Senin, 11 Oktober 2010

Wajah Spesial Pake Telor


Kini si tanpa wajah begitu bahagia. Apa yang kurang dalam sebuah perjalanan, sekalipun perjalanan itu jauh jarak tempuhnya dan tidak jelas apakah tujuan akan tercapai, bila dia ditemani oleh dua orang perempuan? Dua perempuan yang secara epistemologis dan “ekonomi politik” berbeda. Artinya, keduanya begitu berbeda dalam hal pendekatan dan motif-motifnya. Di atas semua itu, keduanya begitu mengerti dirinya.



Sejak bertemu beberapa waktu yang lalu dia mulai akrab dengan kedua perempuan itu. Sebut saja namanya Venus 1 dan Venus 2. Seperti kode polisi bukan? Lebih baik dibedakan seperti itu. Walau pembedaannya adalah pembedaan paling usang, itu masih lebih baik daripada tidak dibedakan sama sekali. Pembedaan berdasarkan angka memang primitif sekali dan bersifat hanya di permukaan. Namun inilah pembedaan terbaik sejauh ini. Dalam keadaan tanpa wajah, apa lagi yang bisa kau harapkan selainkan menerapkan visi dan strategi yang sudah usang.



Venus 1 secara epistemologis lebih jelas. Tanpa harus dipikirkan mendalam, dirinya mudah untuk diverifikasi. Kecuali wajah yang tidak bisa diverifikasi, semua hal lainnya, bagian tubuhnya yang lain, bagus sekali. Bagaimana bisa diverifikasi bila sesuatu itu tidak ada? Keber-ada-an adalah sesuatu yang problematik seperti halnya ketiadaan. Tetapi dia memiliki tubuh yang sempurna bagi seorang perempuan. Kaki dan tangan anggota badannya indah bak kreasi masterpiece dari sang Pencipta. Namun kelemahannya juga luar biasa, semua ujaran dan gerakannya sungguh menyakitkan. Dia sering melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati, pun tindakannya yang seringkali meremehkan. Bahkan dalam keadaan tanpa wajah seseorang perempuan, dan juga semua jenis manusia, bisa menyakitkan bagi orang lain.



Venus 2 secara “ekonomi politik” lebih santun. Visi dan motif-motif hidupnya sungguh membahagiakan dan juga mengenakkan bagi orang lain. Dia berbicara tentang “kehidupan hijau” dan kehidupan setelah mati. Dia menghibur dengan kata-katanya yang mengukir hati dan menggedor sukma. Kaki dan tangan anggota tubuhnya juga memberikan implementasi pikiran atau tindakan dengan asyik. Tidak ada tindakannya yang menyakitkan hati. Kelihatannya, apa pun ujaran dan gerakan tubuhnya, merupakan keindahan hidup yang terjabarkan dengan mudah di kenyataan. Bukankah hal itu salah satu karakter ekonomi politik, bersifat praksis?



Namun Venus 2 tidak memiliki tubuh yang indah walau ujaran dan gerakan tubuhnya indah. Hal inilah yang merupakan secuil kekurangannya. Di tengah semua hal yang baik dari dirinya, dia masih berharap memiliki keindahan tubuh seperti Venus 1.

“Coba yakinkan aku bahwa aku bisa mendapatkan tubuh seindah dirinya”. Kata Venus 2 tiba-tiba saja kepada si tanpa wajah. Hal ini aneh karena mereka sedang berbicara mengenai neo-tribalisme yang kini sedang marak kembali. Apa hubungannya tubuh dengan neo-tribalisme? Kata si tokoh kita dalam hati.



“Buat apa kau memikirkan tubuh yang indah bila dirimu sudah hampir sempurna sejak awal?”. Katanya bingung.

“Sepertinya ada yang kurang bila tubuhku tak indah. Tubuh itu adalah kuil sehingga haruslah lebih indah. Jangan salah berpikir lho, tubuhku yang nantinya indah itu bukannya untuk orang lain, melainkan untuk dirimu sendiri. Aku akan bersuka cita di kuilku sendiri”.

Lain waktu ketika si tanpa wajah berkesempatan hanya berdua saja dengan Venus 1 dan mereka sedang mendiskusikan siapa siapa manusia terindah pada era dengan wajah, tiba-tiba saja dia bertanya, “Apa menurutmu, dia lebih baik dari aku? Dia yang begitu baik padamu sebenarnya tidak menerimamu apa adanya”.



Belum habis kekagetan tokoh kita, Venus 1 meneruskan kalimatnya kembali.

“Walau hatimu sering tersakiti oleh ucapan-ucapanku, aku ini adalah orang yang paling mengerti dirimu”.

“Aku memberikan padamu penglihatan dan perasaan bersyukur atas tubuhku yang indah, itu adalah wujud pengertian paling dalam diriku atas dirimu”. Baru sekali ini dia berbicara langsung ke hati alias telepati dengan mendalam seperti ini.



“Aku tak menyesali apa pun, termasuk keadaanku yang sudah seperti ini. Kau kira tidak sulit hidup dengan tubuh sangat indah seperti ini? Sulit sekali teman...Kau tidak bisa membedakan mana lelaki yang mendekati karena tubuhku atau karena hatiku. Mungkin semua ucapan dan tindakanku yang tidak menyenangkan ini berawal dari kebingunganku atas motif dan tujuan orang-orang yang mendekatiku”.

Makanya kau mesti belajar ekonomi politik juga, tidak hanya epistemologis saja, apalagi yang ada dalam varian empirisisme saja. Begitu kata si tanpa wajah dalam hati dan berusaha agar Venus 1 tak mendengarnya. Kemudian dia tersadar, bila mendengar pun belum tentu Venus 1 mengerti.



Setelah beberapa kali mendengar curahan hati mereka, si tanpa wajah semakin yakin bahwa wajah mereka semua harus ditemukan kembali. Bukan apa-apa, semua bisa dikembalikan seperti semula bila mereka semua memiliki wajah seperti dulu. Inilah paradoksnya, mereka ingin wajah ada kembali setelah lama menghilang karena dulunya mereka menganggap tidak membutuhkan wajah.

Bila pun kami mendapatkan wajah kembali, mereka menginginkan wajah itu “bekerjasama” dengan tubuh, bukan saling menisbikan seperti dulu. Wajah yang secara epistemologis menyatu dengan tubuh dan memiliki visi dan strategi memanusiakan diri mereka sendiri. Lalu si tanpa wajah, tokoh kita, membayangkan ungkapan sewaktu dia masih kecil...spesial pake telor.



Kata spesial pake telor muncul pada dekade 1980-an bila kita makan di warung makan kelas bawah. Kata itu menunjukkan bahwa apa-apa yang berlauk telur adalah mengasyikkan. Dahulu ketika tempat makan cepat saji meraja, makan nasi rames dengan lauk telur adalah luar biasa. Mengapa tidak wajah spesial pake telor yang perlu kita tuju? Kata si tanpa wajah dalam hati.



Makan nasi spesial pake telor juga bermakna kita mesti mengembangkan tubuh sebaik mungkin. Bukankah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula? Walau di dalam hati dirinya cenderung agak tidak setuju juga, toh banyak orang yang sehat secara fisikal, jiwanya tak sehat? Namun istilah spesial pake telor layak digunakan untuk menginteraksikan wajah dan tubuh yang sehat dan memfungsikan satu sama lain dengan positif.



Mengapa kami tidak mengembangkan konsep wajah spesial pake telor?, dia berkata dalam hati. Dia yakin dengan konsepnya ini. Pendekatannya pun mudah, dengan menggunakan faktor kesejarahan yang sangat Indonesia, sebab apa-apa yang dekat itu penting tidak seperti konsep-konsep filsafat ilmu dan perspektif kritis yang jauh itu. Tetapi dia sadar untuk mendekati konsep manusia, wajah dan tubuhnya, tidak ada cara dan posisi yang jauh atau dekat. Humanisme adalah hal yang paling dekat dengan manusia sekaligus jauh karena manusia terbiasa berpikir dan merasakan hal-hal lain di luar dirinya, termasuk terlalu memikirkan manusia lain.



Di dalam perjalanan yang masih jauh ini dia kemudian berencana untuk berdiskusi dengan Venus 1 dan Venus 2 tentang wajah spesial pake telor. Tentang wajah dan tubuh, serta relasinya, yang memanusiakan diri sendiri dan mencerahkan kehidupan. Dia terus berencana walau waktu sepertinya belum berpihak padanya.



Perjalanan ini masih jauh dan masih banyak waktu untuk sekadar berdiskusi dengan enak dan santun....



###



Episode seri Wajah:

1. Wajah: Sebuah Pengantar
2. Para Pencari Wajah
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah
5. Wajah Spesial Pake Telor (sekarang sedang Anda baca)
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10. Wajah Paripurna: Kesimpulan dan Saran

(gambar dipinjam dari blog.photodelight.ca)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...