Rabu, 05 Agustus 2009

Bapak, Selamat Jalan…

Enam hari yang lalu, Rabu pagi hari sekitar pukul 02.00, istri saya dikabari kalau bapak mertua kesakitan tanpa henti sejak malam harinya. Ia segera bergegas ke rumah mertua saya yang kebetulan berjarak tidak jauh dari rumah kami. Entah mengapa pada saat itu, ada perasaan “khawatir” yang mendalam. Perasaan yang tidak muncul sebelumnya ketika bapak di bawa ke rumah sakit. Sebelum opname di rumah sakit pada malam itu, bapak telah keluar masuk rumah sakit sebanyak lima kali.

Perasaan “khawatir” itu ditemani semacam perasaan ikhlas bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya, dan tentu saja, akan kembali pada-Nya. Walau sudah merasa ikhlas dan saya pikir saya telah menyiapkan perasaan saya, ternyata itu semua tak sepenuhnya berguna.

Setelah dua hari di rumah sakit, pada hari Kamis sekitar pukul 12.15, bapak berpulang pada-Nya. Perjuangan bapak selama tujuh bulan berjibaku dengan penyakitnya akhirnya selesai sudah. Hati saya rasanya dicerabut dari tubuh. Perasaan sedih melanda diri dengan cepat dan mendalam. Satu lagi pelajaran tentang rasa sedih akan kehilangan orang yang kita cintai: kita tidak akan pernah siap menghadapi rasa sedih dan kehilangan walau sebelumnya kita yakin kita sudah siap dan ikhlas menghadapinya.

Saya bertambah sedih melihat ibu, istri dan adik-adik yang ditinggalkan. Saya juga menyesal luar biasa karena saya merasa saya kurang maksimal dalam memberikan perhatian dan berusaha. Tetapi di atas semua itu, sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga kami, saya mesti tabah, kuat, dan mencoba menghibur semua anggota keluarga yang sedang berduka. Saya tahu saya akan kuat dan saya lihat, seluruh anggota keluarga, terutama ibu, terlihat tegar.

Ini adalah jalan terbaik bagi bapak….

Bapak dan ayah adalah dua orang laki-laki yang saya kagumi di dalam hidup saya. Kebetulan keduanya memiliki persamaan. Keduanya suka sekali dengan sepakbola. Persamaan yang lain adalah, keduanya sangat mencintai keluarga walau dengan cara yang berbeda. Bapak mendidik anak-anaknya dan satu cucunya dengan perhatian dan ketelatenan yang luar biasa. Sementara ayah dengan disiplin tinggi dan ketegasan bersikap.

Keduanya meninggalkan saya dengan cara berbeda. Ayah meninggalkan saya dengan sangat mendadak. Sore hari ketika buka bersama dengan teman-teman pada bulan Ramadhan tahun 2003, saya masih mengobrol via telepon tentang pertandingan klub sepakbola favoritnya, AC Milan. Pagi harinya sekitar pukul 04.00, ayah meninggal karena serangan jantung.

Bapak pergi meninggalkan kami setelah berjuang selama setengah tahun lebih. Saya menyaksikan beliau berjuang mengatasi penyakitnya dengan luar biasa. Di tengah sakit beliau masih ikut merayakan ulang tahun cucunya, Vari, dengan gembira walau pada waktu itu beliau baru pulang dari rumah sakit. Cara kepergian yang berbeda tersebut membuat saya sadar akan arti kehidupan: dalam keadaan apa pun kita harus siap bila sewaktu-waktu dipanggil oleh-Nya.

Sesuatu yang lebih menguatkan saya dalam menghadapi kehilangan adalah ketegaran anak saya, Vari. Walau ia memeluk erat dan menangis ketika jenazah bapak sampai di rumah dan menjelang dimakamkan, secara umum Vari sangat tegar. Ia sudah merasakan kehilangan pada usia sangat muda. Vari ingat benar betapa dekat bapak dengan dirinya. Banyak mainan yang dibuatkan bapak untuknya. Banyak waktu dan perhatian yang dilberikan bapak untuknya. Untuk itu saya sangat berterima kasih pada bapak.

Tidak hanya Vari dan kami yang merasa kehilangan. Adik-adik kandung saya pun pasti merasakan hal yang sama. Yudha, adik saya yang sedang bersekolah doktoral di Taiwan, ketika mendapat kabar bapak meninggal mengirimkan sms pada saya bila ia sangat sedih karena bapak juga seperti ayah baginya. Adik bungsu saya, Prana, juga merasakan hal yang sama. Bapak menjadi wakil keluarga dalam prosesi pernikahan adik saya itu. Setelah pernikahan adik saya pada Desember 2008 itulah kesehatan bapak menurun. Saya yakin, adik saya yang lain, Ratih yang sedang berada di Inggris, juga merasakan hal yang sama selama berinteraksi dengan beliau. Bapak memang selalu “mempesona” orang lain yang berinteraksi dengannya dengan tindakan dan gaya bicaranya.

Tidak hanya bagi keluarga kami saya kira, perginya bapak juga membuat banyak orang kehilangan. Paling tidak ini disampaikan oleh wakil warga yang bercerita betapa pentingnya peran bapak dalam mewujudkan perumahan Gunung Sempu nan asri. Bapak dan teman-temannya tidak hanya mendirikan perumahan yang juga menjadi tempat tinggal saya itu. Bapak juga membantu mewujudkan wilayah Gunung Sempu menjadi hijau seperti sekarang. Itulah sebabnya perumahan tersebut bernama PPLH (Proyek Pengembangan Lingkungan Hidup). Begitu suatu kali bapak pernah bercerita pada saya.

Vari bertanya pada saya ketika bapak disemayamkan di rumah. “Ayah, kalau Vari kangen main sama kakung, gimana dong?” Saya hanya diam. Sebelum saya sempat merespons pertanyaannya, dia sudah menjawab pertanyaannya sendiri…”Kan, Vari bisa main sama uti ya yah..”. Mata saya mulai berkaca-kaca…”Walau kakung dah meninggal, Vari kan masih punya uti. Kalau Vari kangen ama kakung, Vari tinggal berdoa pada Tuhan.” Sambil menahan air mata saya hanya bisa bilang…”Kakung sudah bahagia di surga, sayang…”. Matanya yang polos menatap saya. Vari memahami semuanya.

Bapak, maafkan bila saya kurang maksimal dalam memberikan waktu dan perhatian selama ini…Saya hanya bisa memastikan saya akan menjaga ibu dan anak-anak bapak dengan sebaik-baiknya.

Saya juga pasti memberikan yang terbaik dalam membesarkan cucu kesayangan bapak…

Salam untuk ayah bila bertemu di sana…selamat berdiskusi tentang sepakbola…coba tanya pada ayah apakah kesebelasan favoritnya masih AC Milan pasca penjualan Kaka…

I love u full bapak (dua hari sebelum bapak pergi bapak mendengarkan album mbah Surip)…

Visi bapak atas kehidupan selalu menjadi inspirasi saya…

Bapak, selamat jalan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...