Setelah kasus Prita Mulyasari versus RS OMNI Internasional yang menghebohkan beberapa waktu yang lalu, hari-hari belakangan ini kita disambangi beberapa kasus yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik”. Ada tiga kasus yang bisa kita lihat. Pertama, kasus Khoe Seng Seng. Ia bersama teman-temannya adalah orang yang menulis keluhan atas pembelian kios di surat pembaca beberapa media cetak. Pembelian yang menurutnya tidak transaparan.
Surat pembaca tersebut kemudian membuat pihak pengembang, PT Duta Pertiwi, tersinggung dan memperkarakan Khoe secara perdata dan pidana. Hal yang luar biasa adalah hakim kemudian memenangkan gugatan PT Duta Pertiwi sebesar Rp 1 miliar terhadap Khoe. Walau tiga hari lalu Pengadilan Tinggi membatalkan vonis terhadap Khoe, kita tetap menyangsikan peristiwa serupa tidak terulang lagi.
Kasus kedua adalah kasus yang menimpa seorang narablog (blogger) bernama Hariadhi. Dia diadukan oleh Teh Botol Sosro karena dianggap menyebarkan informasi bohong di blog-nya. Hariadhi menyebarkan informasi bahwa produk teh botol Sosro mengandung bahan kimia berbahaya.
Belakangan kasus tersebut tidak berlanjut di pengadilan. Pihak Teh Botol Sosro hanya meminta Hariadhi untuk menulis permintaan maaf di blog-nya atas berita bohong yang ditulisnya.
Kasus terakhir adalah kasus Felly versus Ujang di Bogor. Kasus ini terjadi gara-gara status Ujang di Facebook. Felly Fandini Juliastini melaporkan Ujang Romansyah ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Pertanyaannya, untuk ketiga kasus tersebut, bagaimana kita menjelaskan kasus pencemaran nama baik dari kajian media? Menurut saya, istilah pencemaran nama baik adalah istilah yang ketinggalan jaman. Pasal-pasal di aturan hukum yang berkaitan dengan pencemaran nama baik adalah warisan jaman kolonial. Pada jaman itu, pasal pencemaran nama baik tentu saja digunakan oleh pihak penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Istilah pencemaran nama baik juga sumir. Biasanya ia dikaitkan dengan citra pihak-pihak berkuasa; secara ekonomi (perusahaan besar) dan politik (negara, pemerintah). Permasalahannya, bagaimana kita mengukur citra? Siapa yang bisa memastikan sebuah perusahaan memiliki citra yang baik misalnya? Kok ge-er banget sih, merasa dicemarkan segala…hehe..
Biasanya, yang menjadi korban dari pencemaran nama baik adalah individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Biasanya yang mempersoalkannya adalah pihak yang berkuasa tadi dan mungkin bekerja sama dengan penegak hukum. Kasus Prita menunjukkan pada kita, bagaimana pemilik kuasa ekonomi berkolaborasi dengan penegak hukum dalam menekan warga yang dikira tidak berdaya. Walau tidak diakui, mutasi jaksa dan tim yang menangani kasus Prita menunjukkan hal tersebut.
Anggota masyarakat seperti Khoe Seng Seng bisa lebih kuat bila dikaitkan dengan entitas yang lebih besar. Hal inilah yang terjadi. Kemenangan Khoe karena pengaitan surat pembacanya dengan pers (media cetak yang memuatnya). Surat pembaca bukanlah produk individu belaka, melainkan juga representasi media yang memuatnya. Dengan “dihadapkan” pada institusi pers seperti itu, kemungkinan pihak yang memperkarakan akan berpikir dua kali karena dihadapkan dengan “mesin” pembentuk opini publik terkuat; pers.
Hal itulah yang mungkin dipikirkan oleh pihak Teh Botol Sosro sehingga tidak memperkarakan Hariadhi lebih jauh. Hariadhi tidak dianggap hanya sebagai individu yang “mengganggu” citra, melainkan juga wakil dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil yang mampu menggerakkan media baru untuk membentuk opini publik melalii blog, jejaring pertemanan, dan milis. Terlepas dari benar dan salah, Teh Botol Sosro menyadari hal tersebut. Akhirnya mereka lebih memilih penyelesaian secara “kekeluargaan” daripada berperkara di pengadilan.
Kasus ketiga memiliki perbedaan dengan dua kasus sebelumnya. Kasus ketiga ini lebih berkaitan dengan konflik antar anggota masyarakat. Satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain di wilayah yang sebenarnya jelas. Walaupun melalui dunia virtual, pada dasarnya situs pertemanan merupakan perluasan dari dunia empiris.
Hal ini adalah dilema dari karakter web 2.0 yang transparan dan menggabungkan realitas empiris dan realitas virtual. Identitas yang digunakan juga relatif sama dengan realitas sosial sesungguhnya.
Dengan demikian, hukum perdata dan pidana yang mengatur hubungan antar manusia bisa berlaku di sini. Jadi bila ada urusan hukum antar warga seperti ini, pihak penegak hukum seharusnya tidak menggunakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lebih mengatur pada level “sistemik”.
Begitu pun untuk kasus pencemaran nama baik di pers. UU Pers haruslah digunakan. Bukan KUHP (pidana). Memang ada dualitas di pers, individu sebagai wakil profesi dan individu sebagai wakil institusi. Asas personafikasi seharusnya berlaku di aturan hukum tentang media.
Walau demikian, saya tidak menyetujui pasal pencemaran nama baik karena itu tadi, sesuatu yang tidak jelas ukurannya. Biasanya pasal pencemaran nama baik malah digunakan pihak berkuasa untuk menerapkan kekuasaannya secara berlebihan. Ini adalah karakter dari otoritarianisme.
Kalau saya sih, daripada meributkan pencemaran nama baik, mendingan kita berupaya memperdalam masalahnya dulu. Diselesaikan dengan prosedur yang sudah ditetapkan dalam aturan hukum. Jika bisa, ya diselesaikan dulu melalui pertemuan.
Mengambil metafor air untuk menggantikan nama. Bila nama bisa tercemar menjadi buruk, tentunya nama tadi juga bisa dijernihkan. Bukannya begitu? Saya mengusulkan ada pasal atau apa pun namanya yang menjadi oposisi biner dari “pencemaran nama baik”, yaitu “penjernihan nama buruk”. Bila pihak-pihak yang berkuasa; baik secara ekonomi, politik, maupun sosiokultural, bisa menggunakan istilah pencemaran nama baik, kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil bisa menggunakan pasal penjernihan nama buruk.
Kita bisa mempertanyakan pihak-pihak berkuasa tadi, yang sebenarnya beberapa memiliki nama buruk tetapi berusaha dibagus-bagus-kan melalui berbagai cara. Citra yang sebenarnya telah buruk berusaha “dipoles”. Media juga berperan sebenarnya dalam hal ini.
Dengan gamblang hal ini bisa kita lihat, seseorang misalnya, sudah jelas bersalah secara faktual tetapi karena kemampuan dananya yang besar ia dapat “menjernihkan” namanya melalui media. Baik karena dia mempunyai media ataupun karena “dekat” dengan para pemilik media.
Dengan demikian kita bisa menuntut yang bersangkutan dengan menggunakan pasal “penjernihan nama buruk”. Menurut saya hal ini lebih mendesak untuk dilakukan karena pihak-pihak yang berusaha menjernihkan nama buruknya ada di mana-mana….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar