Seorang tokoh keilmuan berkontribusi terhadap disiplin ilmu atau sebuah kajian dalam beragam cara. Seorang tokoh dapat berperan dalam merintis, institusionalisasi dan membangun ilmu. Dalam ilmu komunikasi misalnya, kita mengenal Claude Shannon, Norbert Wiener, Harold D. Lasswell, Kurt Lewin, Carl Hovland, dan Paul F. Lazarsfeld sebagai perintis. Kita tentu tidak dapat melupakan jasa Wilbur Schramm sebagai ilmuwan yang menginstitusionalkan ilmu komunikasi. Tanpa Schramm program studi ilmu komunikasi tidak akan berdiri di kampus-kampus seluruh dunia. Bukan kebetulan bila ilmu komunikasi di masa awalnya lebih bersifat pragmatis dan positivistik. Hal ini disebabkan semua tokoh yang berperan sebagai perintis dan penginstitusional tadi berasal dari Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, asumsi-asumsi mendasar ilmu komunikasi pada masa itu mulai dipertanyakan. Beberapa asumsi dasar itu mulai mendapatkan kritik yang keras. Hal yang dipertanyakan kembali misalnya asumsi bahwa fenomena komunikasi berlangsung secara linear dan sinkronik. Juga tidak hadirnya konteks kepentingan, hegemoni dan pemaknaan dalam proses komunikasi, terutama proses komunikasi massa. Salah seorang tokoh yang gencar mengkritik asumsi-asumsi dasar tersebut adalah Stuart Hall.
Pada titik ini, Stuart Hall bukan berperan sebagai perintis atau pelembaga sebuah ilmu, ia berperan sebagai “pembongkar” ilmu. Pembongkar ilmu juga diperlukan untuk ilmu itu sendiri. Melalui para pembongkar ilmu seperti Hall inilah sebuah ilmu akan terus berkembang dengan dinamis. Kita mengenal ilmu komunikasi yang lebih kaya konsep seperti sekarang ini antara lain karena kontribusi Hall. Pada sisis lain, Hall juga mengintrodusir ranah lain yang kita kenal sebagai cultural studies. Sebuah ranah yang melampaui sekat-sekat ilmu dan memberikan dasar pemahaman atas posisi ideologis seorang ilmuwan.
Bagaimana Stuart Hall melakukannya? dalam hal ini kita juga tidak dapat mengabaikan peran BCSC (Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies). Hall bersama BCSC membongkar pemahaman ilmu komunikasi terutama elemen pesan dan audiens sekaligus merintis kajian baru yang kelak dikenal dengan nama cultural studies. Sebelum Hall menjadi direktur BCSC, lembaga ini telah hadir di Inggris.
Lembaga ini hadir untuk memberikan tafsir lain atas berbagai fenomena sosiokultural yang terjadi Pasca Perang Dunia II. Pengaruh Marxisme sangat besar pada para ilmuwan yang bernaung di bawah BCSC. Tetapi tentu saja mereka memberikan nuansa baru atas Marxisme dan menambahkan dengan psikonalisis dan strukturalisme sehingga BCSC memiliki posisi yang unik dalam perkembangan ilmu sosial dan humaniora.
Birmingham centre hadir untuk melawan hegemoni perspektif ilmuwan Amerika Serikat dalam melihat fenomena komunikasi. Kebetulan di Inggris juga berdiri LCMC (Leicester Centre for Mass Communication) yang secara langsung menjadi rival pemikiran Birmingham centre. Melalui Hall sebagai direktur keduanya, Birmingham centre mengambil posisi yang berbeda dengan Leicester centre dalam mengeksplorasi ilmu komunikasi. Leicester centre mengadopsi model riset yang dikembangkan di Amerika Serikat awal abad ke-20. Sebuah pendekatan saintifik di mana peneliti mengukur efek kognitif dan perilaku audiens media massa. Sebuah metode riset yang dekat dengan ilmu alam. tidak memiliki kepentingan dan kuantitatif. Sementara Birmingham centre memperlakukan media sebagai fenomena yang secara mendasar ideologis dan peka terhadap konteks kultural. Interaksi antara audiens, pesan media, komunikator dan budaya sangatlah kompleks dan hanya bisa didekati dengan metode etnografi yang melalui interpretasi, interview kualitatif dan observasi.
