Jumat, 01 Oktober 2010
Maybe Tomorrow
"Ayo mas, once in the lifetime lho...." Kata seorang rekan sekaligus mahasiswa saya, Sondy Garcia, menyarankan saya mesti menyaksikan Smashing Pumpkins dan the Stereophonics yang akan manggung di Jakarta minggu depan, di acara "Java Rockin' Land". Sebelumnya saya bercerita padanya betapa ingin saya menyaksikan kedua band 1990-an itu ketika kami bersama memandu acara "Angkringan Gayam" Senin malam kemarin.
Benar juga sih, pikir saya. Sekali seumur hidup apa salahnya? Awalnya saya ingin tetap nekad menonton. Kemudian setelah "mengusut" lebih dalam lagi jadwal, kondisi keuangan, dan lain-lain, saya membatalkan niat itu. Sudahlah, cukup mendengarkan album-album mereka yang rata-rata bagus itu, menyaksikan videoklip dan aksi panggung mereka dari cakram padat, dan mengakses habis-habisan informasi ttg mereka dari beragam media. Saya rasa itu semua sudah cukup. Di dalam hati saya menenangkan diri sendiri tetapi sudut pendapat hati saya yang lain menyampaikan hal yang berbeda. Bro, tetap saya menonton langsung penampilan mereka itu sangatlah berbeda. Tidak ada bandingannya menyaksikan langsung, sekalipun kau mengakses informasi dalam jumlah sangat besar.
Namun memang saya mesti realistis....
Belakangan ini pun, sebelum saya mengetahui agenda mereka akan datang ke Indonesia, saya cukup sering memutar kembali album-album Stereophonics dan Smashing Pumpkins. Alasannya sederhana saja, tidak ada album baru Indonesia yang cukup "menggigit" untuk didengarkan dengan detail, kecuali Bangkutaman. Untuk album Barat memang ada album Arcade Fire terbaru, namun itu belum cukup. Saya pun kembali mendengarkan album-album lama dari band-band kesukaan saya. Uniknya, album-album yang kita suka itu akan selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kita pun akan cenderung menafsirnya secara berbeda, dengan konteks kekinian. Saya pribadi bisa mempelajari dan menelisik kembali masa lalu di mana album-album tersebut menjadi background.
Mendengarkan album lawas Stereophonic yang judulnya "You Gotta Go There to Come Back" dari tahun 2003 misalnya, saya merasakan transisi orang-orang ada di sekitar saya dahulu. Ayah saya meninggal setahun sebelumnya, teman-teman karib semasa kuliah mulai pergi karena menyelesaikan kuliahnya, bekerja, dan pulang ke daerah asalnya, teman-teman baru datang, orang-orang "baru" hadir menjadi berhubungan keluarga karena di tahun inilah saya menikah. Bagi saya tahun 2003 ini adalah transisi penting yang menjadi berbeda didedah dengan soundtrack dari album Stereophonics itu. Hidup sendiri yang direview terus-menerus menjadikannya bermakna, begitu kira-kira kata seorang pemikir terkenal yang saya interpretasi ulang.
Di dalam album "You Gotta Go There to Come Back" tersebut ada satu lagu bagus, yang juga menjadi hit, judulnya "Maybe Tomorrow. Musiknya enak didengar. Liriknya pun sangat kontemplatif. Seperti halnya lagu-lagu bagus milik Stereophonics yang lain, ada semacam rasa "tak selesai" dari lagu "Maybe Tomorrow" ini. Tak selesai walaupun kita mengakses teks ini beribu kali, walau kita menikmatinya luar bisa. Dia tetap hanya lagu. Dia tetap sebuah teks media. Kita mesti "menyelesaikannya" dalam hidup kita sendiri.
Lagu ini juga muncul sebagai salah satu penghias dan pemerkuat film "Wicker Park" (2004), sebuah film bagus dengan gaya bercerita berbeda dari film kaum muda kebanyakan. Ketujuh belas lagu di dalam OST tersebut bagus, terutama lagu Stereophonics ini dan tafsir ulang atas dua lagu, "Against All Odds" oleh Postal Service dan "the Scientist" oleh Danny Lohner & Johnette Napolita. Tafsir ulang yang membuat kedua lagu tersebut lebih bagus dari penyanyi yang sesunggunya, Phil Collins dan Coldplay.
Makna yang lain adalah "janji". Kita berjanji pada diri sendiri akan esok yang lebih baik. Pada titik ini, lagu "Maybe Tomorrow" mirip dengan lagu "Perfect" dari album "Adore" milik Smashing Pumpkins yang semestinya saya takar duluan. Janji bahwa kita akan pulang atau lebih baik/lebih sempurna pada suatu hari adalah tetap sebuah janji. Kita akan menuntaskannya tunai bila janji itu sudah dipenuhi. Namun bila berkaitan dengan janji pada diri sendiri, bagaimana kita yakin kita akan menunaikan janji? esok, tahun depan, belum dipenuhi, atau secara tak sadar sudah dipenuhi?
Ada rekan yang pernah berkata agar tidak terus menerus berjanji pada diri sendiri. Hidup mestinya dijalani dengan sungguh-sungguh dan tidak dipenuhi janji belaka. Tetapi dalam kasus menonton langsung penampilan Stereophonics dan Smashing Pumpkins, saya hanya bisa berjanji, maybe next time, maybe tomorrow....
Ayo menyanyikan lagu keren ini bersama:
"Maybe Tomorrow"
oleh Stereophonics
I'm wondering why
These little black clouds
Keep walking around
With me
With me
It wastes time
And I'd rather be high
Think I'll walk me outside
And buy a rainbow smile
But be free
They're all free
So maybe tomorrow
I'll find my way home
So maybe tomorrow
I'll find my way home
I look around at a beautiful life
Been the upperside of down
Been the inside of out
But we breatheWe breathe
I wanna breeze and an open mind
I wanna swim in the ocean
Wanna take my time for me
All me
So maybe tomorrow
I'll find my way home
So maybe tomorrow
I'll find my way home
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar