Rabu, 15 September 2010

Kisah Cinta Biru Gelap 3


Aku menunggu temanku dengan agak bosan sambil berkali-kali aku mendengarkan lagu ini:



Mission control to brain police

Free lucky energy

Penetration - destroys the body

Violation - on a cosmic party

Do you under - stand the problem

Anti-war - is anti-orgasm



Smash the moral hypocrisy



Mission control keep anarchy

Liberation - not your sex life

Domination - will you behave

See how we be - live in nothing

Anti-god - is anti-orgasm



Lagu yang kudengarkan berulang-ulang ini disarankan oleh temanku. "Cobalah kau dengar lagunya Sonic Youth Anti-Orgasm, itu menggambarkan potret kehidupan seksual masyarakat kita yang hipokrit terhadap urusan itu." Begitu katanya kemarin.

Karena itulah aku mendengarkan lagu ini berulang-ulang. Namun tetap belum sepenuhnya aku mengerti apa yang coba disampaikan oleh lagu ini. Jangankan mengerti makna dari liriknya, mendengarkan lagunya pun sebenarnya kepalaku agak pusing. Temanku bilang lagu ini bagus dari band besar asal Amerika Serikat. Salah satu band yang turut mengawali aliran grunge bersama Soundgarden, "Pearl Jam" formasi awal, dan Nirvana walau kemudian band ini memilih jalur yang berbeda. Begitu kata temanku yang maniak dengan musik namun tak pernah "melakukan" apa-apa itu.



Sementara aku, berbeda dengan temanku, hanya mendengarkan lagu dari band atau penyanyi yang bisa "didengar". Artinya musiknya enak dan mudah dinikmati. Tidak bisa kudefinisikan musiknya namun yang jelas tidak seperti yang kudengar dari pemutar mp3-ku ini. Walau begitu, aku toh mendengarkannya juga. Lagu ini sudah kali kelima terdengar di telingaku dan temanku belum datang juga di kafe tempat kami biasa berbincang ini.



"Sori bro, ada urusan. Jadi aku agak telat." Akhirnya dia datang juga dengan nafas masih memburu.

"Mana bukunya?" Katanya dengan cepat, mengingatkan pada tujuan utama kami bertemu.

"Nanti dululah, jangan buru-buru. Ini bukunya. Silakan dibaca dan dikopi tapi kau sudah janji untuk ngomongin lagu yang kau kopikan ke aku kemarin."

"Pengen dengar komentar orang yang baca banyak buku dengan beragam tema nih." Aku meledeknya sambil menggerutu dalam hati karena sepertinya dia akan langsung pergi.

"Bukan begitu, tapi memang aku harus cepat pergi. Ada urusan yang tak bisa ditolak." Dia memasukkan buku ke dalam tasnya sambil melirik ke cangkir kopi yang sudah kupesan sejak tadi.



"Oke, oke, lagu Sonic Youth itu menurutku salah satu lagu bagus yang pernah kudengar. Bukan hanya musiknya, liriknya pun bermakna mendalam." Dia memulai diskusi dengan antusias dan lupa memesan kopi yang biasanya langsung dipesan ketika baru datang.

Aku kagum setengah iri dengan temanku yang satu ini. Dia membaca dan berbicara sangat banyak tanpa kehilangan kontrol atas apa yang dia pikirkan. Berbeda dengan teman-temanku yang lain yang pikirannya jadi "chaotic" ketika membaca satu dua buku baru. Dia tidak pernah walau buku yang dia baca sangat banyak. Namun sayang, semua pikirannya cuma habis diobrolan. Dia sama sekali tidak ingin menulis walau aku yakin dia mampu untuk itu.



Dia bercerita bagaimana lagu "Anti-Orgasm" ini menggambarkan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang merasa harus menjadi polisi moral bagi yang lain padahal moralnya sendiri remuk redam. Orang ingin mengintip, mengatur, dan menghukum orang lain, terutama dalam urusan privat termasuk kehidupan yang paling personal, kehidupan seks sendiri.



"Kau tahu kan bagaimana tubuh dilihat dalam masyarakat kita?" Tanyanya tiba-tiba di tengah penjelasannya.

"Tahu tapi tidak banyak. Kaulah yang paling tahu. Kan kau banyak baca buku sosiologi." Aku menjawab dengan tiba-tiba pula agar penjelasannya tidak terputus.



"Tubuh dipandang sebagai laknat, bukan tempat kita bisa bersyukur dengan memerintah tubuh melakukan hal-hal yang sesuai." Kemudian dia meracau tentang bagaimana masyarakat kita menghabiskan waktu membicarakan dan berdebat tentang urusan seks yang sampai harus diundangkan. Masyarakat kita terpecah menjadi dua waktu itu, yang setuju dengan yang tidak setuju diatur dengan ketat. Pihak yang setuju tubuh diatur melabeli pihak lain pro-pornografi. Pihak yang mendukung ragam pemaknaan akan tubuh menstigma kelompok lain sebagai anti kebhinnekaan.



"Lalu, kau di mana bro?"

"Aku berposisi pada pemahaman bahwa urusan tubuh kita, ya ada pada kita. Tubuh adalah kuil di mana kita berinteraksi dengan sesama dan sang Pencipta." Sampai di sini aku mulai merasa lagu aneh milik Sonic Youth ini relevan dengan perbincangan.

"Walau pada akhirnya aku sendiri yang kena getahnya." Tiba-tiba saja dia bercerita kehidupan personalnya sendiri. Istilahnya saat ini, curcol, curahan hati colongan.

"Setiap aku berinteraksi cinta sayang pada perempuan, mereka memandangku hanya memikirkan urusan seks dan tidak peduli pada norma sosial dan agama."

"Maksudmu?" Aku langsung bertanya karena telaah yang menarik tentang kebertubuhan di masyarakat kita mana bisa tiba-tiba langsung dialihkan pada perbincangan kisah personal.

Namun, belum sempat dia melanjutkan, handphone-nya tiba-tiba berbunyi. Dengan segera dan terkesan sudah menunggu panggilan tersebut sejak awal, dia mengangkat handphone-nya dan kemudian berbincang agak jauh dari meja tempat kami duduk.



Agak lama dia menelepon. Aku hanya coba memikirkan paradoks ini, mengapa urusan-urusan libidinal penting pada masyarakat kita. Atau mungkin pada seluruh masyarakat di dunia ini, sebab pada penguasaan tubuh dan fungsi manusia paling asali inilah kekuasaan bisa diterapkan. Orgasme itu urusan penting sekaligus tidak penting. Perbedaanya, di masyarakat kita ini pura-pura dianggap tidak penting padahal dalam keseharian aku kira urusan fungsi paling purba dari tubuh ini sangatlah penting.



"Sori lagi bro, aku harus pergi. Pacarku memintaku untuk menemaninya mencari hadiah. Besok bundanya ulang tahun. Harus tampil ciamik-lah untuk calon mertua." Katanya ringan tanpa merasa bersalah atas waktuku yang habis selama menunggu dan mendengarkannya.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah pergi secepat kedatangannya tadi. Aku hanya melongo dan membatin...Ini benar-benar perbincangan serius tentang dominasi dan hegemoni pada tubuh dan seks serta cara meng-counter-nya, namun harus kalah telak dengan urusan mencari hadiah.



Aku sendiri lagi di kafe yang masih ramai ini. Berusaha kembali mendengarkan lagu di mana vokal Thurston Moore dan Kim Gordon, nama yang kubaca di sampul album, bernyanyi bersahut-sahutan dengan ritmis. Aku mulai semakin menyadari hidup dalam masyarakat penuh paradoks dan ironi ini dimulai dari temanku sendiri, bahkan dari diriku sendiri.

Oh, anti-orgasm....oh, paradoks....oh, ironi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...