Jumat, 08 Januari 2010

Komunikasi Pembangunan (Seri Belajar)


Komunikasi pembangunan sebagai sebuah mata kuliah adalah sesuatu yang berkesan bagi saya. Secara personal kajian ini mengingatkan saya betapa kuatnya negara Orde Baru sewaktu saya mempelajarinya untuk pertama kali dulu. Kata pembanguan itu sendiri adalah kata yang sangat menyatu dengan Orde Baru. Orde Baru adalah pembangunan, begitu pula sebaliknya. Bila ada individu yang dicap sebagai “anti pembangunan”, maka bisa dikatakan orang tersebut telah “habis”.

Cap “anti pembangunan” dilekatkan pada siapa saja yang menentang Orde Baru, ada aktivis gerakan masyarakat yang menentang penggunaan kekerasan oleh Orde Baru dalam melaksanakan program-program pembangunan. Ada juga tukang becak yang menolak becaknya diambil oleh “tibum”. Cap “anti pembangunan” mirip dengan cap komunis, yang juga digunakan oleh rejim Orde Baru untuk memandulkan dan memberangus lawan-lawannya.

Begitu juga yang terjadi pada konsep komunikasi pembangunan. Seolah-olah mata kuliah ini adalah “peninggalan” masa lalu sebagai akibat kata pembangunan yang disandangnya. Istilah komunikasi pembangunan dianggap sebagai bentuk komunikasi sistemik yang top-down, mengutamakan peran Negara, dan sekaligus mengabaikan masyarakat. Padahal tidaklah seperti itu. Konsep ini sebenarnya netral, stigma masa lalu yang menyebabkannya cenderung negatif.

Berbincang secara personal mengenai mata kuliah ini, saya selalu ingat pula dengan dua orang pengajar mata kuliah ini dulu. Kedua pengajar tersebut mengisi perkuliahan secara bergantian. Pengajar pertama adalah Amir Effendi Siregar. Bang Amir, panggilan akrabnya, adalah pengajar yang bagus. Kami mendapatkan ilmu yang berguna sekaligus kuliah yang hangat dan inspiratif. Profesinya sebagai praktisi dan jaringannya yang luas membuat kuliahnya memberikan banyak informasi baru. Sampai sekarang bang Amir menjadi teman diskusi yang hebat dan guru bagi saya.

Pengajar kedua yang juga memberi inspirasi, adalah Kuskridho Ambardi, atau akrab dipanggil mas Dodi. Mas Dodi adalah pengajar yang memberikan informasi detail. Hal yang saya ingat adalah istilah literasi yang dikenalkannya. Dia tidak mengartikan literasi sebagai melek media, yang menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan pada saat itu. Inspirasi itulah yang pada tahun-tahun selanjutnya membuat saya ingin mendalam literasi dan literasi media (media literacy). Saya belum memahami banyak tentang literasi media tetapi mas Dodi-lah yang pertama-kali mengenalkannya pada saya, walau ketika saya bercerita tentang hal ini, dia mengaku lupa.

Begitulah pengalaman personal saya. Selanjutnya telaah profesional, biar saya tidak dianggap hanya memaknai-maknai secara personal saja tetapi juga lebih rasional dari itu. Berikut ini saya akan menelaah komunikasi pembangunan dari satu sumber yang kini digunakan dalam perkuliahan komunikasi pembangunan. Buku itu adalah Handbook of International and Intercultural Communication. Second Edition. William B. Gudykunst dan Bella Mody (ed). 2002. London: Sage.

