Senin, 11 Oktober 2010

Pelarangan Buku: "Keusangan" yang Diduplikasi


Siapa pun individu warga negara Indonesia yang mengalami dua masa tatanan politik, Orde Baru dan Reformasi, pasti merasakan perbedaan yang sangat kondisi kebebasan bermedia: warga beropini dan berekspresi dan juga mendapatkan informasi. Informasi kini relatif mudah diperoleh bahkan untuk yang dulunya dianggap "membahayakan" negara dan bangsa. Media juga lebih bebas berposisi berbeda dengan penguasa politik. Walau begitu, kondisi sekitar lima tahun ini mulai berbeda. Media massa, terutama televisi, memang masih bebas, tetapi karena dimiliki atau dekat dengan penguasa politik, media menjadi "tumpul" dan tidak berani berposisi tegas dan membela publik. Rupanya kondisi menyatunya penguasa politik dan ekonomi juga berpengaruh banyak pada ketidakbebasan bermedia. Dahulu kita berjuang agar media bebas dari kungkungan penguasa, negara, sekarang kita mestinya berusaha membuat media tidak mudah terkooptasi kepentingan politik yang menyatu dengan kepentingan bisnis.



Setengah waktu dari masa Reformasi yang kita jalani sekarang, mudah kita lihat bagaimana negara masih lemah, bahkan negara tidak hadir kala diperlukan. Anehnya, ketika negara hadir, suasana dan kondisi yang awalnya bagus malah menjurus kacau. Lihat saja kasus hubungan antaragama di negeri ini. Untuk kasus media baru, kita bisa melihat bagaimana negara lebih mengurusi aspek-aspek normatif, bukannya ketersediaan kanal dan wahana untuk distribusi informasi bagi masyarakat. Belum lagi yang ditunjukkan oleh berbagai regulasi untuk media (dan informasi), aturan hukum untuk media cenderung tidak ditegakkan dengan serius, seperti UU Penyiaran, implementasi yang sangat rumit dan berat untuk UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) dan UU Pornografi (sebagian berkaitan dengan publikasi melalui media), atau secara mendasar memang regulasi tersebut tidak demokratis seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU Perfilman. Kita tahu bagaimana sistem penyiaran berjaringan tidak dilaksanakan sesuai amanat UU Penyiaran, juga pasal-pasal pidana yang lebih ditegakkan untuk UU ITE seperti dalam kasus Prita Mulyasari.



Di atas itu semua, hal yang paling konyol, adalah masih diterapkannya peraturan usang untuk melarang jenis media yang paling awal, buku. Ironis sebenarnya, Indonesia yang mengaku sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan India, ternyata masih menerapkan sebuah peraturan usang dengan dasar hukum yang juga usang. Peraturan tersebut adalah pelarangan buku yang menggunakan aturan usang, kalau tak dibilang primitif, yaitu UU No. 4/PNPS/1963 tentang pengaturan barang cetakan. Peraturan itu masih "ditegakkan" sampai tahun 2009 kemarin, di mana lima buku dilarang peredarannya oleh negara.



Aturan tersebut jelas usang karena di mana pun negara yang mengaku demokratis, tidak ada pelarangan jenis media tertentu, yang ada adalah pemberlakuan aturan main yang sebaik-baiknya. Dasar hulum untuk melakukan tindakan tersebut jelas usang karena menggunakan aturan hukum yang berasal dari tahun 1963, masa di mana kita masih dianggap sedang melakukan revolusi dan berkonfrontasi dengan negara tetangga. Apakah kini kita masih melakukan revolusi dan berkonfrontasi? Ini adalah keusangan pertama. Keusangan itu kemudian mengantarkan kita pada keusangan yang kedua, yaitu keusangan atas pemahaman buku sebagai "barang cetakan".



Aslinya, UU No.4/PNPS/1963 mengatur semua barang cetakan atau apa pun yang dicetak, termasuk surat kabar dan majalah, namun oleh UU Pers tahun 1999, Penetapan Presiden tersebut dinyatakan tidak berlaku dan dinilai tidak demokratis. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada buku. Buku adalah satu-satunya media yang masih mendapatkan "kekerasan" oleh negara dan juga oleh masyarakat. Istilah barang cetakan bisa diterapkan bila satu-satunya cara "memproduksi" buku adalah dengan dicetak, padahal kita tahu bahwa buku bisa berbentuk digital kini. Setelah buku "Dalih Pembunuhan Massal" karya John Roosa dilarang pada tahun 2009 kemarin, pihak penerbit dan penulisnya membebaskan hak cipta dan meletakkan buku tersebut di Internet sehingga bisa diunduh oleh siapa saja. Sudah banyak sekali orang yang mengunduh buku tersebut dan kenyataannya tidak ada gangguan terhadap "ketertiban umum" seperti yang ditakutkan oleh negara atas tersebarnya buku tersebut. Jujur saja, saya sudah membaca buku tersebut, buku "Dalih Pembunuhan Massal" adalah buku yang sangat bagus. Buku kelas satu untuk bidang sejarah sosial di Indonesia.



