Senin, 27 September 2010

Hasrat Mengepistemologi Wajah


Di dalam perjalanannya menuju Barat yang panjang ini berulang-kali dia bermimpi buruk. Dia memiliki wajah tetapi dengan wajah yang selalu berubah dan selalu bukan wajah yang dia inginkan. Suatu kali dia berwajah Bapak Pembangunan. Kali lain dia berwajah Ibu Kemiskinan. Sekali waktu wajahnya adalah wajah-wajah orang yang dia benci. Pada waktu lain wajahnya adalah wajah-wajah orang lain yang tidak ingin dikenalnya atau yang tidak ingin diakrabinya. Kemana wajahku sendiri? Kemana wajah-wajah orang yang kucintai?
Apakah mimpi buruk itu disebabkan dia selalu mengukur, mengklasifikasi, dan menilai wajah orang lain sewaktu dia masih memiliki wajah? Dahulu itu dia mengukur wajah berdasarkan bentuk dan kelengkapannya. Waktu lalu dia juga mengklasifikasi apa saja yang mendukung wajah (dan juga tubuh). Apa yang dia pakai? Rumahnya seperti apa? Apa merk kacamatanya? Apa mobil yang dimilikinya? Pada akhirnya dia tahu bahwa pertanyaan tak esensial itu tak kan pernah selesai. Pada akhirnya dosanya yang terbesar pada waktu dulu adalah menilai wajah orang lain. Melalui wajah dia coba menilai loyalitas seseorang, juga kemampuannya meneliti dan menulis. Dia lupa bahwa tak ada hubungannya kemampuan-kemampuan tersebut dengan wajah. Semuanya berhubungan dengan gerak anggota tubuh.
Kalau boleh menilai, wajahmu diepistemologi seperti apa? Agar semuanya mengasyikkan, agar semuanya baik-baik saja. Dia ingin bisa bertanya pada orang lain bila dirinya benar-benar memiliki wajah. Rasa sebah di tenggorokan itu kembali menyerangnya.
Dia terbangun dari tidur dengan kaget. Kini di sekelilingnya telah hadir manusia-manusia lain. Tanpa wajah atau dengan wajah dia tak pernah tahu. Bagaimana kau bisa mengepistemologi wajah orang lain bila kau tak bisa mengetahui wajahmu sendiri dengan detail, kecuali melalui cermin, kecuali via hati yang bersih?
Tanpa wajah berarti dirinya tanpa perkakas wajah pula. Tak ada mulut untuk berbicara, tak ada mata untuk melihat, dan tak ada hidung untuk membedakan udara segar ataupun udara beracun. Anehnya, dia merasakan pengalaman yang berbeda melalui wajahnya yang tanpa perlengkapan itu. Dia merasakan, berbicara, dan menghidupi diri dengan cara yang berbeda. Ruang kosong di tempat semestinya wajahnya berada, dia dapat memfungsikan panca indera. Lalu dia bisa mengepistemologi semuanya dengan cara yang berbeda.
“Bagaimana kau memahami orang lain?” Tanya seseorang di sebelah kanannya, yang dia tahu seorang perempuan. Pertanyaannya halus dan tidak menusuk seperti Venus.
“Bagaimana caramu mengelompokkan orang lain melalui wajahnya, apakah melalui kelengkapannya, atau melalui apa yang dia pakai?” pertanyaan lain terdengar dari sisi kirinya. Dari jenis pertanyaannya dan dari lembutnya suara, dia juga tahu bahwa yang bertanya ada kaum hawa yang kemungkinan lebih risau dengan apa yang dipakai atau tidak dipakai pada wajah dan tubuh.
Dia tidak bisa menjawab dan juga tak ingin menjawab. Biarkan semuanya mengalir apa adanya. Biarlah mereka menemukan jawabannya sendiri pada akhirnya. Dia tidak ingin mengepistemologi apa-apa lagi? Bagaimana kau mendekati realitas, itu adalah kunci dalam kehidupan ini, dengan wajah atau tanpa wajah. Disadari ataupun tidak kita akan selalu mengepistemologi wajah atau apa-apa yang lain selama kita hidup. Selama kita menempuh perjalanan yang sepertinya tanpa akhir ini.

Episode seri Wajah:
1. Wajah: Sebuah Pengantar
2. Para Pencari Wajah
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah (sekarang sedang Anda baca)
5. Wajah Spesial Pake Telor
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10.Wajah Paripurna

(gambar dipinjam dari flickr.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...