Kamis, 07 Januari 2010

Puisi Lama 1


Saya suka sekali menulis puisi, terutama jaman dulu. Menurut saya, menulis puisi itu adalah menulis yang paling sulit bila dibandingkan dengan "memproduksi" tulisan yang lain semisal opini dan esai. Menulis puisi memerlukan upaya yang lebih keras dan haru membuka "sungai" atau keran kata-kata yang berbeda dari tulisan akademis misalnya. Sampai sekarang pun saya masih relatif tidak bisa memaksa diri untuk menulis puisi. Ilham menulis puisi biasanya hadir tiba-tiba dan dalam moment waktu yang sangat singkat.

Saya juga pernah berusaha "mengunci" hati saya untuk menulis puisi. Bertahun-tahun sejak 2002 saya berusaha untuk lebih memfokuskan diri pada penulisan akademis. Kenyataannya penguncian itu gagal total karena akhirnya saya tetap menulis puisi secara sporadis (juga tidak banyak), penulisan akademis pun juga tidaklah banyak.

Di tahun lalu, pada acara workshop Semiotika di Taman Budaya Surakarta, saya menyadari bahwa kita tidak boleh membatas-batasi diri untuk menulis. Menulis sajalah, jangan pernah mengkategorikan tulisan seperti apa yang dihasilkan. Sejak itu saya tidak pernah lagi membatasi diri dalam menulis apa pun. Mengalir saja dan tunggu tulisannya jadi seperti apa. Menulis puisi saya masih lumayan bisa melakukannya. Menulis yang saya belum bisa lagi melakukannya adalah menulis prosa fiksi. Semoga dekat-dekat ini bisa diwujudkan walau hanya sebuah cerita pendek.

Saya juga senang sekali karena kemarin, setelah mencari-cari cukup lama, saya menemukan kembali puisi-puisi saya pada kurun waktu 2001 - 2002. Masa di mana saya cukup rajin menulis puisi dan puisinya sendiri, menurut saya, telah bermetamorfosis menjadi bukan lagi puisi cinta. Untuk sekenang kedar-kedaran bagi saya sendiri dan mungkin juga bermanfaat bagi teman-teman, inilah puisi-puisi lama itu:

Perdana
Tuhan telah mati dan bersemayam pada tanda-tanpa
katanya menjejak wajahku
Matahari tidak pernah kembali dan menyediakan apa pun pada pagi hari
katanya tanpa kompromi
Aku kembali hanyalah seorang narsis
yang tidak mungkin memulai sesuatu dengan berani
Aku hanya selalu ingin berkompromi

Tujuan : Solo, Suatu Ketika

I. Berangkat
Melihat layar kaca dan mempertanyakan adakah kesederhanaan
ketika seorang tokoh disembah bagai tuhan dan boneka-boneka bodoh menari dan menyanyi. "Inilah kami, hidup dan mati kalian."
mengoceh pada matahari
dan hanya mempertemukan pantulan-pantulan diriku sendiri
Aku bergerak dalam diam

II. Etnis
Memperbincangkan etnis dengan santun
seperti memakan roti tanpa mengunyah sementara berpura-pura lupa dengan ribuan nyawa yang hilang
Aku juga berbicara dengan santun
sambil mengunyah-ngunyah konflik etnis

III. Solo Balapan, Sore Hari
Pulanglah, biarkan cinta hadir sore ini
Lengas dan lelah
tanpa kesia-siaan
Aku ingin menunggangi jejak-jejakku sendiri
Aku lelah sayang,
hanya berteman bahkan hanya dengan setengah dari bayanganmu

IV. Semua Jalan ke Yogya
Kuyakinkan bahwa aku hanya debu di dunia yang fana ini
Apakah yang menjadi tua hanyalah kesetiaan pada konsep
di kepala menghablur dengan canda, kematian, dan asap
Semua jalan ke Yogya tertutup dengan duri
yang pernah ditaburkan oleh peri-peri berseragam
dan yang kita tuai sendiri
Semua jalan ke Yogya tertutup dengan kehampaan
bila aku tak bersenyawa dengan Prambanan
katanya, dunia seperti akan hancur
tetapi bukan aku
sebab aku telah menjadi debu ketika menuju ke Yogya

V. Esok
adalah percintaan antara roda besi dan rel kereta
yang mula-mula mati kemudian bersendawa
antara gelap-gulita dan terang-benderangnya
asa yang dikekang
dan praksis yang terbukti

(bersambung ke bagian dua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...