Tindakan pelarangan buku yang usang itu ternyata diperkuat oleh tindakan usang yang lain, bahkan bisa dikatakan tindakan barbar, yaitu pembakaran buku. Pembakaran buku adalah sebuah tindakan yang hanya dilakukan oleh pemerintahan yang totaliter dan fasis seperti Jepang dan Jerman pada masa lalu. Nazi Jerman pada awalnya membakar buku, kemudian membakar manusia. Pada tahun 2007 secara demonstratif di tiga kota di Indonesia, negara diwakili oleh kejaksaan dan departemen pendidikan membakar ribuan buku yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan. Pemerintah Orde Baru yang ototriter itu pun tidak membakar buku melainkan "hanya" membuatnya menjadi bubur kertas yang akan diproduksi kembali menjadi buku.



Keusangan yang berikutnya adalah duplikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Negara yang melarang dan membakar buku pada akhirnya menjadi "teladan" dan diikuti oleh kelompok tertentu di masyarakat. Bila dilakukan oleh negara, hal itu disebut sebagai pelarangan buku, bila dilakukan oleh kelompok masyarakat, hal itu disebut sebagai pemberangusan. Perilaku negara yang tidak toleran terhadap perbedaan diduplikasi oleh masyarakat terhadap buku. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu di beberapa kota di awal dekade 2000 pernah melakukan sweeping dan pembakaran buku-buku yang dianggap mengandung nilai-nilai komunis dan Marxisme. Ada cerita lucu pada waktu sweeping terjadi yaitu banyak buku-buku agama yang juga ikut di-sweeping karena gambar penulisnya yang brewokan seperti gambar Karl Marx.



Setelah diusut lebih jauh, ternyata ada motif ekonomi di balik tindakan tersebut, yaitu persaingan tidak sehat antar penerbit. Lebih jauh hal ini menunjukkan ketiadaan toleransi dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan bukan dilihat sebagai rahmat melainkan sebagai laknat. Melalui pelarangan buku oleh negara dan pemberangusan buku oleh kelompok masyarakat tertentu inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa "keusangan" dalam menyikapi perbedaan masih saja terjadi. Tak heran bila perbedaan ideologi politik, agama, etnis, dan kelas sosial, masih menjadi "bubuk mesiu" untuk konflik seperti yang belakangan ini terjadi.



Apa implikasi dari pelarangan buku? implikasinya jelas sangat besar dan semakin terasa akhir-akhir ini. Buku ternyata tidak mengganggu ketertiban umum seperti yang ditakutkan oleh negara. Sekalipun buku dilarang, ternyata masyarakat masih bisa mendapatkannya secara digital dan sembunyi-sembunyi untuk buku yang tetap diedarkan dengan dicetak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa buku yang dilarang justru dicari oleh pembaca. Buku semestinya tidak dilarang karena pelarangan merupakan tindakan yang sia-sia. Lalu, bagaimana dengan buku yang mengandung pornografi dan ide-ide menghancurkan kelompok masyarakat lain? tetap, buku seperti ini tidak langsung dilarang melainkan melalui pengadilan. Lewat pengadilanlah kita bisa belajar dan lebih mengetahui substansi seperti apa sesuatu ide bisa dilarang.



Implikasi yang jelas dari pelarangan dan pemberangusan buku adalah tidak munculnya pemikiran kritis dan perbedaan tafsir atas suatu wacana. Pada akhirnya kita terbiasa dengan pemikiran dan sikap yang homogen atas sesuatu yang sempit dan mungkin keliru. Daripada melarang buku, negara sebaiknya mendorong ragam penerbitan yang memperkuat paham ke-Indonesia-an yang plural dan sejak awal mengandung nilai-nilai yang demokratis dan saling menghargai. Tindakan "menciptakan" adalah tindakan yang jauh lebih baik daripada tindakan "menghilangkan" dalam bentuk pelarangan atas buku, apalagi bila tindakan itu berdasarkan pada hal usang yang mebawa pada keusangan-keusangan lain.



(tulisan ini dimaksudkan sebagai tafsir ekstrak personal atas buku "Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi" yang disusun oleh tim peneliti PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan diterbitkan bekerja sama dengan FES (Friedrich Ebert Stiftung) pada awal Oktober 2010 ini. Buku ini adalah buku pertama PR2Media, semoga buku-buku lain segera menyusul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...