Minggu, 19 September 2010

Momentum Itu Telah Berlalu


Krisis selalu memiliki dua kemungkinan. Krisis tersebut dapat bencana bencana ataupun momentum. Krisis bisa menjadi bencana bila pada akhirnya krisis menimbulkan kerusakan besar, baik kerusakan sumber daya maupun mental manusianya. Krisis juga dapat menjadi momentum ke arah yang lebih baik bila dikelola dengan tepat. Krisis menjadi momentum untuk menjadikan semuanya membaik kembali.



"Krisis" yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 tidak terkecuali. Krisis politik yang hadir pada waktu itu meruntuhkan rejim otoriter Orde Baru, namun menimbulkan krisis yang sangat merugikan, yaitu sosiokultural di mana Indonesia sebagai bangsa diuji sangat berat. Tentunya kita masih ingat bahwa pada tahun 1998-2001 terjadi empat konflik agama dan etnis yang hampir saja meluluhlantakkan "rumah" bernama Indonesia, yaitu konflik di Maluku, Sambas, Poso, dan Pontianak. Krisis tersebut antara lain imbas dari ketidakmampuan kita mengelola perbedaan di level lokal. Sedih rasanya, visi yang bagus dari para pendiri bangsa di tahun 1945 untuk mendirikan Indonesia yang multikultur hampir gagal. Indonesia hampir hanya berusia 53 - 55 tahun.



Untung saja sampai sekarang bangsa Indonesia masih eksis dan masih berusaha membenahi kebangsaannya. Masih ada beberapa "gangguan" yang dapat mengganggu kebangsaan Indonesia, namun belum ada yang sebesar tahun-tahun awal Reformasi itu. Walau krisis sudah menjadi bencana "kecil", setidaknya Indonesia masih ada dan masih menyumbangkan sesuatu bagi peradaban dunia. Sebenarnya, pada awal tahun 2000-an itu pun kita memiliki kesempatan besar atau momentum untuk memperkuat rasa kebangsaan kita. Sayang upaya itu tidak dilakukan dan kita lewatkan begitu saja. Walau begitu, kesempatan dan juga momentum, bila lebih besar dampaknya, akan selalu ada, tinggal kita saja sebagai anak bangsa yang mampu menangkap momentum itu atau tidak.



Saya teringat betapa pada tahun 2000 ada sebuah event olahraga internasional yang bisa kita gunakan untuk penguatan kembali bangsa Indonesia. Event itu adalah Olimpiade Sydney yang diselenggarakan pada tahun 2000. Ingatan tentang momentum yang terlewat tersebut hadir ketika saya membaca sebuah berita yang berjudul "10 Tahun Olimpiade Sydney" (harian Kompas, 16 September 2010). Inti dari berita itu adalah peringatan, atau tepatnya, perayaan keberhasilan Australia, khususnya kota Sydney, menyelenggarakan pesta olahraga terbesar dan terbaik mungkin sampai sekarang. Keberhasilan lain yang tidak diungkap oleh berita tersebut tetapi saya ingat betul dari pemberitaan pada tahun 2000 dulu adalah keberhasilan Australia menguatkan kembali rasa kebangsaannya. Satu tokoh penting dalam Olimpiade Sydney yang hebat itu adalah Cathy Freeman.



Kita tahu dari pemberitaan media sebelum Olimpiade dimulai, warga Aborigin berdemonstrasi meminta hak-hak warga mereka diperhatikan oleh pemerintah Australia. Tentu saja demonstrasi tersebut membuat pemerintah Australia khawatir karena dapat menjadi kampanye yang buruk bagi Olimpiade yang sesaat lagi dilaksanakan. Untunglah ada Cathy Freeman. Atlet itu memenangkan emas untuk lari 400 meter putri dan berbicara pada masyarakat Australia bahwa kemajuan Australia ada di tangan semua warganya, termasuk warga Aborigin. Pemerintah Australia "menangkap" hal itu dan sampai sekarang menjadikan Cathy Freeman sebagai ikon olimpiade, bahkan peringatan 10 tahun Olimpiade Sydney tersebut juga sekaligus peresmian nama Freeman sebagai nama taman Olimpiade. Seingat saya sejak saat itu tidak ada lagi protes yang besar dari warga Aborigin terhadap pemerintah Australia, minimal yang saya dapatkan dari media.



Lalu apa hubungannya dengan penguatan kebangsaan kita? singkat jawabannya, kita melepaskan momentum untuk menguatkan rasa kebangsaan kita yang beragam dan multikultur. Ingat dengan peraih medali bagi Indonesia di Olimpiade Sydney 2000? dua di antaranya adalah Hendrawan dan Lisa Rumbewas. Hendrawan memperoleh perak untuk tunggal putra pada cabang bulutangkis. Meraih medali, walaupun "hanya" perak, dalam Olimpiade adalah sebuah prestasi besar. Sayangnya Hendrawan tidak mendapat apresiasi yang sama dari negara. Hendrawan sempat mendapatkan kesulitan mengurus paspor sebelum presiden turun tangan.



Sebagai keturunan etnis Tionghoa, Hendrawan masih merasakan diskriminasi walau dia sudah mengharumkan nama negara. Bila waktu itu, pemerintah sadar akan arti penting Hendrawan sebagai ikon "pemersatu" bangsa, terutama relasi dengan etnis Tionghia, semestinya dia tidak dipersulit mengurus paspor dan semestinya dia bahkan dijadikan sumber kampanye bahwa etnis Tionghoa juga merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika itu bukan hanya etnis "asli" nusantara, melainkan juga etnis Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya yang sudah menyatu dan Indonesia telah "mendarah-daging" di dalam dirinya.



Satu lagi atlet Indonesia yang mendapatkan medali perak adalah Lisa Rumbewas. Ia mendapatkan medali perak untuk angkat besi putri. Lisa yang berasal dari Maluku bisa menjadi ikon yang bagus bahwa apa pun latar belakang individu warga, dia bisa membuat nama bangsa harum di kancah internasional. Kita tahu bahwa pada tahun 2000 itu, konflik di Maluku baru saja berakhir dan sedang dalam fase pemulihan. Pemanfaatan Lisa sebagai ikon akan membuat pemulihan relasi tersebut akan semakin bagus. Entah negara tidak memikirkannya, entah karena ada permasalahan lain yang lebih besar, yang jelas pada waktu itu sosok Lisa tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan pemulihan dan penguatan rasa kebangsaan.



Kini, sepuluh tahun setelah Olimpiade Sydney di mana Indonesia memperoleh satu emas, tiga perak, dan dua perunggu, juga setelah dua belas tahun Reformasi, kita sebagai bangsa masih bergelut dengan masalah yang sama: kebangsaan Indonesia. Relasi antar agama, bahkan intra agama, antar etnis, antar kelas sosial, dan kombinasi dari ketiganya, masih menjadi masalah bersama. Bila kita abai dengan relasi yang buruk itu, jangan harap bangsa kita bisa beranjak lebih maju. Bukankah sewaktu Reformasi kita semua ingin menciptakan Indonesia yang lebih baik? Kemana semangat itu? Bila satu momentum sudah berlalu, kita masih bisa berharap pada momentum-momentum lain. Jangan sampai kita tertimpa "bencana" karena kesalahan kita sendiri.



Mari sama-sama berusaha mewujudkan kebangsaan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan posisi dan kapasitas kita....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...