Kamis, 06 Agustus 2009

Mencari Sinergi Interaksi Anak dan Televisi


Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2009 kemarin, sebuah lembaga masyarakat sipil membuat program Hari Anak Tanpa Televisi. Kampanye yang diselenggarakan di banyak kota tersebut cukup menarik perhatian kita. Kampanye tersebut adalah sesuatu yang positif dan wajib kita dukung untuk sedikit “memperlambat” efek negatif televisi. Tetapi kampanye tersebut beberapa tahun yang lalu sempat disalahmaknai sebagai upaya menghalangi hak anak untuk menonton televisi. Intinya, berkaitan dengan televisi dan anak-anak, kita seringkali ambigu dalam bersikap. Kadangkala kita menyalahkan televisi. Di waktu yang lain kita memuji televisi bahwa televisi berkontribusi bagi pemenuhan hak anak.

Ingatan kita juga tidak akan lekang atas tayangan program Smackdown yang beberapa tahun lalu memberi efek negatif yang luar biasa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa anak-anak. Waktu itu barulah hampir semua elemen masyarakat bergerak dengan menuntut penghentian tayangan Samckdown. Tuntutan tersebut akhirnya berhasil dan juga memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk tidak terlambat dalam bertindak.

Walau demikian, kita juga tahu bagaimana anak-anak kita belajar banyak hal melalui televisi, antara lain mengenal ke-Indonesia-an dan alam lewat acara Si Bolang, pengetahuan umum melalui Laptop Si Unyil, dan nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dari sinetron “Keluarga Cemara”. Tayangan untuk anak-anak yang baik dan buruk selalu ada di sekitar kita walau tayangan yang negatif secara faktual masih lebih banyak.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa interaksi anak dan televisi memang problematik. Kita seringkali menyalahkan atas banyak tayangan negatif di televisi tetapi juga mengajak anak kita menonton karena televisi merupakan sumber informasi yang luar biasa untuk anak-anak kita.
Lalu, bagaimana kita menyikapi interaksi anak-anak dengan televisi?

Televisi, seperti kita ketahui bersama, adalah salah satu agen dalam sosialisasi nilai bagi kita. Melalui agen sosialisasi nilai inilah anak-anak belajar untuk hidup dalam masyarakat. Televisi kemungkinan besar menjadi salah satu agen penyampai nilai terpenting karena karakternya yang menarik; audio-visual dan memberikan banyak hiburan. Televisi adalah salah satu elemen terpenting bagi umat manusia sejak abad ke-20. Televisi sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Walau demikian, kita mesti mengingat bahwa televisi, dan juga media, adalah hanya salah satu agen dalam sosialisasi nilai pada anak. Masih ada agen yang lain, yaitu keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan masyarakat. Sayangnya, agen-agen tersebut seringkali dianggap bertentangan satu sama lain. Televisi dan peer group biasanya bertentangan dengan keluarga dan sekolah.

Keluarga dan televisi misalnya, seringkali dipertentangkan. Tayangan televisi dianggap “menjauhkan” kebersamaan anggota keluarga. Televisi juga dianggap sebagai pengganti orang tua dalam mendidik anak. Interaksi sekolah dan televisi juga demikian adanya. Televisi dianggap menjauhkan anak-anak dari tugas pembelajaran sekolah. Sementara masyarakat juga menyalahkan televisi karena memberikan nilai-nilai negatif, misalnya saja televisi dianggap membawa nilai-nilai kekerasan dan hedonis.

Menurut penulis, sebaiknya mulai sekarang kita berusaha mensinergikan para agen sosialisasi agar anak-anak dapat mengambil manfaat sebaik-baiknya dari televisi. Keluarga dan televisi misalnya, bisa saling melengkapi dengan aktivitas menonton bersama anak-anak dan orang tua untuk tayangan yang baik. Orang-tua wajib menemani anak-anaknya untuk menonton televisi. Orang-tua tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan isi tayangan yang tidak dimengerti anak tetapi kebersamaan itu sendiri akan menjadi sesuatu yang bermakna bagi keluarga.

Orang-tua berdalih bahwa keharusan bekerja membuat mereka tidak bisa mengawasi anak-anaknya menonton televisi sepanjang waktu, terutama pada jam kerja. Orang-tua mesti juga mengingat, anak-anak pasti ditemani oleh orang dewasa ketika di rumah. Melalui orang dewasa tersebut orang-tua bisa mengatur aktivitas menonton televisi bagi anak. Melalui analogi makan, orang-tua bisa mengatur diet anak dalam “memakan” tayangan televisi. “Makanan” yang tidak sesuai untuk anak tidak boleh ditonton. Sementara tayangan televisi yang cocok bagi anak juga tidak boleh berlebihan “dimakan”.

Sinergi televisi dan sekolah bisa dilakukan dengan menggunakan tayangan televisi sebagai sarana belajar anak-anak. Sejak pertengahan dekade 1980-an pemerintah Kanada telah menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mensinergikan sekolah dengan industri televisi. Pengalaman Kanada tersebut bisa menjadi pelajaran bagi kita. Pada dasarnya, tayangan televisi, terutama berita, selalu berkaitan dengan kondisi kekinian. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh guru bidang studi tertentu untuk menjadikan program televisi sebagai contoh-contoh aktual. Sementara prinsip-prinsip pengetahuan telah diberikan sebelumnya melalui proses pembelajaran di kelas.

Terakhir, masyarakat dan televisi bisa pula bersinergi. Masyarakat sebaiknya tidak hanya menyalahkan televisi tetapi juga memberikan solusi mengatasi kelemahan tersebut. Seperti kita ketahui, anak-anak tidak hanya belajar dari televisi tetapi dari pengamatan dan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Rasanya tidak adil kita menyalahkan televisi atas kekerasan sementara ketika mereka keluar rumah, kekerasan tersebut terlihat di depan mata.

Masyarakat sebaiknya terus mengawasi tayangan televisi dan mengetahui cara yang baik dan benar untuk melakukan protes apabila tayangan televisi tidak sesuai. Masyarakat juga diharapkan kontinyu memahami literasi media sebagai prasyarat bagi masyarakat yang beradab.

Cara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah menguatkan kapasitas televisi publik yang telah kita miliki yaitu TVRI. Setelah lepas dari “pemilik”-nya, negara Orde Baru, TVRI belum didukung sepenuhnya untuk menjadi televisi publik yang sesungguhnya. Kita mungkin tidak bisa berharap terlalu banyak atas televisi komersial yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit.
Elemen masyarakat sipil, dan negara, juga wajib menumbuhkan kondisi lingkungan sosial yang ramah terhadap anak-anak. Seperti kita ketahui, tempat bermain publik yang bisa diakses oleh anak-anak sekarang ini jauh berkurang. Wajar bila anak-anak akhirnya memilih untuk menonton televisi karena ketiadaan tempat bermain.

Pada prinsipnya, untuk anak-anak kita, menonton televisi harus disikapi dengan benar. Dengan sinergi antara orang-tua (keluarga), guru (sekolah), dan elemen-elemen dalam masyarakat, kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak kita.

(Tulisan ini dalam versi sedikit lebih singkat dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus 2009. Ditampilkan di sini dengan niat untuk membuka diskusi)
(gambar diambil dari pinehillschool.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...