Ada sembilan artikel yang menjadi bahan pembelajaran bagi kelas, yaitu:
1. The Histories of Intercultural, International, and Development Communication oleh Everett M. Rogers dan William B. Hart
2. Development Communication: Introduction oleh Bella Mody
3. Theories of Development Communication oleh Srinivas R. Melkote
4. State, Development, and Communication oleh Silvio Waisbord
5. Development Communication Campaigns oleh Leslie R. Snyder
6. Communication Technology and Development: Instrumental, Institutional, Participatory, and Strategic Approaches oleh J. P. Singh
7. Participatory Approaches to Communication for Development oleh Robert Huesca
8. Development Communication as Marketing, Collective Resistance, and Spiritual Awakening: A Feminist Critique oleh H. Leslie Steeves
9. International Development Communication: Proposing a Research Agenda for a New Era oleh Karim Gwinn Wilkins

Selanjutnya adalah sedikit telaah atas tiap artikel:

Hal terpenting yang disampaikan oleh Rogers di dalam tulisannya tersebut adalah perbedaan sekaligus persamaan tiga konsep, yaitu: komunikasi pembangunan, komunikasi antar budaya, dan komunikasi internasional. Menurutnya, ada dua kata kunci dalam melihat tiga konsep tersebut. Pertama, ketiganya terbentuk secara kultural. Artinya, proses komunikasi yang terjadi sangat peka dengan konteks kultural. Kedua, prosesnya bersifat heterophilous communication, yaitu proses komunikasi yang terjadi “melampaui” individu walau secara umum komunikasi antar budaya lebih berfokus pada komunikasi antar personal, sementara komunikasi pembangunan dan komunikasi internasional berkembang lebih sebagaio proses komunikasi yang bersifat sistemik (1 - 2).

Rogers juga menjelaskan bahwa, seperti halnya bidang studi yang lain, kajian komunikasi pembangunan berada dalam siklus model evolusi keilmuan. Ia mengutip Thomas Kuhn untuk menjelaskan model evolusi keilmuan, yaitu model yang melihat suatu kajian dalam lima tahap, yaitu: preparadigmatic work, appearance of the paradigm, normal science, dan anomaly and exhaustion.

Hal lain yang penting adalah definisi Rogers atas konsep komunikasi pembangunan. Ia menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan adalah: the study of social change brought about by the application of communication research, theory, and technologies to bring about development (9). Pembangunan di sini didefinisikan sebagai partisipasi yang luas dari proses perubahan sosial dalam sebuah masyarakat.

Tulisan kedua oleh Mody adalah pengantar dari tujuh artikel selanjutnya. Esensinya, ia menjelaskan perkembangan kajian komunikasi pembangunan yang terjadi sampai dengan tahun 2002, tahun buku ini diterbitkan. Ia juga menunjukkan arti penting perkembangan teknologi komunikasi dan penggunaan metode “baru” dalam kajian komunikasi pembangunan.

Artikel ketiga oleh Melkote berbicara lebih jauh tentang perkembangan kajian komunikasi pembangunan. Melkote mendikotomikan komunikasi pembangunan dalam dua kerangka berpikir utama, yaitu kerangka pikir modernisasi dan kerangka pikir pemberdayaan. Ada sepuluh “pisau analisis” yang digunakannya untuk membedakan kedua kerangka pikir tersebut. Sepuluh konsep itu adalah: fenemena kepentingan/tujuan, kepercayaan (atas kerangka pikir), bias, konteks, level analisis, peran agen perubahan, model komuniksai, tipe riset, ragam contoh, dan hasil (outcome) yang diharapkan.
Ia juga memasukkan difusi inovasi, pemasaran sosial, dan hiburan-pendidikan sebagai model praksis yang berada dalam kerangka pikir modernisasi. Sementara kerangka pikir pemberdayaan meliputi model riset aksi partisipatoris dan strategi pemberdayaan (430).

Pada tulisan keempat, yang ditulis oleh Silvio Waisbord, dijelaskan peran negara dalam komunikasi pembangunan.Walau ia lebih menjelaskan peran negara secara umum dalam pembangunan, kita masih mendapatkan telaah komunikasi di sini. Pada dasarnya, menurutnya, terdapat tiga peran bila kita mendiskusikan peran negara dalam komunikasi pembangunan, yaitu: kedaulatan, penyusunan kebijakan, dan kewargaan (443-450). Peran negara dalam kewargaan adalah yang paling penting. Negara dilihat sebagai ruang di mana warga menjalankan fungsinya sebagai aktor komunikasi pembangunan. Hal ini sejalan pula dengan perkembangan media yang kini berangkat dari perspektif masyarakat sipil.

Pada artikel selanjutnya, Snyder membahas kampanye dalam komunikasi pembangunan. Ia menunjukkan sejarah beragam pendekatan dalam kampanye pembangunan, yaitu: riset formatif, pemasaran sosial, kampanye partisipatoris, peningkatan organisasional, advokasi, format kreatif untuk pesan kampanye, mutipronged approaches, serta teori persuasi dan desain pesan (460-468).

Selanjutnya Singh mendiskusikan peran teknologi komunikasi dalam pembangunan. Ia melihat bahwa penggunaan teknologi komunikasi dalam pembangunan selama lima puluh tahun terakhir (sampai dengan tahun 2002), berada dalam tiga fase, yaitu: periode akhir 1950-an sampai dengan 1970-an, awal 1970-an sampai dengan awal 1990-an, dan periode 1990-an sampai sekarang ini (481). Walau kita telah berada pada fase ketiga, periode atau fase kedua adalah masa waktu terpenting karena meletakkan pondasi yang kokoh bagi perkembangan selanjutnya.

Pada periode pertama media massa berperan penting dalam komunikasi pembangunan tetapi lebih berada dalam wilayah nasional. Sementara periode kedua, media massa masih tetap berperan dan ditambah dengan sistem satelit yang diterapkan. Sistem satelit menempatkan komunikasi pembangunan sangat dengan ranah komunikasi internasional. Akhirnya, periode ketiga di mana komputer dan internet telah berperan, dianggap sebagai saat di mana proses komunikasi pembangunan berada dalam wilayah antar invidu sekaligus sistemik sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi.

Pada tulisan selanjutnya, Huesca menjelaskan pendekatan partisipatif dalam komunikasi untuk pembangunan. Tulisan ini diawali dengan diskusi mengenai paradigma dominan yang dianggapnya menentukan “jenis” komunikasi pembangunan yang diterapkan di suatu negara. Ia juga mendiskusikan secara epistemologis partisipasi. Pertanyaannya merujuk pada dua kutub, yaitu apakah partisipasi berada dalam technical means atau utopian end (504).

Artikel kedelapan berbicara tentang kritik perspektif feminis terhadap komunikasi pembangunan. Penulisnya, Steeves, melihat bahwa komunikasi sebagai pemasaran cenderung membawa komunikasi pembangunan pada kajian yang lebih merujuk pada cara pandang liberal kapitalis. Sementara komunikasi sebagai “daya tahan kolektif” ada dalam perspektif kritis dari komunikasi pembangunan, walau cara pandang kedua ini dianggap luput memperhatikan kaum perempuan. Terakhir, komunikasi pembangunan sebaiknya dilihat dari aktivitas spiritual. Cara pandang terakhir ini menganggap komunikasi sebagai pembangkitan kembali (awakening) bukan hanya pemberdayaan (empowerment) di mana perempuan berperan penting di dalamnya (529).

Tulisan terakhir mendiskusikan komunikasi pembangunan internasional, terutama dalam merumuskan agenda riset ke depan, di mana terjadi banyak perubahan dari sisi keilmuan. Wilkins merumuskan perubahan tersebut dalam konteks globalisasi, privatisasi, teknologi (komunikasi) baru, gerakan sosial, dan keberlanjutan (538-546).

Nah, demikianlah sedikit telaah dari satu referensi komunikasi pembangunan. Selanjutnya silakan mempelajarinya sendiri-sendiri barulah kemudian kita diskusikan. Saya menunggu diskusi itu, melalui forum ini maupun forum di kelas nantinya.

Selamat menjadi pembelajar yang baik dan antuasias!

(gambar "dipinjam" dari farmradio.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...