Di akhir tahun ini kita dikejutkan dengan meninggalnya salah satu mantan presiden dan seorang tokoh besar bangsa ini pasca Kemerdekaan. Terus terang, perasaan kehilangan itu tidak sangat mendalam ketika pertama kali mengetahui kabar meninggalnya beliau dari berbagai status teman-teman di Facebook, tetapi setelah saya rasakan dan pikir-pikir, perasaan kehilangan itu mulai membesar, menurut saya hampir tidak ada tokoh seperti Gus Dur. Status seorang teman yang berpuisi, kira-kira begini bunyinya:...siapa lagi yang menjadi penyaksi? adalah gambaran yang paling tepat bagaimana Gus Dur menjadi "penyampai" atau penyaksi dari pihak-pihak yang ditindas dan dilemahkan.
Saya bukan pengagum berat Gus Dur. Saya kagum dengan banyak tokoh besar negeri hebat ini. Saya hanya orang yang melihat bahwa posisi Gus Dur itu unik. Di satu sisi, dia itu "wakil" dari salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, yang sebenarnya berpotensi mendominasi dan menghegemoni, namun di sisi yang lain, Gus Dur memilih secara konsisten membela pihak yang dimarjinalkan oleh kekuasaan.
Sudah banyak kisah dirinya berdiri paling depan membela "hak hidup" kelompok lain. Bagi saya, Gus Dur lebih baik dibandingkan dengan tokoh yang berbicara tentang demokrasi dan pluralisme tetapi secara sadar ataupun tidak, tidak mengakui "hak hidup" kelompok lain dan selalu berusaha mendominasi dan menghegemoni kelompok-kelompok lain tersebut.
Tak heran Gus Dur disebut sebagai bapak pluralisme. "Gelar" yang berupa pujian yang semakin mengemuka untuk disematkan setelah beliau meninggal dunia kemarin. Mengenang Gus Dur saya jadi terkenang juga dengan riset yang saya lakukan sekitar tahun 1999-2000 tentang relasi kelompok Tionghoa dengan "pribumi" di Solo dan Pontianak. Salah satu narasumber bercerita bagaimana Gus Dur selalu mendukung pengakuan eksistensi kelompok Tionghoa yang beragama Konghucu walau pemerintah Orde Baru tidak mengakui etnis Tionghoa. Sikap itu terus ditunjukkannya sampai ia menjadi presiden RI.
Pelajarannya adalah sikap yang tidak berubah ketika "berkuasa" sedikit dan berkuasa besar sebagai presiden. Sikapnya yang mendukung etnis Tionghoa tidak berubah ketika ia menjadi presiden. Hal ini berbeda dengan politisi jaman sekarang, yang berusaha mencari simpati masyarakat ketika mencari kekuasaan dan langsung melupakannya justru ketika telah mendapatkan kekuasaan tersebut.
Membicarakan Gus Dur juga berarti kita membicarakan sepakbola. Tahun depan kita tidak lagi mendapatkan komentar bernas dan nyeleneh Gus Dur tentang Piala Dunia. Walau komentar-komentarnya tentang sepakbola sudah tidak sederas dulu, masyarakat Indonesia mengenangnya sebagai pengamat sepakbola yang bagus. Gus Dur merupakan kolumnis sepakbola di tabloid olahraga terkemuka, Bola, pada masa lalu.
Kesukaan Gus Dur atas sepakbola merupakan cerminan dari kesukaan mayoritas lelaki negeri ini yang menyukai pula sepakbola. Bagaimana pun juga hal tersebut merupakan cara yang tepat untuk dekat dengan kebanyakan manusia negeri ini. Kombinasi sebagai penggemar sepakbola yang populis dan pergaulannya yang luas mungkin sekali menjadikan Gus Dur mudah merasakan "kegelisahan" masyarakat.
Saya kira kita memang membutuhkan tokoh lagi (nantinya) yang benar-benar memiliki visi keberagaman sebagai tindakan riil dan juga sebagai penggemar sepakbola, untuk mempermudah dirinya menangkap hal-hal "populis".
Satu lagi yang saya ingat dari Gus Dur adalah ketika beliau mundur sebagai presiden di tengah masa jabatannya, Gus Dur melambaikan tangan dari pintu istana dengan menggunakan piyama bercelana pendek. Dari telaah komunikasi politik apa pun, tindakan itu tidak mungkin dianggap sebagai langkah yang tepat. Dulu saya membayangkannya sebagai hal yang aneh, yang juga dilakukan oleh orang "unik", tetapi kini saya berpikir bahwa bisa saja Gus Dur menganggap posisi presiden ini hal yang biasa saja. Eksistensi Gus Dur memang seringkali bertentangan dengan pola pikir banyak orang. Saya juga kemudian berpikir, dulu Gus Dur "diturunkan" dari posisi sebagai presiden karena masalah yang belum jelas dan penuh rekayasa. Setahu saya, tidak pernah ada "rehabilitasi" nama Gus Dur karena tuduhan itu tidak pernah terbukti.
Suara kembang api dan petasan berbunyi lumayan keras sebagai tanda bergantinya tahun. Bagi saya, pergantian tahun tidak spesial-spesial amat, hanya suasananya memang lebih ramai. Hal yang spesial bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang Indonesia, adalah "memiliki" Gus Dur. Gus Dur, selamat jalan dan terima kasih atas visi plural dan populis yang telah kau tunjukkan secara konsisten selama kau hidup...
Sayang, kematian tidak senang bercanda seperti dirimu...
Sayang, cita-cita besarmu tidak seperti kapur barus yang menghablur dan cepat tersebar karena kami sepertinya kembali ke arah otoritarianisme...
Kami akan berusaha optimis...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar