Senin, 20 September 2010
Kuantitatif Versus Kualitatif?
Seringkali di dalam riset kita, terutama pembelajar atau peneliti awal, dibingungkan oleh paradigma riset yang berbeda. Walau banyak varian metode, paling tidak paradigma riset tersebut bisa diklasifikasikan dalam dua rumpun besar, yaitu paradigma kuantitatif dan kualitatif. Apa yang membedakan keduanya? Banyak sumber bacaan yang menjelaskan karakter masing-masing paradigma dan posisinya masing-masing dalam dunia riset. Intinya, kedua paradigma tersebut memiliki garis demarkasi dan masing-masing tidak bisa mengklaim dirinya lebih benar dan lebih baik daripada yang lain.
Memang bila kita mengamati dengan jujur di dalam dunia akademis kedua "penganut" paradigma riset tersebut seperti bertempur tanpa akhir dan mungkin pernah mengklaim dirinya lebih baik dibandingkan dengan paradigma yang lain. Hal ini sebenarnya paradoks dalam dunia akademis karena ilmu pengetahuan sebenarnya mengajarkan untuk bersikap rendah hati dan mengeksplorasi fenomena sebaik mungkin dengan baik, dan paradigma riset adalah salah satu instrumen untuk mencapainya. Ilmu pengetahuan, apalagi hanya paradigma risetnya, tidak digunakan untuk mengklaim diri lebih baik daripada yang lain. Pada agama saja kita diajarkan untuk tidak fanatik berlebihan, apalagi "hanya" pada paradigma riset.
Lalu di mana demarkasi di antara keduanya? Sederhana saja, keduanya berakar dari sesuatu yang berbeda. Pertama, pilihan menentukan realitas ada di luar sana dan tertangkap oleh panca indera atau ada di kepala kita yang tidak harus dipancaindrai pihak lain. Kenyataan atau realitas tidak harus merupakan sesuatu yang riil. Perbedaan yang kedua adalah kebenaran yang coba ditentukan dari kenyataan tersebut, kebenaran yang dituju hanya satu atau "kebenaran" tersebut beragam pada tiap-tiap jenis realitas. Untuk memahaminya lebih mendalam terdapat sebuah buku yang merupakan salah satu referensi yang baik yang menjelaskan perbedaan asumsi paradigma kuantitatif dan kualitatif.
Buku tersebut berjudul "Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches" karya John W. Creswell yang diterbitkan oleh Sage Publication pada tahun 1994. Buku ini membicarakan sesuatu yang umum tentang penyusunan desain riset, mulai dari asumsi paradigma yang berbeda, yang berpengaruh pada penyusunan rencana riset secara menyeluruh, mulai dari pertanyaan riset sampai dengan penggunaan referensi. Salah satu bagian terpenting yang menjadi acuan tulisan ini terdapat di halaman 5 yang menjelaskan perbedaan asumsi antara paradigma kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk tabel.
Creswell menjelaskan bahwa untuk mengamati perbedaan antara paradigma kuantitatif dan kualitatif kita dapat menggunakan perangkat asumsi, yaitu asumsi ontologis, epistemologis, aksiologis, retoris, dan asumsi metodologis. Kelima asumsi tersebut didasari oleh pertanyaan yang sama dan penjelasan yang berbeda. Berikut ini pendedahannya:
Pertama, asumsi ontologis, merujuk pada pertanyaan penting apa itu realitas? paradigma kuantitatif melihat realitas sebagai sesuatu yang obyektif dan "satu", juga terpisah dari peneliti. Sementara paradigma kualitatif melihat realitas sebagai sesuatu yang subyektif dan beragam sesuai dengan yang diamati oleh peneliti. Kedua, asumsi epistemologis, yang memiliki pertanyaan terpenting, apa relasi antara peneliti dan subyek/obyek yang diteliti? paradigma kuantitatif mengharuskan peneliti independen dari yang diteliti, sedangkan paradigma kualitatif justru melihat peneliti akan selalu berinteraksi dengan yang diteliti.
Ketiga, asumsi aksiologis, mempertanyakan apa peran nilai dalam riset? paradigma kuantitatif memutuskan bahwa riset mesti bebas nilai dan kepentingan, dan tidak bias. Sementara, paradigma kualitatif melihat di dalam riset nilai dan kepentingan inheren di dalamnya dan peneliti akan selalu bias. Keempat, asumsi retoris, yang berkaitan dengan cara penyampaian hasil riset pada pihak lain. Pertanyaannya adalah bagaimana "bahasa" di dalam riset? paradigma kuantitatif menggunakan bahasa yang formal, didasarkan pada definisi yang telah disepakati, dan impersonal. Sedangkan paradigma kualitatif, berasumsi bahwa riset dapat menggunakan bahasa yang informal, penggunaan istilah yang spesifik, dan bahasa yang personal.
Terakhir, asumsi metodologis, terkait dengan pertanyaan bagaimana proses riset dijalankan? paradigma kuantitatif berangkat dari proses yang deduktif, sementara yang kualitatif berasal dari proses yang induktif. Kuantitatif berkaitan pada relasi penyebab dan efek, sementara paradigma kualitatif melihat riset merupakan "hasil" dari beberapa faktor yang simultan. Desain atau perencanaan yang statis, artinya berbagai kategori konsep atau "pisau" analisis ditentukan sebelum riset dimulai, adalah karakter dari paradigma kuantitatif, sementara paradigma kualitatif membolehkan desain yang "berevolusi" selama riset berlangsung, kategori konsep dan pisau analisis diidentifikasi di dalam proses riset. Paradigma kuantitatif bertujuan untuk melakukan generalisasi atas berbagai kasus riset. Generalisasi adalah awal untuk melakukan prediksi, eksplanasi, dan pemahaman di dalam riset. Dengan demikian, di dalam kuantitatif, riset dibebaskan dari konteks yang terlalu luas. Sementara paradigma kualitatif berusaha mencari alur yang berkembang dalam proses riset. Alur yang sangat terikat konteks inilah yang menjadi dasar bagi pemahaman. Bagaimana akurasi dan reliabilitas ditentukan dalam kedua paradigma? pada paradigma kuantitatif, akurasi dan reliabilitas riset ditentukan oleh kesahihan dan kehandalan "alat ukur", yaitu konsep dan variabel yang dipilih sejak awal, sedangkan di dalam riset paradigma kualitatif, akurasi dan reliabilitas ditentukan melalui verifikasi selama dan setelah riset berlangsung.
Kesimpulannya, tidak ada paradigma yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Keduanya juga tidak boleh diversuskan, malah sangat mungkin diapresiasi satu sama lain. Hal yang terpenting bukanlah mana paradigma riset yang lebih baik melainkan apakah pilihan kita untuk memahami sebuah realitas telah tepat? paradigma riset tak lain dan tak bukan hanyalah alat bantu kita dalam melihat realitas dengan lebih baik, dan pada gilirannya menjadikan peneliti rendah hati sekaligus antusias untuk mendedahnya.
Bukankah melalui riset, kita justru menyadari bahwa ilmu itu selalu terbatas dan melalui riset, kita belajar bahwa kehidupan itu begitu menarik dan indah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar