Selasa, 19 Oktober 2010

Media Baru, Aktivisme Sosial, dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian 3)

Apa Saja yang Belum Selesai?

Sebagai penutup, internet dan semua jenis media baru, memang potensial memberikan kontribusi positif pada kehidupan bersama. Terus terang saya terlihat begitu optimis dan antusias dalam hal ini. Sampai-sampai seorang teman mengingatkan bahwa media baru juga “berbahaya”. Namun, bukankah di dalam hidup kita bisa memilih sedikit lebih optimis pada kehidupan yang cenderung teruk ini. Memilih optimis atas peran media baru dalam kehidupan bersama bukan berarti media baru tidak memiliki efek negatif. Paling tidak ada dua hal penting yang mesti diperhatikan, yaitu “tegangan realitas” dan “tegangan identitas” dari penggunaan media baru.

Pertama, tegangan realitas, di mana pengguna media baru memiliki kemungkinan tidak dapat memadukan realitas sosial sesungguhnya dengan realitas media, baik lama dan baru. Hal ini bisa terjadi bila seorang individu yang mengakses media baru merasa menemukan hal-hal baru yang mengasyikan di dunia barunya tersebut dan menganggap bahwa kehidupan yang sesungguhnya kurang mengasyikkan. Agar tegangan realitas ini tidak terjadi, sepertinya para pengguna media baru, beberapa komunitasnya, sudah menemukan cara mengatasinya walau pada kasus lain realitas maya di media baru justru menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Berkomunikasi di dunia maya sebaiknya dipadankan dengan berkumpul secara rutin, misalnya melalui “temu blogger” atau melalui “kopdar” sesama anggota komunitas maya tersebut. Seperti halnya media lama, media baru hadir untuk menjadi “perluasan” manusia. Bila pada media lama menjadi perluasan pikiran manusia seperti kata Marshall McLuhan, pada media baru, perluasan manusia itu bahkan menjadi perluasan atas eksistensinya pada dunia maya.

Kedua, tegangan yang terjadi adalah tegangan identitas. Tegangan kedua ini bisa terjadi ketika individu tidak cukup kuat meleburkan diri sekaligus berposisi ketika berinteraksi dengan komunitasnya. Idealnya, individualitas tidak “dihilangkan” oleh kolektivisme, begitu pula sebaliknya. Seringkali ada yang beranggapan bahwa individualitas mesti dileburkan sepenuhnya di dalam komunitas. Atau hal yang negatif lainnya, memaksakan kedirian personal terlalu masuk ke dalam komunitas. Idealnya, media semestinya menjembatani diri dan kelompok dalam berkomunikasi. Media baru memperluas eksistensi seseorang individu bukannya malah “mengamputasinya”. Pada titik inilah menurut saya media baru berperan lebih baik dibandingkan media massa atau media lama, sebab tanpa perluasan eksistensi ini, tidak akan muncul partisipasi sosial kolektif.

Tegangan identitas dan tegangan realitas pun saling mempengaruhi satu sama lain. Kemudian ada semacam kekhawatiran bagaimana media baru justru menghilangkan relasi dalam dunia sesungguhnya. Banyak pihak melihat bahwa anak muda Indonesia sangat aktif di dunia maya, namun tidak demikian halnya untuk keaktivan di dunia nyata. Menurut saya, bukan berarti mereka tidak menghargai dunia nyata dan relasinya, tetapi dalam kasus kita di Indonesia, kita memang lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya di mana perbedaan dan keberagaman dihargai dan dianggap sebagai rahmat. Sementara di dalam dunia nyata kita, perbedaan justru melahirkan konflik yang terkadang membahayakan inidvidu. Apresiasi terhadap perbedaan di dalam dunia nyata tidaklah sebaik di dunia maya. Inilah hal-hal yang belum selesai dan masih berkembang berkaitan dengan perkembangan media baru dan implikasinya bagi interaksi sosial. Kita perlu memperbaiki kondisi kehidupan, tidak hanya di dunia maya, namun di dunia nyata kita, yang selama ini cenderung kita terima apa adanya.

#######


Referensi

Bolter, Jay David & Richard Grusin (2000). Remediation: Understanding New Media. Massachusetts: The MIT Press.

Christakis, Nicholas A. & James H. Flower (2010). Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Flew, Terry (2005). New Media: An Introduction. Second Edition. Oxford: Oxford University Press.

Harrigan, Pat & Noah Wardrip-Fruin (ed) (2007). Second Person: Role-Playing and Story in Games and Playable Media. Massachusetts: The MIT Press.

Jenkins, Henry (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.

Thurlow, Crispin, Laura Lengel & Alice Tomic (2004). Computer Mediated Communication: Social Interaction and the Internet. London: Sage.

Wolf, Mark J.P. & Bernard Perron (ed) (2003). The Video Game Theory Reader. London: Routledge.

* Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam acara diskusi “Jamasan” dengan topik “Srawung (bersosialisasi): Perkembangan Bentuk Sosialisasi dalam Social Media). Diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2010 pukul 19.00 – 22.00 oleh Dagadu Djokdja.
** Penulis, Wisnu Martha Adiputra, adalah dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan penggiat demokrasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Memiliki ketertarikan atas motif kepublikan pada media baru, media dan budaya populer, dan komunikasi politik.
*** Tentu saja tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip dengan prosedur pengutipan yang benar dan etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...