Selasa, 12 Januari 2010

Komunikasi Politik (Seri Belajar)


Sebulan ini ada tugas untuk saya, yaitu menyusun review literatur untuk riset yang akan saya lakukan. Cukup berat karena saya kembali diharuskan menenggelamkan diri ke dalam referensi dengan sangat intens. “ Pekerjaan” yang di tahun-tahun belakangan ini jarang saya lakukan. Bila menekuni konsep pun, saya belum lagi melakukannya dengan intens kecuali untuk keperluan bidang studi saya. Ada beberapa moment saya merasa tekun dalam membahas sebuah konsep tetapi saya tetap merasa belum maksimal. Bila diberi skala satu sampai sepuluh, saya harus mencapai angka minimal sembilan.

Belakangan ini angka saya itu paling banter baru mencapai delapan. Sementara itu, konsep yang saya review kali ini sedikit keluar dari wilayah ilmu komunikasi. Saya belajar ilmu politik dan mesti merumuskan komunikasi politik bukan dari ilmu komunikasi walau dalam ilmu sosial dan humaniora pembatasnya sudah melebur belakangan ini.

Ternyata tugas ini menjadi tugas yang lumayan berat. Review literatur sulit saya selesaikan dengan bagus karena godaan-godaan yang hadir. Ada tiga novel dan satu memoar Haruki Murakami yang baru saya koleksi, ada sekian album Indonesia baru, dan ada beberapa tugas menulis buku dan artikel. Tetapi seharusnya saya bisa menyelesaikan telaah literatur itu dengan baik. Saya tidak boleh tidak serius karena bagaimana pun juga ini adalah kewajiban saya dan biaya sekolah saya ini pun berasal dari dana masyarakat.

Untuk sedikit meredakan perasaan gundah saya, saya akan sedikit mendedah konsep komunikasi politik. Saya akan berusaha mendiskusikannya dengan menggunakan tipologi yang disampaikan oleh Eric Louw. Definisi komunikasi politik yang diklasifikasikan dalam tiga wilayah ini dikutip dari buku Louw yang berjudul “The Media and Political Process” yang diterbitkan pada tahun 2005.

Kita memahami dengan singkat bahwa komunikasi politik adalah “proses komunikasi yang berdampak politik”. Lalu ada di mana level proses komunikasi politik ketika berlangsung? Proses komunikasi yang berdampak politik memiliki pengertian bahwa komunikasi politik selalu berkaitan dengan kepentingan dan kekuasaan antara aktor-aktor politik, media dan masyarakat. Walau proses komunikasi politik bisa terjadi tanpa melibatkan media, di era seperti sekarang ini hampir tidak mungkin memisahkan media dalam realitas politik.

Salah satu pengamat kajian komunikasi politik yang layak diangkat adalah Eric Louw (bukan Eric Lo yang juga cendekia komunikasi tetapi lebih mendalami cultural studies. Saya pernah bermasalah karena pernah dianggap “salah” memilih calon promotor ke Eric Lo bukan Eric Louw). Louw melihat bahwa proses komunikasi yang berdampak politik ini ada di tiga dimensi yaitu policy, process management, dan hype. Ketiga dimensi tersebut dibedakan lagi berdasarkan tiga indikator, yaitu “pihak penggerak”, output, dan lokasi proses. Dimensi “kebijakan” lebih terlihat di wilayah politik “elit” di mana tujuan utamanya untuk menyampaikan pesan politik.

Pihak penggerak komunikasi politik dalam dimensi ini terutama adalah aktor-aktor politik “resmi”, antara lain eksekutif, menteri dan pejabat di bawahnya, staf pengambil kebijakan, dan seterusnya. Output proses komunikasi politik di wilayah ini disebut sebagai output yang “substantif”, misalnya hukum dan informasi politik untuk masyarakat. Sementara proses komunikasi politik dimensi kebijakan ini berlokasi antara lain di parlemen, birokrasi, dan pengadilan.

Dimensi kedua, “manajemen proses”, seperti halnya dimensi pertama, adalah juga politik “elit” yang bertujuan pada distribusi perencanaan dan kinerja (politik). Penggerak proses komunikasi politik dalam dimensi ini adalah para negosiator, perencana komunikasi di dalam partai politik, intelektual yang “bekerja” pada aktor tertentu, dan seterusnya.

Sementara outputnya adalah “ideologi” dan kepercayaan politik tertentu, identitas “politik”, strategi untuk kebijakan dan hype, serta merelasikan keduanya. Komunikasi politik di dalam dimensi ini cenderung sulit dilacak di Indonesia karena biasanya berlokasi di “balik layar” dari politik elit, termasuk “kerjasama” elit dengan media.

Dimensi terakhir adalah hype. Sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena ada banyak makna di dalam dimensi ini. Dimensi ini lebih memudahkan kita mengamati dan melacak proses komunikasi politik karena terjadi di wilayah politik “massa” yang bertujuan membuat imaji untuk “dikonsumsi” oleh masyarakat, terutama pemilih.

Pihak penggerak di dalam dimensi ini adalah jurnalis, industri budaya, peneliti polling, dan pengamat (politik), serta komentator politik di media. Bisa dikatakan pihak penggerak ini relatif mudah diamati walaupun tetap ada pula yang “tersembunyi”. Output dari komunikasi politik jenis ini adalah politisi sebagai selebriti, identitas untuk disampaikan pada masyarakat, propaganda ideologi dan kepercayaan politik, artikulasi kepentingan, legitimasi, dan pengalih-perhatian (bila diperlukan). Lokasi dari proses komunikasi politik ini berada di dalam industri budaya dan media “massa” yang memang ditujukan pada masyarakat luas untuk mencari dukungan, baik itu imaji positif maupun tindakan secara riil, memilih, dalam pemilihan.

Demikianlah salah satu telaah tentang konsep komunikasi politik dari satu sumber. Tentu saja masih banyak sumber lain yang bisa dipelajari untuk memahami fenomena komunikasi politik, terutama komunikasi politik di Indonesia, yang kini menjadi kajian menarik dan menjadi perhatian banyak orang. Bukankah cara terbaik untuk “terjun” meneliti atau pun bekerja di dalamnya, adalah terlebih dahulu melihat dan mengamati fenomena dengan sebaik-baiknya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...