Rabu, 15 September 2010

Perubahan Itu Mungkin Dimulai dari Bangku Taman


Album yang sedang saya dengarkan dan coba saya takar ini adalah salah satu dari dua album yang membuat saya tergerak untuk menulis lagi, mengomentari lagi musik Indonesia setelah sekitar sebulan vakum. Mendengarkan album "Ode buat Kota" oleh Bangkutaman ini mengingatkan saya pada album Arcade Fire yang juga baru saja dirilis, the Suburbs. Keduanya berbicara tentang kota dan warganya yang resah namun harus tetap tinggal di dalamnya. Perbedaannya, Arcade Fire bicara dari sudut pandang masyarakat pinggiran kota melihat tempat hidupnya berubah, sekaligus "benturan" dengan masyarakat lain, warga kota pusat. Sementara Bangkutaman berbincang tentang warga kota yang telah hidup di dalamnya sejak awal. Bangkutaman berbicara tentang ironi perkembangan kota, keresahan penghuninya, dan kehidupan di kota yang mesti dengan sungguh dijalani karena terbatasnya pilihan yang tersedia.



Secara khusus lagu-lagu di album ini berbicara tentang kota besar bernama Jakarta walau sebenarnya bisa berlaku umum di banyak kota di Indonesia yang pertumbuhannya relatif tidak bisa dikendalikan oleh pihak-pihak berwenang mengurusnya, apalagi oleh warga biasa seperti kita. Kota-kota di Indonesia adalah ironi. Awalnya berkembang dengan disambut oleh optimisme, lama-kelamaan perkembangan itu tidak bisa lagi ditata. Kota menjadi semacam makhluk buas yang menggerus penghuninya. Ukurannya sederhana saja, kemanusiaan kita. Kota-kota kita semakin kehilangan kemanusiaannya, fasilitas publik yang minim, tempat berkumpul yang semakin dianeksasi oleh pasar, dan kehidupan di jalan yang relatif semrawut, adalah beberapa di antaranya.



Tempat berkumpul warga untuk berekreasi dan bersosialisasi semakin minim. Kota-kota Indonesia, terutama di pulau Jawa, memang mengenal konsep alun-alun, tetapi konsep tersebut berubah menjadi hanya tanah lapang untuk kegiatan pemerintah atau pelaku bisnis. Sedikit yang masih memberikan ruang bagi warga untuk berbagi dan berekspresi. Di kota-kota yang lebih modern, konsep taman kota hanyalah sebuah tempat yang bisa dipandang namun tidak bisa digunakan dengan bebas. Pada titik ini mungkin bangku taman dalam arti yang sebenarnya hanya menjadi hiasan tanpa bisa diakses oleh warga. Inilah ironi di sebuah kota. Walau nama Bangkutaman dari band ini berasal dari seringnya para personelnya melihat bangku taman di kampus Sanata Darma Yogyakarta, makna bangku taman bisa diperluas sebagai tempat untuk bergerak secara sosial, bukan hanya tempat berekreasi.



Lagu pertama, yang sekaligus menjadi judul album ini, Ode Buat Kota, adalah penggambaran yang bagus mengenai kota besar.Saya jadi teringat dengan Matraman-nya The Upstairs, yang dapat merangkum penggambaran suasana di sebuah sudut Jakarta. Lagu itu telah menjadi soundtrack saya untuk mengingat Jakarta dan sebentar lagi lagu ini juga menjadi pengingat dan perasa yang bagus tentang Jakarta. Seperti yang ditulis oleh Wahyu Nugroho di kisah lagu album ini, ode adalah pujian sekaligus ironi. Sopir taksi yang merasa kedinginan di taksinya sendiri, berebutan menaiki kendaraan umum, dan dinamika warga yang lain, termasuk di televisi. Kota yang berkembang menjadi tempat hidup yang tak nyaman juga dirasakan oleh pencerita yang memang tumbuh di kota tersebut...



Di sinilah aku dibesarkan

Di hamparan sungai yang kian hitam

Di ujung jalan sempit yang terus tergenang

Di bawah jembatan ku bernyanyi riang



Penggambaran yang bagus sekaligus menunjukkan bahwa untuk hidup di kota, bagaimana pun, hati mesti riang agar hidup kita sendiri tak mencekam. Kisah yang mirip namun lebih personal hadir pada lagu kedua, Jalan Pulang, tentang kembali pulang namun mesti terus berjuang. Semestinya bila sejak awal Bangkutaman adalah band yang vokal mereka sudah menulis lagu tentang siapa yang bertanggung-jawab atas berkembangnya kota Indonesia, terutama Jakarta, mereka sudah tentang topik lagu "Hilangkan". Sebagian besar kesalahan perkembangan kota, dan juga seluruh aspek kehidupan sosiokultural bangsa ini, adalah pengambil dan pelaksana kebijakan negara yang cenderung abai dan tidak konsisten menjalankan tugasnya. Rasa optimisme pada awal Reformasi berubah menjadi kekecewaan luar biasa sekarang ini, apalagi mereka yang katanya wakil rakyat itu berencana membangun gedung baru dengan terlalu banyak fasilitas rekreasinya.



