Kamis, 16 September 2010

Kisah Cinta Biru Gelap 5 (Kisah Maaf Putih Polos 2)


Dia memandang pantulan wajahnya di kaca jendela mobil. Mobil itu membawanya pergi dari kampung halaman yang dikunjunginya ketika lebaran. Dia memandang sekali lagi wajahnya. Mengamati detailnya namun beberapa kelebat dia tidak mengenal dirinya. Bukankah hal ini bisa terjadi, kita memandang bayangan wajah kita sendiri dan kita tidak yakin siapa yang ada di sana? akukah, bayanganku, manusia lain?

Masih satu setengah jam lagi mobil membawanya ke Bakauhuni untuk menyebarangi Selat Sunda. Namun dia terus bertanya, siapa aku dan bagaimana kehidupan esok hari? selama bertahun-tahun ia hidup dalam "dendam". Kini dendam itu perlahan memudar walau dia belum menyadari perasaan hati tanpa dendam dan rasa sakit lainnya.



Kepulangannya ke kampung halaman adalah mudik pertamanya setelah hampir satu dekade. Selama ini dia tidak ingin mudik ketika berlebaran karena mengingat bagaimana keluarganya tidak diperhatikan oleh keluarga besar ayahnya. Keluarganya yang kurang mampu selalu tidak menerima bantuan ketika membutuhkan, yang ada seringkali ayahnya yang sudah tidak memiliki apa-apa, terpaksa membantu keluarga besarnya karena adat mengharuskan hal itu. Sampai dirinya dan keluarga pindah ke Yogya pun, tidak ada bantuan atau pun perhatian dari keluarga besarnya. Tesis para sosiolog Indonesia yang menyebutkan bahwa keluarga Indonesia adalah keluarga luas, bukan keluarga inti, tidak terbukti karena ternyata antar keluarga di keluarga luas tidak saling membantu, malah cenderung senang bila salah satu kerabatnya susah hidupnya.



Setelah itu hiduplah dia dan keluarganya bertahun-tahun di Yogya dan relatif tanpa kontak dengan keluarga besar ayahnya. Berita yang dia tahu hanyalah sekelumit sekali dan biasanya pun dia ketahui dengan sambil lalu. Rasa perih hatinya terbuka lebih dalam ketika ayahnya meninggal mendadak tiga tahun yang lalu. Karena posisi adat di kampung lumayan tinggi, keluarga besar ingin ayahnya dimakamkan di kampung asal keluarga. Tentu saja dia menolak karena selama hidupnya sang ayah telah cukup berkorban untuk keluarga besarnya seharusnya ketika ayahnya tiada, urusan sekali ini diserahkan pada keluarganya saja, bukan keluarga besar.



Dia masih melihat pantulan wajahnya di cermin. Salahkah aku bertahun ini memelihara dendam? dia merasa dendam itu tidak dia coba pertahankan, namun kata maaf juga bukan menjadi kata kerja di hatinya. Bertahun-tahun dendam itu meringkuk di hati dan menjadi bahan bakar yang bagus untuk menunjukkan keberhasilannya. Namun percayalah, tindakan pembuktian yang didasari dendam atas manusia lain atau karena sesuatu bukanlah pencapaian melainkan memperdalam luka. Kini, setelah dia cukup banyak memperoleh keberhasilan di Yogyakarta; keluarga yang hebat, pekerjaan yang bagus, dan gelar akademik doktoral, dia tetap merasa ada sesuatu yang kurang: memaafkan keluarga besar ayahnya dan berdamai dengan masa lalu. Dia tidak ingin menunggu "kekalahan", hatinya mesti menguapkan segala rasa perih itu.



Wajahnya sendiri masih terpantul dari kaca mobil sementara adiknya masih terus berfokus pada jalanan di depan. Anggota keluarganya tertidur karena deru mobil yang cukup nyaman dan rasa lelah yang sudah mulai menerpa. Dia ingat dan masih merasakan besarnya kekuatan maaf. Dia yang skeptis dengan ritual beragama dan laku sosial masyarakat selama berpuasa dan berlebaran ternyata bisa merasakan makna yang dalam atas kata maaf. Kata ajaib itu memang mudah sekali diucapkan namun sulit sekali dilaksanakan karena kita bisa memakai topeng maaf namun tidak pada hati kita dan pihak lain pun tak tahu.



Namun hal yang berbeda terjadi di lebaran kali ini, maaf itu tiba-tiba muncul di hati dan menghangatkannya. Rasa dendam bertahun-tahun lumer dan memudar perlahan. Rasa hangat melihat ibu, keluarganya, dan keluarga adik-adiknya, mengalahkan upaya terakhir dendam untuk meringkuk di hatinya lebih lama lagi. Kehidupan seharusnya diberikan terutama untuk generasi yang lebih muda, terutama untuk anak dan para keponakannya. Waktu juga berlalu cukup panjang. Berjuang dan berinteraksi dengan banyak manusia lain di kota yang lebih besar dari kota asalnya, dia merasa tak ada gunanya memendam rasa sakit dan dia pun perlahan mulai tahu cara melepaskannya dalam hati.



Betapa kehidupan mengajarkan banyak hal, anak-anak yang tumbuh besar, waktu yang menghapuskan benci, dan rasa perih yang lumer pelan-pelan. Dia sangat bersyukur pada hidup dan Pencipta hidup untuk itu....



Dia masih mengamati wajahnya. Kali ini perspektifnya tidak dipantulkan namun diteruskan melalui kaca jendela. Di luar dia melihat pemudik motor yang kesulitan karena hujan mulai turun. Terkadang dia kesal juga melihat para pemudik motor itu berada di tengah dan tidak memberi ruang bagi kendaraan lain, namun lama-kelamaan yang seringkali muncul adalah rasa takjub bagaimana mereka memiliki semangat berlebaran yang begitu kuat untuk menempuh perjalanan "menyabung" nyawa. Dia kemudian menyadari, untuk sikap dia bisa memilih, menganggap fenomena pemudik motor itu sebagai suatu yang lumrah ketika musim mudik tiba, atau menganggap fenomena itu wujud abainya negara pada fasilitas transportasi yang murah dan nyaman bagi masyarakat. Dia memilih yang kedua dan dia berjanji bila Sang Pencipta memberinya kesempatan menjadi pejabat publik, dan akan memperhatikan mandat publik sebagai alasan utama.



Dia meyakini bahwa dia adalah bagian dari para pemudik motor di luar itu, juga jutaan orang lain yang pada saat bersamaan berada dalam perjalanan "spiritual" selama berlebaran. Semua berusaha mencari suatu makna, entah makna semesta atau makna duniawi yang bisa ditunjukkan di kampung halaman. Dia adalah bagian sangat kecil dari kumpulan sangat besar orang Indonesia yang harus "mengurusi" negara karena ternyata sang pemimpin negeri diminta menyelesaikan sendiri segala macam urusan mereka. Lalu, bila begini, untuk apa membentuk entitas besar bernama negara bila bukan untuk kebaikan bersama?



Tentu saja dia bertambah geram membaca berita di internet yang dia akses dari handphone. Rencana pembakaran kitab suci itu, penusukan itu, semuanya memudarkan kemanusiaan yang telah dibangun bersama. Manusia yang mencintai manusia lain tidak akan menyakiti sesamanya, manusia yang percaya pada Sang Pencipta tidak akan merusak firman-Nya. Bukankah kitab-kitab suci itu adalah karya-karya terindah? Entahlah, dia tidak ingin masuk lebih jauh memikirkan humanisme dan agama. Baginya semestinya agama dan kemanusiaan itu saling menguatkan. Dia memandang bayangan wajahnya sekali lagi. Ada lelah di situ, namun ada semacam kebahagiaan kecil milik manusia, dimulai dari kata maaf.



Bau laut sudah tercium tanda sebentar lagi perjalanan laut akan ditempuh. Dia ingin sekali memandang pantulan dirinya dari laut dan langit luas di atasnya. Laut dan langit yang bisa menjadi cermin kemanusiaan yang lebih luas. Dia yakin bahwa pantulan wajahnya adalah cermin bagi manusia yang memiliki keluarga, etnis, agama tertentu, namun yang mencintai sesama dengan tulus. Dia sangat yakin tanda-tanda kebesaran-Nya bisa dilihat di mana saja dalam hidup ini, tidak hanya di gunung-gunung sepanjang perjalanan darat. Tak hanya di ombak laut dan arakan awan dalam perjalanan laut.



Dia temukan wajahnya kini, tidak hanya di luar, namun di dalam hatinya sendiri. Dia hanya manusia yang berusaha berbuat sebaik mungkin, dia hanya manusia yang mungkin menyakiti dan tersakiti, namun dia juga adalah makhluk-Nya yang selalu berusaha menemukan diri-Nya sekelumit apa pun.



Dia berjanji dalam hati bahwa esok hari adalah hari tanpa dendam dan penuh rasa maaf.

Wajah itu tersenyum dan dia optimis tidak akan "mati" lagi dalam hidup....



#######



Tulisan ini terinspirasi dari lagu:



"Moment of Surrender" oleh U2 (diambil dari album "No Line in the Horizon")



I tied myself with wire

To let the horses roam free

Playing with the fire

Until the fire played with me



The stone was semi-precious

We were barely conscious

Two souls too smart to be

In the realm of certainty

Even on our wedding day



We set ourselves on fire

Oh God, do not deny her

It’s not if I believe in love

If love believes in me

Oh, believe in me



At the moment of surrender

I folded to my knees

I did not notice the passers-by

And they did not notice me



I’ve been in every black hole

At the altar of the dark star

My body’s now a begging bowl

That’s begging to get back, begging to get back

To my heart

To the rhythm of my soul

To the rhythm of my unconsciousness

To the rhythm that yearns

To be released from control



I was punching in the numbers at the ATM machine

I could see in the reflection

A face staring back at me

At the moment of surrender

Of vision over visibility

I did not notice the passers-by

And they did not notice me



I was speeding on the subway

Through the stations of the cross

Every eye looking every other way

Counting down ’til the pain would stop



At the moment of surrender

Of vision over visibility

I did not notice the passers-by

And they did not notice me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...