Minggu, 19 September 2010
Budaya Populer dan Demokrasi
Mengapa anak-anak rela antri satu hari satu malam untuk mendapatkan setiap seri Harry Potter? Mengapa hampir secara bersamaan model rambut mohawk disukai oleh remaja laki-laki di seluruh dunia? Mengapa sepakbola dan pernak-perniknya selalu menjadi perhatian bahkan setelah tiga bulan Piala Dunia selesai dihelat? Sepintas rangkaian pertanyaan tersebut tidak saling berhubungan karena berhubungan dengan kasus yang berbeda: buku fiksi, model rambut, dan event olahraga. Sebenarnya ketiganya merujuk pada fenomena yang sama. Ketiganya merupakan contoh dari fenomena yang dinamakan budaya populer.
Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Sebagai sebuah konsep, budaya populer dibicarakan oleh orang awam sampai akademisi. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif, misalnya: selera masyarakat yang rendah dan cenderung banal, produk atau karya budaya yang disebarkan dan diakses hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer yang buruk pada anak muda. Sejarah konsep budaya populer memang disengaja sejak awalnya digunakan sebagai lawan kata dari budaya “elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan yang kurang adiluhung. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya konsep budaya populer tidak lagi bermakna negatif melainkan berubah menjadi sebuah konsep yang netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat.
Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik hegemoni budaya kelompok elite. Budaya populer adalah alat perlawanan masyarakat kebanyakan pada budaya kelompok masyarakat elite yang menganggap budayanya lebih tinggi dan selalu berperan positif. Pada akhirnya konsep budaya populer meruntuhkan dikotomi antara tinggi-rendah, elite-kebanyakan, yang penting kreasi budaya bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan, diakses, dan disukai oleh banyak orang inilah yang menunjukkan secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi.
Selanjutnya, seiring dengan majunya peradaban, (kreasi dan produk) budaya populer semakin mudah dihasilkan dan didistribusikan. Teknologi dan media yang semakin canggih memudahkannya sehingga dapat lebih mungkin dinikmati oleh banyak orang. Media sendiri mempunyai dua “peran” bila dikaitkan dengan budaya populer, yaitu media sebagai pendistribusi budaya populer dan media sebagai kreasi budaya populer itu sendiri. Media sebagai produk dari budaya populer banyak sekali contohnya, misalnya serial Harry Potter yang disebut diawal tulisan, juga musik Michael Jackson dan film Inception.
Media sebagai penyebar budaya populer menjadi kan media lebih penting lagi karena menyebarkan budaya populer dengan cepat dan massif. Pada titik inilah budaya populer kemudian juga dikenal dengan nama budaya massa. Kedua konsep, budaya populer dan budaya massa, seringkali dipertukarkan penggunaannya walau sebenarnya tidak sama persis maknanya. Kini karena media juga budaya populer lebih diidentikkan dengan perayaan dan penikmatan sesuatu yang massif, bukan lagi pada perlawanannya terhadap hegemoni. Sebenarnya, melalui perlawanan budaya populer terhadap budaya elite inilah nilai demokrasi bisa lebih ditunjukkan.
Untuk lebih menunjukkan bahwa nilai demokrasi adalah nilai yang inheren dalam budaya populer, kita dapat mengajukan tiga pertanyaan, yaitu: Pertama, apa atau siapa yang membentuk budaya populer? Kedua, bagaimana pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer? Dan ketiga, apa peran ideologis budaya populer? Ketiga pertanyaan ini sebenarnya adalah tiga pertanyaan kunci dalam menelaah budaya populer secara umum. Berikut ini eksplanasi dari tiap pertanyaan.
Pertama, dari mana suatu budaya populer berasal? Siapa pihak atau apa yang membentuknya? Bila budaya populer tadi merupakan hasil rekayasa kekuasaan kelompok tertentu terhadap masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial, berarti budaya populer tersebut tidaklah demokratis. Budaya populer bernilai demokratis bila berasal dari masyarakat sebagai ekspresi kepentingan mereka yang otonom tanpa tekanan pihak penguasa. Kaos oblong berisi kritik politik yang digunakan oleh anak muda pada dekade awal 1980-an adalah sebentuk budaya populer sebagai kritik atas hegemoni penguasa Orde Baru pada semua lini kehidupan. Penguasa pada waktu itu kemudian rajin memproduksi kaos oblong pada semua acara yang melibatkan anak muda yang dilaksanakan oleh pemerintah, seperti penataran P4 dan pemilihan pasukan pengibar bendera. Ironisnya, pada akhirnya anak muda yang mengikuti ragam kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut memiliki kebanggaan menggunakan “kaos resmi” tersebut.
Pertanyaan kedua, apakah kepentingan pasar dan pencarian profit mengalahkan esensi intelektualitas dan kualitas budaya populer? Jawaban singkatya adalah ya, pasar “menggerus” nilai demokrasi dari budaya populer walau harus diakui pula bahwa pasar jualah yang membuat ikon perlawanan menjadi populer. Contoh untuk kasus ini adalah gaya berpakaian dan poster Che Guevara hanya menjadi aktivitas pada cara berpakaian dan berpenampilan pada wajah, bukan pada esensi pemberontakannya pada ketidakadilan. Musik dan sastra populer banyak digunakan oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan profit walau sebenarnya secara kualitas karya tersebut bagus, tetapi kualitas yang bagus tadi tidak tertunjukkan karena tertutup oleh kepentingan mencari profit tadi.
Terakhir, apakah peran ideologis budaya populer? Bila budaya populer hadir untuk mengindoktrinasi masyarakat, untuk menjadikan ide dan nilai kelompok elite terus menghegemoni, berarti budaya populer tadi tidak demokratis. Sementara, bila budaya populer membawa misi untuk memberikan tafsir yang berbeda dan “mengganggu” hegemoni tatanan yang dominan, berarti budaya populer itu membawa misi yang demokratis, apalagi bila tatanan dominan tersebut memang menguntungkan penguasa.
Kasus penciptaan ikon Paman Sam adalah cara pemerintah Amerika Serikat mengajak kaum mudanya untuk mau berperang dalam Perang Dunia Kedua. Ini adalah salah satu contoh bagaimana karya budaya populer bisa menjadi “alat” negara. Contoh yang lain adalah yang terjadi di Indonesia pada jaman Orde Baru. Rejim Orde Baru secara sengaja dan taktis menggunakan Si Unyil dan Si Huma untuk memperkenalkan nasionalisme pada anak-anak. Walau begitu, bisa jadi ikon yang sama digunakan oleh masyarakat untuk melakukan “perlawanan” terhadap negara pada kasus yang lain.
Sebagai penyimpul, budaya populer berdasarkan cara pandang historis sebenarnya membawa nilai demokratis karena selalu berusaha mendistribusikan dirinya pada sebanyak mungkin individu anggota masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, secara sadar atau tidak, budaya populer digunakan oleh pihak-pihak tertentu, biasanya oleh kelompok elite, untuk mempertahankan hegemoninya. Budaya populer mesti dikembalikan pada “hasrat” awalnya, yaitu melawan hegemoni dan mendistribusikan nilai demokrasi pada orang kebanyakan di masyarakat.
--------------
tulisan ini dalam versi sedikit berbeda pernah hadir di Polysemia, newsletter PKMBP. Tiba-tiba saja ingin sekali menghidupkan kembali Polysemia...Ayo rekan-rekan penggiat PKMBP dan yang pernah berkontribusi untuk Polysemia, kita hidupkan kembali Polysemia, wahana belajar bermedia bersama itu...:D
(sumber gambar: ulamonge.blogspot.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar