Minggu, 03 Januari 2010

Dicari: Televisi Peduli Anak


Ada yang ingat atau tahu dengan nama Heri Setyawan? mungkin hanya sedikit dari kita yang tahu. Heri Setyawan, 12 tahun, adalah pelajar kelas I SMP. Namanya tidak seterkenal Prita Mulyasari dan Luna Maya, dua orang yang menjadi korban dan hampir menjadi "martir" dari UU ITE yang “katro” itu. Nama Heri juga tidak sepenting nama presiden kita yang cengeng, yang sedikit sedikit mengeluh dan mengadu pada rakyatnya. Semestinya pemimpinlah yang menjadi tempat mengadu rakyatnya. Bukan sebaliknya. Walau nama Heri Setyawan tidak begitu terkenal bila dibandingkan dengan Prita, Luna Maya, dan nama presiden kita, tetapi nama Heri bisa menjadi penting bila kita menjadikannya sebagai tonggak pembenahan televisi (swasta) kita. Peristiwa yang berkaitan dengan Hery Setyawan adalah salah satu peristiwa media pada bulan Desember lalu yang menarik untuk didedah.

Heri Setyawan adalah korban terkini dari tayangan televisi. Berdasarkan keterangan polisi, Heri tewas karena kecelakaan yang terjadi akibat menirukan aksi Limbad. Limbad adalah bintang acara The Master, acara kompetisi para pesulap profesional di salah satu stasiun televisi, RCTI. Pada berbagai aksinya, Limbad sering melakukan atraksi yang spektakuler dan membahayakan. Walau lebih banyak muncul pada malam hari di atas pukul 22.00 WIB, Limbad juga hadir sebagai bintang tamu pada program acara di waktu yang mudah diakses oleh anak-anak walau pada pukul 22.00 ke atas pun anak-anak masih mungkin menonton bila orang-tua yang seharusnya bertanggung-jawab tidak mengawasi.

Heri Setyawan adalah korban anak-anak kesekian sebagai akibat tayangan televisi yang tidak “sehat” bagi mereka. Belum lekang dalam ingatan kita, bagaimana acara Smackdown pada tahun 2004 dikecam habis-habisan oleh masyarakat karena menimbulkan korban jiwa dan luka-luka anak-anak yang tidak berdosa. Acara tersebut akhirnya dihentikan penayangannya setelah beberapa kali mengabaikan peringatan dari pihak berwenang.

Korban anak-anak ini adalah korban yang “riil”, artinya korban yang terluka ataupun meninggal dunia. Bagaimana dengan korban yang tidak riil? Misalnya anak-anak korban acara ngerjain beberapa tahun
yang lalu, anak yang depresi karena dikerjain membawa narkoba ke sekolah. Atau bagaimana anak-anak yang “dipaksa” menyanyikan lagu-lagu dewasa pada kontes menyanyi lagu anak-anak? Efek negatifnya mungkin tidak terlihat secara langsung tetapi berpengaruh secara psikis dan dalam waktu yang lebih panjang.

Biasanya, bila sudah timbul korban seperti ini, tidak ada pihak yang mau disalahkan atau bila tidak, berbagai pihak yang seharusnya bertanggung-jawab malah saling menyalahkan satu sama lain. Pihak RCTI misalnya, seperti diberitakan oleh Koran Tempo tanggal 17 Desember 2009, tidak ingin disalahkan karena telah mengklasifikasikan acara the Master sebagai tayangan untuk dewasa dan ditayangkan di atas pukul 22.00. seharusnya, pihak stasiun televisi juga mengawasi tayangannya dengan ketat dan jangan sampai tayangan yang tidak sesuai untuk anak-anak “merembes” ke mana-mana.

Pemerintah, seperti biasanya, tidak terdengar di dalam kasus meninggalnya Heri. Padahal untuk kasus yang lain, misalnya pelarangan buku, pemerintah terlampau cepat “bertindak” dan mengklasifikasikan buku yang dilarang sebagai hal yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Seharusnya pihak pemerintah membantu pihak berwenang lain, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), untuk mengawasi siaran televisi yang tidak sesuai untuk anak-anak dengan mensinergikan pengawasan tersebut pada pihak berwenang, semisal bidang pendidikan dan bidang budaya.

Pemerintah dan lembaga negara atau masyarakat sipil yang mewakili kepentingan publik juga mesti memperhatikan “tayangan” pesan media yang lain, tidak hanya televisi. Kasus munculnya korban dari Smackdown dulu sebenarnya juga dipengaruhi oleh game konsol Smackdown yang mudah didapatkan dan dimainkan di rumah atau pun di arena bermain. Demikian juga pesan media yang lain. Perhatian harus terus ada walau hampir tidak mungkin mengawasi keseluruhan pesan media mengingat perkembangan teknologi komunikasi yang demikian canggih dan cepat.

Negara juga bisa merevitalisasi lembaga penyiaran publik yang telah digagas sejak tahun 2002. Bila memang “mendisiplinkan” televisi swasta begitu sulitnya, model penyiaran alternatif bisa dikembangkan, yaitu penyiaran publik dan juga penyiaran komunitas. Negara, atau pemerintah dalam skup lebih kecil, bisa memfasilitasi produksi pesan audio visual seperti pada masa lalu di mana fasilitasi oleh negara menghasilkan program acara bagus seperti Aku Cinta Indonesia,Si Unyil, Losmen, Jendela Rumah Kita dan Rumah Masa Depan.

Pihak yang paling berkaitan dengan anak-anak adalah pihak yang paling penting. Siapa mereka? Mereka adalah orang dewasa yang ada di masyarakat. Tidak hanya orang tua, tetapi juga seluruh warga dewasa dalam sekelompok masyarakat. Di sekolah misalnya, kelompok manusia dewasa itu adalah guru. Guru bisa memberikan pemahaman tentang televisi yang sebenarnya pada peserta didik, sekaligus menggunakannya sebagai media pembelajaran. Di rumah, kelompok dewasa itu antara lain adalah orang-tua. Orang tua harus memperhatikan tayangan televisi untuk anaknya. Seperti halnya konsumsi makanan, “konsumsi” tayangan televisi pun seharusnya diatur dan diawasi oleh orang tua.

Komisi Penyiaran Indonesia juga wajib memberikan peringatan dan pengawasan terus-menerus agar stasiun televisi tidak terlalu lepas tangan terhadap tayangannya sendiri walau hal ini sulit. Ada banyak kejadian yang menunjukkan bagaimana stasiun televisi di Indonesia bisa seenaknya dan tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Bukti yang terakhir adalah pihak stasiun televisi yang belum sepenuhnya mau bersinergi dengan pihak lokal padahal sudah diamanatkan oleh UU no 32 tentang Penyiaran sejak tahun 2002 dan seharusnya sudah diterapkan pada tahun 2007.

Orang tua wajib menemani anak-anak yang belum mengerti ketika menonton selain juga membatasi durasi waktu menonton. Bila orang tua tidak dapat melakukannya karena berbagai hal, terutama karena bekerja, orang tua dapat menitipkan anaknya pada orang dewasa lain di rumah untuk menemani anak-anak menonton televisi.

Para orang tua dalam sebuah komunitas juga sebaiknya saling berbagi mengenai tayangan televisi. Hal ini mesti dilakukan karena tingkat literasi media untuk para orang tua pun berbeda-beda, ada orang tua yang paham tetapi juga ada yang tidak. Ada orang tua yang tidak peduli dengan dampak tayangan televisi dan orang tua yang peduli haruslah mengingatkannya.

Bila sudah demikian, berarti kita menempatkan tayangan televisi sebagai kepentingan bersama. Bila banyak kelompok masyarakat sudah sadar akan arti televisi yang sehat bagi anak-anak, mereka akan memiliki keinginan dan “kekuatan” untuk memberi masukan kepada pihak penyelenggara siaran televisi. Setahu saya, sudah banyak elemen masyarakat sipil yang bergerak di bidang literasi media secara umum dan juga secara khusus, gerakan penyadaran media peduli anak. Yogyakarta misalnya, memiliki sekitar sepuluh organisasi masyarakat sipil yang peduli pada peningkatan pemahaman terhadap media.

Kasus ini adalah tonggak kita sebagai bangsa untuk membenahi (lagi) tayangan televisi kita yang cenderung melupakan peran pentingnya bagi masyarakat. Jangan sampai ada Heri yang lain, anak-anak korban tayangan televisi yang tidak sesuai bagi mereka.

Sebab, bagaimana pun juga, televisi Indonesia mungkin memiliki potensi bagi kemajuan bangsa ini…

Sebab, anak-anak pasti adalah elemen terpenting bagi bangsa ini di masa mendatang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...