Lagu Coffee People berkisah tentang kehidupan kota malam hari di mana orang dengan berbagai profesi mesti "terjebak" di dalamnya. Pun dengan lagu Penat yang juga berbicara tentang masyarakat kota yang ingin menghilangkan penat dengan menonton televisi, yang ternyata justru memperparah kepenatan. Kisah lain tentang warga kota yang unik, yang tak mungkin ditulis bila penulisnya tidak menjalani, adalah rasa lelah, kosong, sekaligus pasrah pada kondisi adalah lagu Train Song.



Lagu Alusi dan Di Batas Lelah masih berbicara tentang ironi kehidupan kota walau sebenarnya juga bisa berlaku umum dalam kehidupan. Alusi bercerita tentang kehidupan antar manusia yang semestinya semakin baik dengan mengelola konflik, sementara Di Batas Lelah berkisah tentang susahnya kita mengontrol kehidupan kita di kota, terutama untuk kehidupan kerja. Dua lagu lain, Menjadi Manusia dan Catch Me when I Fall menunjukkan bahwa walau kehidupan kota itu berat dan membuat kita hampir kalah, tetap ada optimisme di situ. Kesadaran kosmos bahwa kita adalah makhluk kecil dan tak berdaya, serta harapan untuk saling membantuk ketika manusia lain "terjatuh" adalah harapan yang murni dan bukan untuk menunjukkan ironi.



Hal yang paling saya suka dari album ini adalah fungsi maksimal sampul album dalam memberikan tambahan informasi dan rasa dengan tulisan-tulisan yang bagus. Liner notes yang bagus dari Harlan Boer dan tulisan-tulisan pengantar lagu dari personelnya, membuat album ini lebih mengasyikkan untuk diakses. Upaya seperti ini penting bagi pendengar seperti saya dalam upaya maksimalisasi pesan media dan mengenal lebih dekat si penyampai pesan. Saya masih melihat banyak penyanyi Indonesia yang menganggap sampul album sebagai hal yang sepele dengan mendesainnya asal-asalan dan dipenuhi dengan informasi "jualan" yang merusak keseluruhan sampul album.



Album dari J.Irwin, W. Nugroho, dan D. Eryanto ini mengingatkan saya pada era britpop awal 1990-an yang dahulu terkadang masih dimasukkan dalam genre alternative, untuk mengklasifikasikan aliran musik yang masih baru. Secara khusus, Bangkutaman dan album ini mengingatkan saya pada Stone Roses, terutama pada lagu I Wanna be Adored, lagu pertama mereka yang saya dengar dan ternyata menjadi lagu pertama yang dimainkan oleh Bangkutaman ketika para personelnya memutuskan bermusik. Saya jadi sangat ingin mengakses koleksi Stone Roses saya walau dahulu masih berformat kaset.



Sambil mendengarkan lagu-lagu di album ini, saya membayangkan bila saja kita memiliki taman-taman kota atau ruang publik (dalam makna public sphere ataupun public space) yang bagus tempat kita bisa berbagi dan berekspresi, mungkin dari bangku-bangku taman kita bisa merancang perubahan yang lebih baik bagi kehidupan bersama kita. Mungkin saja lewat ruang-ruang bebas di masyarakat seperti itu kita bisa mengingatkan pada pelaksana kepublikan untuk menjalankan tugasnya lebih baik lagi. Sementara itu, dari Bangkutaman yang satu ini kita dihibur dan diberi harapan bahwa kita, sebagai bagian dari masyarakat kota, bisa berbuat lebih baik. Bahwa kita masih memiliki harapan di tengah kehidupan sosial yang tak kunjung membaik ini.



Judul : Ode Buat Kota

Penyanyi : Bangkutaman

Tahun : 2010

Label : Jangan Marah Records dan Demajors



Daftar lagu:

1. Ode Buat Kota

2. Jalan Pulang

3. Hilangkan

4. Coffee People

5. Alusi

6. Penat

7. Train Song

8. Di Batas Lelah

9. Menjadi Manusia

10. Catch Me when I Fall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...