Selasa, 10 Agustus 2010
Episto Ergo Sum
Dengan menulis kita dapat “memindahkan” gunung? Betulkah demikian? Jawabannya, benar sekali. Kita tidak hanya dapat “memindahkan” gunung tetapi juga mengubah dunia menjadi lebih baik. Tentu saja bukan berarti memindahkan gunung dalam pemaknaan kerja fisik tetapi lebih berarti pada perubahan besar yang abstrak dan tidak langsung, baik di level individual dan masyarakat.
Betapa banyak individu yang berubah karena tulisan. Banyak juga kelompok-kelompok masyarakat yang berkembang lebih baik karena tulisan. Tulisan adalah wahana kreativitas dan inspirasi yang mengalir dari satu pihak ke pihak yang lain. Bila hal yang positif, inspirasi dan kreativitas, itu bisa diterima, hal positif itu akan mengalir dengan mudah ke banyak orang.
Beberapa hari yang lalu saya mengenal komunitas yang unik dan bertemu salah satu wakilnya. Nama komunitas itu adalah Epistoholik Indonesia. Komunitas ini adalah kumpulan orang yang menulis dengan rutin di surat pembaca media cetak, terutama suratkabar. Mereka menulis tentang kegundahan hati yang terjadi di lingkungan sekitar. Kebanyakan kegundahan hati mereka adalah kegundahan masyarakat umum karena hampir semua kegundahan itu berkaitan dengan pelayanan publik. Perbedaannya, para “epistoholik” ini dengan sukarela dan bahagia menuliskannya ke media.
Berdasarkan pemaparan blog Epistoholik Indonesia, www.episto.blogspot.com, kita dapat mengetahui bahwa kaum epistoholik adalah orang-orang yang kecanduan menulis surat pembaca. Kata epistoholik berasal dari kata epistle yang berarti surat dan oholik yang berarti kecanduan. Bila imbuhan oholik pada alkoholik dan warkoholic bermakna negatif, tidak demikian halnya dengan epistoholik yang berarti positif.
Di dalam blog Epistoholik Indonesia sudah digambarkan dengan sangat bagus aktivitas mereka oleh pendirinya, Bambang Haryanto. Mereka menulis hal-hal yang tidak sesuai yang terjadi di sekitar mereka. Tidak jarang keluhan mereka yang dimuat di media massa membuat perubahan yang positif. Pihak-pihak yang tidak memberi pelayanan atau menjalankan kewajibannya dengan baik memang biasanya akan berbenah bila terpantau oleh publik yang lebih luas.
Bambang Haryanto sendiri sudah menulis surat pembaca sejak 1973 dan setelah itu dia kecanduan menulis surat pembaca di suratkabar. Dalam perkembangan selanjutnya, Bambang Haryanto bisa mengajak beberapa individu yang memiliki hobi sama untuk membentuk komunitas. Kini komunitas Epistoholik Indonesia memiliki keanggotaan yang bersifat cair di beberapa kota.
Lalu, bagaimana meninjau fenomena ini dari sudut pandang kajian media? Hal yang agak mudah diamati dari komunitas epistoholik ini adalah bahwa komunitas ini berada dalam wilayah kecakapan bermedia yang paling tidak. Aktivitas menulis di media massa memerlukan pemahaman yang tinggi atas media. Selain itu, keinginan untuk memberikan kontribusi sosial melalui media adalah indikator tertinggi dari kecakapan bermedia.
Kajian media bila diinteraksikan dengan demokrasi menunjukkan bahwa kaum epistoholik memperkuat demokrasi bermedia. Epistoholik atau audiens ini sedikit banyak juga berperan dalam produksi pesan media. Rubrik surat pembaca di sebuah suratkabar adalah salah satu rubrik yang paling diburu untuk dibaca. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh “keaslian” dari suratpembaca yang berasal dari masyarakat secara langsung. Kemungkinan rubrik surat pembaca adalah perwujudan yang paling riil dari ruang publik.
Suratkabar bisa dianggap sebagai jenis media yang paling demokratis karena suratkabar adalah media yang secara rutin menyediakan ruang bagi masyarakat. Hal ini berbeda dengan jenis media lain, terutama media penyiaran, atau media interaktif yang secara natural memang tertuju untuk masyarakat. Dengan demikian, media cetak merupakan kombinasi dari pihak media dan masyarakat.
Coba kita lihat ruang dan waktu yang diberikan media televisi sebagai contohnya. Hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi melalui media. Hanya ada sedikit ruang dan waktu bagi audiens untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Audiens juga tidak bisa memberikan masukan atau kritik untuk stasiun televisi.
Ini adalah contoh untuk menunjukkan betapa rubrik surat pembaca beserta “aktivis” pengisinya, komunitas epistoholik, adalah bagian yang penting bagi demokrasi media. Memang setelah internet berkembang pesat dan menjadi bagian dari masyarakat, demokrasi media semakin mungkin terjadi, tetapi pada kenyataannya internet belum sekuat media cetak aksesnya di masyarakat.
Sebagai penutup, komunitas ini memiliki slogan “episto ergo sum”, yaitu aku menulis (surat pembaca) maka aku ada. Manifesto yang cantik dan terus membuat komunitas ini untuk terus menulis di surat pembaca, untuk memerdekakan diri dan berkontribusi sosial.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Dear Mas Wisnu, salam episto ergo sum. Terima kasih untuk dorongan dan apresiasi Anda terhadap komunitas Epistoholik Indonesia, seperti yang Anda tunjukkan saat menjadi host di Radio Geronimo Yogya dan teman saya Tuwarji, menjadi tamu mewakili EI. Surprise, baru kali ini EI dapat tinjauan dari seorang akademisi. Selama ini banyak rekan wartawan yang sudi menyelisiknya.
BalasHapusSuatu kebetulan yang hadir di Geronimo adalah Mas Ajie. Kalau saya, mungkin acaranya jadi bubar,tidak fokus, karena saya pasti tergerak untuk selfish :-). Karena bernafsu ngomongin nostalgia musik tahun 70-an (Deep Purple, Led Zepp, Uriah Heep, Carpenters, Black Sabbath, Grand Funk Railroad, etc :-) )yang saya dengarkan dari Radio Geronimo ini, saat saya jadi murid STM Negeri 2 Yogyakarta.Mungkin hal ini akan membuat Sondy, yang beda generasi, jadi tak enak posisinya saat memandu acara.
BTW, artikel Anda yang inspiratif ini akan saya pajang di blog EE saya (esaiei.blogspot.com), sebagai penulis tamu. Salam untuk Mas Ana Nadhya Abrar.Sukses selalu untuk Mas Wisnu !