Senin, 27 September 2010

Wajah Siapa, Ini Wajah Siapa?


Perjalanan mencari wajah ke Barat adalah perjalanan yang berat. Pertanyaannya, mengapa tidak ke Timur? Atau Selatan? Atau Utara? Jawaban umumnya pun sederhana saja: agar perjalanan lebih mudah dan di tengah perjalanan tidak didera konflik berkepanjangan. Tidak ada alasan ideologis memilih perjalanan ke arah Barat. Dia menyaksikan orang-orang lain pun serupa dirinya. Semua tidak terlalu mementingkan “sesuatu” di balik sesuatu. Asalkan perjalanan cukup lancar, hal itu telah cukup.



Tidak ada yang menemaninya berjalan secara fisikal. Teman yang ada hanyalah orang-orang yang ada di ingatannya. Anehnya, semua orang yang ia ingat pun tidak memiliki wajah. Ia hanya mengingat berdasarkan rasa hati yang ditimbulkan kehadiran orang-orang tersebut. Ada yang memberi energi positif ketika berjumpa dan berinteraksi. Ada yang memberi dan menerima energi positif. Berbagi secara positif. Namun ada juga yang kelewatan negatifnya, kehadiran orang tersebut menyerap energi positif dirinya. Sampai habis tak bersisa. Bahkan, orang-orang jenis ini di ingatan pun tetap menyebalkan, masih bisa menyerap energi.



Unik juga, betapa kita bisa lupa dengan suatu kejadian, namun kita masih ingat suasana hati yang diakibatkan kejadian tersebut. Dia terus berjalan sambil mengklasifikasikan orang-orang yang dikenalnya dengan cara “rasa” hati yang ditimbulkannya. Sedikit lebih susah bila dibandingkan dengan mengklasifikasikan benda-benda alam yang lain selain manusia. Untuk manusia lain, kita tidak akan benar-benar bisa mengklasifikasikannya dengan adil dan terbuka.



Aneh sekali, semakin lama berjalan semakin rasa getir yang diakibatkan orang-orang di masa lalu semakin hilang. Ada dua kemungkinannya, waktu yang menyembuhkan semua luka, atau hati manusia cenderung bertambah dewasa ketika merasakan luka, hatinya dan hati orang-orang yang pernah menyakitinya. Semakin lama berjalan, semakin dia merasa, rasa senang dan sedih di hati sebagai akibat tindakan orang lain tidaklah begitu penting. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menerima hati kita sendiri. Hati kita mempengaruhi pikiran, dan akhirnya akan mempengaruhi jiwa secara keseluruhan.



Hal lain yang lebih penting daripada rasa sedih suka di hati adalah bagaimana wajahnya “ditemukan” dengan cepat, agar dia berinteraksi dengan orang lain lebih mudah dan lebih mujarab. Wajah adalah elemen penting dalam berinteraksi. Tanpa wajah sebuah tindakan tidak bisa dirasakan dan diperkuat tensinya. Tanpa wajah hidupnya akan hambar. Sehambar jalan yang dia lalui. Kemana perginya orang-orang lain?



Jalan masih sepi dan kelam. Tanpa siapa pun, padahal baru saja kemarin dia menemukan banyak orang yang juga sedang mencari wajah. Tergiang lagu dari seorang penyanyi yang dia kenal pada masa kecil. Penyanyi itu adalah Ebiet G. Ade. Dia lupa judulnya. Informasi yang dia ingat adalah sepenggal lirik dari lagu itu…dosa siapa ini dosa siapa, salah siapa ini salah siapa. Dia mengganti lirik itu sambil bersenandung tipis, wajah siapa ini wajah siapa…



Jawabnya masih akan terus dicarinya sepanjang perjalanan, bukan pada akhirnya.



#######



Episode seri wajah:

1. Wajah: Sebuah Pengantar

2. Para Pencari Wajah

3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa? (sekarang sedang Anda baca)

4. Hasrat Mengepistemologi Wajah

5. Wajah Spesial Pake Telor

6. Memajang Wajah

7. Standar Wajah Cinta

8. Wajah Tanpa Isyarat

9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah

10. Wajah Paripurna

(gambar dipinjam dari jrakuen.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...