif utuh saya akhirnya paham. Musiknya sangat kaya. Kemungkinan karena band ini terdiri dari banyak personel dan mereka tahu output seperti apa yang dihasilkan oleh instrumen yang dibawa. Kemudian mereka paham betul cara menyampur semua elemen tersebut. Selain dimotori oleh duo suami istri Win Butler dan RĂ©gine Chassagne, anggota band yang lain adalah Richard Reed Parry, William Butler, Tim Kingsbury, Sarah Neufeld dan Jeremy Gara. Belum lagi anggota tambahan ketika tour. Vokal yang berganti-ganti juga memberikan nuansa yang tidak menjemukan. Hal ini mirip dengan Sonic Youth yang divisi vokalnya juga diisi oleh suami istri yang bernyanyi bersama.


Dari sisi lirik, album ini sama "kaya" bila dibandingkan dengan musiknya. Tafsir brilian atas kehidupan pinggiran kota dan manusia penghuninya. Kota yang bergerak cepat dan berubah tanpa disadari oleh penghuninya, termasuk sang pencerita, kegundahan menjadi warga kota kelas dua, perjalanan cukup jauh menuju pusat kota, adalah beberapa topik pinggiran kota yang dibicarakan dengan fasih oleh band ini. Metafora yang sama tentang perjalanan sebenarnya sudah diupayakan oleh mereka di album kedua, tetapi tak jalan. Kemungkinan karena konsep penghubungnya adalah "hal-hal besar".


Di album ini kefasihan itu muncul karena mereka sepertinya biasa dengan kehidupan pinggiran kota, dari sisi negatif maupun positif. Dari sisi teks, penggambaran kota yang mendalam dilakukan oleh Haruki Murakami dalam "Kafka on the Shore" ketika menggambarkan kota-kota di Jepang yang menjadi setting perjalanan para tokohnya. Penggambaran itu bukan pada tafsiran fisikal melainkan pada "jiwa" kota dan tokoh-tokohnya.


Entah mengapa setelah mendengarkan album ini saya semakin bersyukur bahwa saya tinggal di pinggiran kota bagian selatan. Pinggiran kota yang tidak seperti pinggiran yang sebelah utara dan pusat kota yang maju. Perjalanan dari rumah saya ke "kota" cukup memberikan informasi dan pengetahuan atas "makhluk" kota yang berubah pelan-pelan namun signifikan. Karena album ini saya menjadi lebih ingin membuka mata dan hati untuk mengamati banyak hal di dalam perjalanan pulang pergi dari rumah saya di pinggiran kota ke kota yang sebenarnya seperti kata Win Butler: In the suburbs I/I learned to drive/And you told me we'd never survive....yang menjadi pembuka awal di album ini.


Penghuni pinggir kota digambarkan dengan penuh paradoks. Ada yang mengalami kebosanan akut, optimisme, ketidakpercayaan diri, kebebasan, dan ketidakmampuan sekaligus takjub dengan perubahan. Hal ini muncul di lagu "The Suburbs" dan "Modern Man". Kata modern banyak muncul di lirik lagu di album ini tetapi lebih dari sisi ambigu dan ketertinggalannya. Sementara "Empty Room" bicara tentang sulitnya berinteraksi dengan manusia lain walau tidak jelas apakah ada dalam ruang bernama "suburb" atau umum saja. Lagu favorit saya di album ini adalah "Suburban War" yang bercerita tentang perubahan sebuah tempat bernama pinggiran kota dan menjadi tempat yang lebih maju bernama kota. Betapa pun penghuninya berusaha sadar, kenyataanya hal tersebut sulit dilakukan. Perubahan itu dilakukan oleh aktor luar, besar sekali, dan tak tampak. Perubahan itu dilakukan oleh perubahan itu sendiri. Tidak kita ketahui awalnya, juga aktor pokoknya, kita hanya merasakan dampak darinya.


Penghuni-penghuni kemudian "terpisahkan" oleh atribut yang tercipta tanpa mereka sadari. Pembedaan ini dimetaforkan sebagai musik. Simak cuplikan lirik berikut:


This town's so strange/ They built it to change/ And while we're sleeping all the streets, they rearrange

And my old friends, we were so different then/ Before your war against the suburbs began/ Before it began

And now the music divides/ Us into tribes/ You grew your hair so I grew mine/ They said the past won't rest/ Until we jump the fence and leave it behind


Kebetulan juga tempat tinggal saya dekat sekali dengan pemakaman. Permasalahannya, apakah kita mesti "memakamkan" diri untuk menafsir teks yang berubah terus-menerus. Apakah kita bahagia dengan hidup, sekalipun "hidup" kita hanya tinggal di pinggiran kota? Bagi saya, walau kita bahagia dengan teks yang kita geluti, tidak ada teks yang membantu kita penuh, seperti halnya saya tidak akan menyelesaikan laporan riset saya walau membaca buku tentang Giddens sebanyak mungkin, walau sekalipun saya bertemu langsung dengan Giddens atau dengan siapa pun orang berotak jenius, tanpa menuliskannya sampai selesai. Teks hanya bisa kita tafsir dan mendukung. Selebihnya, semua serba tak pasti. Kita hanya bisa mengusahakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, seperti halnya orang-orang pinggir kota menempuh perjalanan pulang pergi ke kota setiap kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...