Birmingham centre di bawah koordinasi Hall kemudian melihat media dalam konteks proses politis dan sistem kebahasaan, juga tanpa menghierarkikan kebudayaan. Tak heran Brimingham kemudian dikenal karena memiliki ragam eksplorasi keilmuannya yang kaya, antara lain: feminisme dan budaya (Angela McRobbie), studi audiens dengan menggunakan etnografi (David Morley), dan budaya anak muda (Dick Hebdige).
Secara individual, kontribusi Stuart Hall diekstraksikan dalam konsep Encoding/Decoding. Di dalam essainya yang sangat berpengaruh berjudul sama dengan konsepnya, Encoding/Decoding, Hall menunjukkan bahwa audiens, teks (pesan) media, dan produsen pesan berada dalam interaksi yang kompleks. Konsep tersebut mengintegrasikan analisis semiotik dan sosiologi atas fenomena bermedia dimana memberikan porsi yang sama atas peran audiens dan produsen pesan. Konsep ini menengahi perdebatan yang mempertanyakan pihak yang dominan, media atau audiens, sekaligus memberikan tafsir baru atas audiens dimana dalam pemahaman sebelumnya audiens dianggap sangat lemah atau bila tidak, audiens sebagai pihak yang otonom sama sekali.
Di dalam Encoding/Decoding sendiri dikenal beberapa fase. Fase-fase tersebut adalah:
• The moment of encoding
• The moment of the text
• The moment of decoding
• Dominant (hegemonic) reading
• negotiated reading
• oppositional ('counter-hegemonic')
Di luar kontribusinya terhadap dunia keilmuan, Stuart Hall memiliki kehidupan yang unik. Ia lahir di Kingston, Jamaika, pada tahun 1932. Pada tahun 1951 bersama ibunya ia pindah ke Inggris. Mereka tinggal di Bristol sebelum Hall berkuliah di Universitas Oxford. Sebagai seorang sosialis, pada tahun 1950-an ia bergabung dengan E. P. Thompson, Raphael Samuel, Ralph Miliband, Raymond Williams and John Saville untuk menerbitkan dua jurnal radikal The New Reasoner dan New Left Review.
Pada tahun 1957 sampai dengan 1960-an awal, Hall menjadi guru di Brixtol dan mengajar studi media di Chelsea college. Pada tahun 1964 ia menulis di The Popular Art. Hasilnya, ia diundang oleh Richard Hoggart bergabung dengan Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Pada tahun 1968 Hall menjadi direktur lembaga tersebut dan menjadikannya sebuah institusi yang penting. Beberapa tahun setelahnya, Hall menulis beberapa buku, antara lain Situating Marx: Evaluations and Departures (1972), Encoding and Decoding in the Television Discourse (1973), Reading of Marx's 1857 Introduction to the Grundrise (1973) dan Policing the Crisis (1978).
Pada tahun 1979 Hall mendapatkan gelar profesor sosiologi di Open University. Buku yang ditulisnya pada era ini adalah The Hard Road to Renewal (1988), Resistance Through Rituals (1989), Modernity and Its Future (1992), The Formation of Modernity (1992), Questions of Cultural Identity (1996), Cultural Representations and Signifying Practices (1997) dan Visual Cultural (1999). Pada tahun 1997 Hall pensiun dan menjadi pembawa acara sebuah program bernama Politically Incorrect di CNBC. Stuart Hall juga dianggap sebagai salah satu dari 50 orang kulit hitam paling berpengaruh di Inggris.
Apa inspirasi yang diberikan oleh Stuart Hall: merintis tanpa mendirikan sekaligus terus berkontribusi. Kita akan tetap mengenalnya sebagai perintis cultural studies sekaligus semangatnya untuk memberikan perhatian pada yang tidak terperhatikan. (dari berbagai sumber)
(ini adalah tulisan lama saya yang pernah muncul dalam newsletter Polysemia edisi 4. Ditampilkan di sini sebagai seri ilmuwan ilmu komunikasi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar