Baru-baru ini kita agak dikagetkan oleh dua peristiwa yang sepintas tidak berhubungan langsung dengan media. Pertama, Tera Patrick yang berperan dalam film "Rintihan Kuntilanak Perawan" dan peristiwa yang kedua, hadirnya para pejabat tinggi pemerintahan dalam premier film "Eat Pray Love". Bagaimana kita melihat dua kejadian baru-baru ini dalam konteks kajian media? Banyak jalan untuk mengkajinya untuk studi media, namun yang paling sesuai adalah mendedah kedua kejadian tersebut dalam cara dan sudut pandang ekonomi politik media.
Membicarakan ekonomi politik media, atau terkadang istilah ini saling menggantikan dengan istilah ekonomi politik komunikasi, kita pasti tidak bisa melepaskan diri dari Vincent Mosco. Lewat bukunya yang menjadi "klasik" di kajian ini,"The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal" (Sage Publications, 1996), Mosco bisa dianggap memberikan telaah konseptual paling komprehensif dan terklasifikasi baik untuk menjelaskan ekonomi politik media. Lewat tiga "pintu masuk" memahami ekonomi politik media, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi, Mosco memberikan peta pemahaman yang berguna pada kita para pembelajar ilmu komunikasi. Aslinya, ketiga konsep tersebut bukan berasal dari Mosco, namun dialah yang mendudukkannya dalam taksonomi yang pas nan memadai. Mosco meminjam ide-ide dasar komodifikasi dari Marx dan kemudian para pengikutnya, kaum Marxian, spasialisasi berasal dari pemikiran Henri Lafebvre, dan strukturasi, tentu saja dari Anthony Giddens. Walau meminjam banyak ide dasar dari pemikir lain, Mosco meminjamnya dengan cantik dan menempatkan ide-ide tersebut sesuai dengan kajian media dan komunikasi.
Kali ini kita mendedah terlebih dahulu mengenai konsepsi komodifikasi. Dua "pintu masuk" lain akan didiskusikan dalam bagian-bagian berikutnya (bila sempat), sementara pengantar awal memahami ekonomi politik media, yang juga berasal dari Mosco, telah saya tulis dahulu sekali dan terarsip di dalam akun Facebook saya ini. Komodifikasi bukan hanya pintu masuk paling awal, ia juga merupakan pintu masuk utama karena hampir tak mungkin menjelaskan spasialisasi dan strukturasi tanpa konsep komodifikasi ini. Komodifikasi seringkali disamakan dengan komersialisasi walau sebenarnya pengertiannya beda tipis. Komodifikasi menurut Mosco adalah: "the process of transforming use values into exchange values" (hal. 141). Bila komodifikasi merujuk pada semua nilai tukar, komersialisasi lebih merujuk pada nilai tukar ekonomi.
Lebih jauh Mosco menjelaskan bahwa bentuk komoditas di dalam komunikasi ada dua, yaitu komodifikasi isi media dan komodifikasi audiens. Isi pesan atau produk atau kreasi media adalah bentuk komodifikasi yang utama. Kumpulan informasi dan data yang tidak bermakna pada awalnya kemudian diolah sedemikian rupa oleh media untuk mendapatkan "nilai tukar". Ada media yang mentransaksikan isi media tersebut langsung dengan audiens atau pengakses pesan, ada media yang "menjualnya" melalui pengiklan baru ke audiens. Tindakan media yang terakhir inilah yang disebut oleh Mosco sebagai komodifikasi audiens. Pengelola media (komersial) menjual kuantitas audiens pada pengiklan, semakin besar jumlah audiens yang mengakses isi media akan memiliki semakin tinggi nilai di mata pengiklan. Tak heran ada seorang ahli ekonomi politik media Indonesia yang menyebut audiens sebagai "buruh"-nya media.
Komodifikasi isi pesan media dan audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi media film yang menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan yang mistis cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah mulai film "Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan Kuntilanak Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa "menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang "menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut "film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas melanggar norma sosial.
Selain hal-hal yang langsung berkaitan dengan isi media dan audiens, tindakan lain yang termasuk di dalam komodifikasi adalah komodifikasi ekstensif. Komodifikasi jenis ini adalah sebentuk proses ekspansi komodifikasi ke luar dari isi media. Komodifikasi ekstensif bisa berasal dari bidang apa saja. Bisa semua bidang dalam jangkauan sosial, politik, dan ekonomi. Intinya adalah melakukan tindakan-tindakan yang secara tidak langsung berhubungan dengan media dan segala elemennya. Kehadiran tiga menteri dalam premier "Eat Pray Love" memberikan promosi tambahan untuk film tersebut. Hanya karena film tersebut melakukan syuting di Bali, tiga menteri, yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu, dan tentunya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta istri Wakil Presiden Boediono, Herawati Boediono, sampai harus datang menontonnya pertama-kali di Indonesia. Semua tindakan yang dilakukan oleh produsen pesan media atau pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan isi kreasi media adalah salah satu bentuk "komodifikasi ekstensif"
Bentuk komodifikasi lain yang termasuk di dalam komodifikasi ekstensif adalah komodifikasi pekerja (media). Mosco menjelaskan bahwa komodifikasi pekerja dapat melalui dua jalan, yaitu mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja dan "menjual" pekerja tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media (hal.157). "Jalan" pertama terutama semakin mudah dilakukan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju dan konglomerasi media yang semakin meraja. Misalkan saja seorang jurnalis yang bekerja untuk satu perusahaan media padahal media tersebut memiliki "output" yang beragam, mulai dari cetak sampai online. "Jalan" kedua juga galib dilakukan. Contohnya adalah dikontraknya Tera Patrick untuk bermain film di Indonesia. Dia yang merupakan bintang film porno di Amerika jelas menjadi bagian yang ampuh untuk menarik penonton. Cara serupa sebelumnya juga dilakukan dengan mengontrak Miyabi alias Maria Ozawa. Selain terjadi untuk pekerja media yang "tampil", hal serupa juga dilakukan untuk pekerja media di balik layar, misalnya produser dan camera person, bahkan penyanyi untuk OST di dalam film dan game. Intinya, pekerja media pun merupakan elemen yang penting bagi komodifikasi.
Istilah komodifikasi bukannya tanpa kritik. Ilmu tentu saja akan mati dan berhenti berkembang tanpa kritik. Kritik yang utama atas komodifikasi adalah hilangnya esensialisme di dalam konsumsi isi media. Bahwa tindakan atas isi media bisa dilakukan, namun konsumsi isi media adalah otonomi tak terbatas milik audiens atau pengakses. Salah satu pemikir yang mengritik komodifikasi adalah Claus Offe (1984) yang melansir istilah "rekomodifikasi administratif". Inti dari kritik Offe adalah di dalam budaya konsumsi seperti era postmodernisme, mekanisme pasar telah gagal untuk "melawan" kuasa audiens. Dekomodifikasi kemudian melibatkan juga program dan regulasi yang mematahkan kepentingan produsen terlalu banyak. Pemikiran Offe tentang rekomodifikasi ini juga sejalan dengan pemikiran Max Weber ketika mengritik birokratisasi di mana kondisi yang tercipta seringkali berasal dari mekanisme non-pasar.
Kritik lain untuk komodifikasi adalah keragaman cara pandang. Sekalipun komodifikasi itu pervasif dan berpengaruh kuat, prosesnya tidaklah singular. Proses komodifikasi terjadi timbal-balik di dalam kehidupan publik dan privat. Tiga orang tokoh yang berada dalam klasifikasi kritik ini, yaitu Jurgen Habermas, Stuart Hall, dan Anthony Giddens. Menurut Habermas, kehidupan publik dan privat tidak dapat dipisahkan. Inilah yang disebutnya dunia-kehidupan (Lebenswelt) atau bisa disebut juga intersubyektivitas. Inilah yang kemudian membentuk identitas dan terbawa dalam kehidupan publik. Stuart Hall menyampaikan kritiknya lebih jelas lagi. Menurutnya, kapitalisme selalu membawa ketakstabilan dalam identitas, termasuk narsisme identitas personal. Hal ini berkaitan erat dengan otonomi personal yang tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan eksternal secara mudah. Kritisi terakhir dalam domain ini adalah Giddens. Ia melihat bahwa kehidupan privat dan publik merupakan "proyek eksistensial" individu, di mana dualitas selalu menampilkan diri. Di dalam proyek eksistensial tadi sangatlah penting untuk kondisi seseorang menghidupi personalnya dan upayanya untuk "menyediakan" sumber daya moral untuk hidup dan memuaskan eksistensinya (hal. 166).
Sebagai akhiran dari senarai, disarankan bagi pembelajar untuk mendalami teks asli dari buku Vincent Mosco ini, bahkan bila ingin lebih mendalam cobalah untuk mendalami pemikiran para tokoh yang ditampilkan oleh Mosco di dalam tulisannya. Komodifikasi, seperti halnya konsepsi akademis yang lain, akan bermakna penuh bila dicerna, didiskusikan, dan dieksplorasi secara mendalam. Bukankah suatu konsep, atau bahkan suatu kajian, akan terus berkembang bila "dipertemukan" dengan intens dan antusias?
Selamat belajar dan berpikir merdeka!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar