Rabu, 05 Agustus 2009

Jacko Meninggalkan Ruang Kosong

Sebagian dari kita mungkin jenuh dengan pemberitaan media seputar kematian Michael Jackson a.k.a. Jacko. Menurut saya sih, berita kematian Jacko masih lebih baik daripada berita kampanye para calon presiden kita yang semakin dekat dengan hari H (hari pencontrengan) malah semakin saling menjelekkan satu sama lain. Hehe…becanda lho…maaf bagi para fans calon presiden itu.

Saya kira ada alasannya mengapa liputan media begitu intens terhadap Michael Jackson. Bahkan ada anggapan, kesedihan warga dunia atas kematian Jacko melebihi kesedihan atas kematian Lady Di. Tidak hanya liputan media yang besar. Album Jacko, dalam bentuk kaset ataupun CD juga laku keras. Pun di Internet. Informasi mengenai Jacko sangat dicari dan membuat situs google dan twittter kelebihan beban. Bahkan di file sharing, lagu-lagu dan vidoklip Jacko banyak di download dan menempati sepuluh peringkat tertinggi. Ada seorang penggemar di situs file sharing yang berinisiatif mengompilasi lagu-lagu Jacko yang terlupakan, yang juga banyak dicari penggemarnya.

Kenapa semua fenomena tersebut tejadi? Alasannya adalah Jacko digemari banyak orang. Sesederhana itu. Kematiannya jelas meninggalkan kekosongan yang entah kapan baru tertambal lagi.
Jacko, lewat lagu-lagunya, berusaha merobohkan dinding agama, ras, bangsa, dan etnis. Fakta itu terlihat dari lagu-lagunya, antara lain “Heal the World” dan “Black or White”. Selama berpuluh tahun berkarier, Jacko konsisten dengan nilai-nilai universalisme yang dianutnya. Selain itu, lagu-lagunya memang enak dicerna. Kedua faktor itulah yang membuat Jacko banyak disukai.

Ketika dia meninggal, pasti banyak orang kehilangan. Coba lihat dari pemberitaan manca negara. Dari Cina sampai Russia, dari Arab sampai Filipina. Semuanya menangis karena perginya Jacko; dari ragam ras dan etnis, juga tua dan muda. Ia adalah pemusik lintas usia, etnis, ras dan agama. Ia adalah penghibur sejati yang rela “meninggalkan” kehidupan pribadinya. Tapi dari sisi sebaliknya, dirinya tergerus oleh mesin industri budaya populer yang tidak manusiawi.

Saya sendiri mulai mengenal Jacko pada usia balita sejak ayah saya sering memutar lagu “I’ll be There”. Waktu itu Jacko masih tergabung bersama para saudaranya dan juga lagu “Ben”. Lagu Ben berkisah tentang persahabatan absurd dirinya dengan seekor tikus bernama Ben. Banyak pengamat menilai, pada lagu Ben inilah, Jacko sudah merasa teralienasi dan dieksploitir oleh ayahnya. Ben bercerita pula tentang kebersamaan. Mirip dengan Lagu “You are not Alone” beberapa dekade setelahnya.
Pada masa kecil itu pula saya mengenal lagu Jacko yang paling saya suka sepanjang masa “One Day In Your Life”. Dulu saya belum mengerti artinya. Saya tahu lagu ini bagus karena lagu ini cocok dinyanyikan pada pagi atau sore hari yang tenang. Tentu saja dengan membayangkan sesuatu yang indah-indah, atau sesuatu yang romantis. Setelah mengerti makna liriknya, saya jadi mengerti bahwa lagu tersebut bercerita tentang cinta pada masa lalu. Tema cinta masa lalu memang cocok menjadi obyek romantisisme asalkan konstruktif bagi relasi.

Setelah agak besar. Kira-kira kelas tiga sekolah dasar. Saya mengenal lagu-lagu Jacko yang lain meski dia tidak menyanyikannya sendirian, yaitu: “Say Say Say” yang dinyanyikan bersama Paul McCartney dan tentu saja “We are the World”. Lagu “We are the World” adalah lagu yang diciptakannya bersama Lionel Richie. Lagu itu diingat karena diciptakan untuk membantu korban kelaparan di Afrika. Para penyanyinya pun dinamakan USA for Africa. Kumpulan penyanti Amerika Serikat. Lagu ini menjadi titik tonggak penting bagi sejarah musik populer bahwa sebuah lagu dapat memiliki peran yang besar secara sosial dan politik.

Setelah era “We are the World”, saya tidak begitu dalam mencermati lagu-lagu Jacko. Hal yang saya ingat adalah dua albumnya, Thriller dan Bad, adalah album yang bagus. Dari sisi proses kreatif, terlihat sekali bagaimana Jacko meenciptakan karyanya dengan sangat serius dan semaksimal mungkin. Album Thriller menjadi salah satu album terbaik sepanjang masa versi majalah musik Rollingstone.

Kemudian, pada tahun 1991 datanglah album Jacko yang paling saya ingat, Dangerous. Semua lagu di album ini saya hafal di luar kepala. Selain karena lagu-lagunya memang bagus, suasana masa SMA pada waktu itu rasanya memang cocok. Mendengarkan album ini saya ingat kembali masa luar biasa ketika SMA; sekolah yang hebat, teman-teman yang pintar, dan saya yang “teralienasi”…haha…dalam pengertian positif lho…

Visi universalisme terutama terlihat dari lagu “Black or White” dan “Heal the World” (yang tiba-tiba sering diputar di televisi kita). Bagaimana Jacko menyarankan agar kita tidak mempersoalkan perbedaan warna kulit dan bagaimana upaya pribadinya untuk “menyembuhkan” dunia.

Videoklip “Black or White” secara teknis dan isi, juga sangat bagus. Saya ingat persis pada bagian akhirnya ada efek wajah manusia yang berubah-ubah dari gender, umur, dan ras. Sebagian besar setting lokasi di videoklip album ini juga berpindah di tempat-tempat di seluruh dunia yang mewakili kultur yang berbeda.

Album terakhir Jacko saya punya, tetapi saya setuju dengan para pengamat, bahwa album itu jelek. Saya pikir Jacko mungkin sudah habis daya kreatifnya. Tetapi sebelum album terakhir itu ada beberapa single Jacko yang menunjukkan kekuatan universalisme-nya, yaitu “You are Not Alone” dan “Earth Song”. Jacko terus berusaha memberitahu kita bahwa kita tidak pernah sendiri, bahkan di dunia yang berantakan seperti ini. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaikinya.

(tadinya saya ingin memberi judul tulisan ini "Menulis tentang Jacko di J.Co". jika judul tersebut yg dipakai, saya dapat judul yang bagus dan unik..hehe...sayang beberapa hari ini gak bisa ke J.Co, salah satu tempat menulis favorit saya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...