Selasa, 19 Oktober 2010

Media Baru, Aktivisme Sosial, dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian 2)

Media Baru dan Aktivisme Sosial

Ketika masa awal internet muncul, para pengguna internet seringkali digambarkan sebagai orang-orang yang “menolak” realitas sesungguhnya. Kini hal tersebut malah berbalik, walau perlu diteliti secara lebih mendalam, pengguna internet yang aktif biasanya juga aktif secara sosial. Mereka intens menggunakan internet, dan semua jenis media baru yang lain, sekaligus aktif di dalam komunitas sosial. Komunitas tersebut bisa berdasarkan kesamaan dan ketertarikan atas sesuatu, bisa juga karena mereka ingin melakukan tindakan sosial bersama.

Perkembangan semua jenis media baru menunjukkan gejala ini. Internet dengan fungsi jejaring sosial adalah hal yang paling mudah diamati. Interaksi antar individu semakin intens muncul di internet. Individu juga semakin terbuka dalam mengenalkan dirinya dibandingkan dengan perkembangan internet di Indonesia pada masa awal. Hal yang sama terjadi di media handphone, perbincangan berkelompok dan beragam fungsinya yang mengarahkan pada komunikasi semakin terlihat walau media handphone tetap mengutamakan komunikasi interpersonal. Terakhir, hal yang serupa terjadi di media game, game kini semakin mengutamakan kebersamaan dan gerakan fisik. Perkembangan di dalam game ini jelas merupakan antitesa dari pemahaman awal tentang game yang cenderung merupakan aktivitas personal dan non-fisikal, atau hanya berpikir.

Kemudian internet melalui fungsi blog dan jejaring sosial menjadi sarana yang sangat baik untuk beraktivitas bersama. Untuk kota Yogyakarta, komunitas yang menggunakan media baru, terutama internet cukup banyak, mulai komunitas atas dasar ketertarikan yang sama, misalnya sama-sama senang melukis dengan visi melepaskan kepentingan pasar semisal komunitas “daging tumbuh”, sampai dengan komunitas yang sejak awal memang bermotif sosial, seperti “coin a chance”, yang bertujuan membantu anak-anak kurang mampu dalam menempuh pendidikannya. Serta komunitas blog “Cah Andong” yang seringkali berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas sosial bersama.

Bila kita merujuk pada sifat media baru yang konvergen, terdapat tiga karakter media baru yaitu computing/information technology, content, dan communication networks (Flew, 2005: 3). Karakter tersebut menunjukkan bahwa media baru akan selalu melibatkan teknologi pengolah dan pendistribusi informasi sehingga komputer dan perangkatnya berperan penting dalam semua bentuk media baru. Kedua, media baru membawa isi pesan tertentu. Isi pesan di dalam media baru adalah isi pesan yang bisa komplet meliputi keseluruhan bentuk pesan media. Di dalam studi media, bentuk komunikasi dengan menggunakan media baru seringkali juga disebut dengan computer mediated communication (CMC). Komunikasi yang dimediasi komputer ini memiliki ciri sebagai berikut: terdapat teknologi yang bertujuan untuk berkomunikasi, bukan hanya mengolah informasi, melalui teknologi terjadi interaksi sosial yang membuat hubungan interpersonal dan kelompok menjadi lebih dinamis (Thurlow, Lengel & Tomic, 2004). Inilah efek fungsi “baru” bagi media baru setelah media lama yang “hanya” memperluas pada proses produksi/kreasi, distribusi, penyimpanan, dan tampilan atas informasi dan pesan.

Konsepsi mediasi oleh komputer bagi proses komunikasi sedikit dikritik oleh Bolter dan Grusin, bahwa media lama atau media massa memang memberikan fungsi mediasi, namun media baru memberikan fungsi yang lebih luas, yaitu remediasi (Bolter & Grusin, 2000). Bila mediasi memunculkan apa yang disebut sebagai realitas media, media baru memunculkan realitas virtual. Walau pada awalnya realitas virtual dianggap sebagai realitas semu, pada akhirnya kini sebagai akibat perkembangan teknologi, realitas virtual pun bisa membentuk realitas yang riil melalui jaringan komunikasi yang terkait erat. Interaksi antar individu pada game online misalnya, bukanlah relasi semua, melainkan nyata dengan identitas yang berbeda dari identitas nyata.

Karakter ketiga, jaringan komunikasi yang muncul sebagai akibat isi pesan yang interaktif dan teknologi informasi yang memungkinkannya bisa merangkai tiap pengakses. Bisa dikatakan karakter ketiga inilah yang terpenting yang tidak dimiliki jenis media konvensional. Karakter jaringan komunikasi yang tumbuh di sini sangat dekat dengan sebuah konsep yang baru, yaitu partisipasi yang semakin diharapkan dari media baru. Partisipasi tersebut tidak hanya berupa kesukarelaan namun bisa bermotif.
Hal inilah yang disebut oleh Henry Jenkins (2006, 197) sebagai budaya partisipasi. Bersifat sukarela atau bermotif tertentu, media baru membawa kita pada partisipasi yang lebih kentara. Kita mencari komunitas melalui media baru, kemudian bersama-sama dengan anggota komunitas berbuat sesuatu.

Lebih jauh lagi, partisipasi tersebut membawa sesuatu yang “menular”, terutama hal-hal positif. Media baru membentuk semua sisi kehidupan kita dan kita bisa menularkan kebahagiaan, dan hal-hal positif lainnya melalui media baru. Hal inilah yang ditangkap oleh Christakis dan Flower di dalam buku mereka yang berjudul Connected (2010). Banyak contoh bagaimana seseorang berkembang karena pengaruh positif yang didapatkan oleh media baru. Bahkan media baru berbentuk game pun memberikan karakter partisipasi yang luar biasa. Partisipasi di dalam game merupakan aktivitas utama dari pengaksesnya walaupun motif utamanya adalah mencari hiburan (lihat Wolf & Perron (ed), 2003: 15).

Budaya partisipasi yang paling kuat muncul di dalam media game. Game tidak hanya menjadikan produsen atau kreator semakin dekat dengan pengguna dan pengakses. Game juga meruntuhkan apa yang telah lama berkembang di dalam telaah media, yaitu pembedaan tegas antara pesan faktual dan fiksional. Di dalam game terjadi relasi erat antara fiksi yang terkomputerisasi dan dunia nyata yang dikenalkan terus menerus (lihat Harrigan & Wardrip-Fruin (ed), 2007). Walaupun pada akhirnya bentuk pesan fiksional adalah isi pesan utama di dalam game, aktivitas dan pembentukan identitas pemain adalah isu yang penting di dalam game. Di dalam game kita bisa membentuk identitas tertentu yang bebas berinteraksi dengan sesama pengaksesnya. Kita bisa bekerja sama dengan pihak lain dalam “menciptakan” pesan media. Pesan media game adalah pesan yang hidup dan berkembang terus-menerus. Uniknya, di luar media “permainan” ini, terutama di Indonesia, komunitas nyata juga seringkali terbentuk dan mengadakan aktivitas bertemu dengan rutin.

Lalu, apa sesungguhnya “persoalan” di dalam media baru? Paling tidak ada dua persoalan penting yang saya sebut sebagai “tegangan”. Bisa jadi memang tegangan tersebut memang persoalan, namun bisa jadi juga tegangan tersebut adalah potensi atau kesempatan baru yang diberikan oleh media baru. Kedua tegangan tersebut akan coba didedah pada bagian selanjutnya.

* Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam acara diskusi “Jamasan” dengan topik “Srawung (bersosialisasi): Perkembangan Bentuk Sosialisasi dalam Social Media). Diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2010 pukul 19.00 – 22.00 oleh Dagadu Djokdja.
** Penulis, Wisnu Martha Adiputra, adalah dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan penggiat demokrasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Memiliki ketertarikan atas motif kepublikan pada media baru, media dan budaya populer, dan komunikasi politik.
*** Tentu saja tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip dengan prosedur pengutipan yang benar dan etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...