Rabu, 05 Agustus 2009

Jurnalisme, Fotografi dan Musik

Sabtu kemarin ada acara yang berkesan bagi saya. Berkesan secara personal karena: pertama, saya merasa menemukan wahana yang tepat untuk mendiskusikan musik dengan lebih “serius” dari perspektif keilmuan. Bukan semata-mata dari musik itu sendiri.
Bila dilihat lebih mendalam, memang seharusnya musik dikaji secara lebih serius. Dari sudut pandang keilmuan ilmu komunikasi misalnya, musik populer (recording) hadir di semua buku pengantar media massa. Khrisna Sen, salah seorang peneliti media Indonesia dari Australia, juga memasukkan musik populer dalam bukunya tentang media di Indonesia. Sayangnya, tidak ada mata kuliah mengenai musik rekaman sebagai media massa, seperti halnya film, media penyiaran, dan media cetak, bahkan media baru.

Kedua, karena acara diskusi “Jurnalisme, Fotografi dan Musik” ini dilaksanakan di gedung eks ISI Yogyakarta di mana di sebelahnya ada gedung sekolah saya, SMA N 1 “Teladan” Yogyakarta. Ketika datang ke acara tersebut saya tidak langsung ke lokasi acaranya melainkan berputar-putar dulu di sekitar gedung eks ISI itu. Saya melihat-lihat SMA 1 dan eks rumah-rumah teman, kontrakan dan kost, yang ada di sekitar SMA saya itu.

Acara ini dihadiri oleh Jim Allen Abel aka Jimbo, eks fotografer resmi Padi, dan Soleh Solihun, wartawan Rollingstone Indonesia. Jimbo bercerita tentang pengalamannya menjadi fotografer mulai Padi belum terkenal sampai tahun 2005. Peran fotografer penting untuk menangkan imaji band tertentu, tidak hanya sebagai pendokumentasi belaka.
Jimbo menampilkan banyak foto Padi yang tidak muncul di media massa. Ada beberapa yang bagus dan sangat berani untuk ukuran pengambilan foto. Sebelum acara saya dan Jimbo bertukar opini mengenai peran fotografi dalam musik populer. Jimbo sangat kagum dengan foto-foto album Pink Floyd yang menurutnya sangat bagus. Saya kemudian berpendapat bagaimana cover album yang tidak jarang mengambil foto band, tidaklah kondusif untuk musik populer Indonesia karena foto itu terkontaminasi pemesanan RBT yang muncul di album.

Soleh Solihun berbicara banyak tentang profesi wartawan musik. Saya juga dulunya bercita-cita menjadi wartawan musik. Sayangnya keinginan itu harus dipendam karena ketika lulus dulu, sulit memasuki profesi tersebut karena krisis ekonomi yang mendera Indonesia pada tahun 1998.
Menurut Soleh, wartawan musik adalah profesi yang mengasyikkan karena bisa menonton penampilan sebuah band dan mendengarkan album-album baru dengan gratis. Semua aktivitas itu dibayar lagi alias mendapatkan gaji. Kita juga bisa melihat bagaimana tulisan-tulisan Soleh di Rollingstone juga bagus dan menggugah kita untuk terus membaca.

Hal lain yang unik adalah ketika dia bercerita aktivitasnya selama kuliah sehingga tertarik mendalami jurnalisme musik. Soleh jengah karena sewaktu ia kuliah, semua mahasiswa sibuk berbicara tentang politik, seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari politik. Soleh dan teman-temannya malah membuat tabloid tentang gosip di kampus. Menurutnya, hal-hal yang “sepele” perlu juga diperhatikan, tidak hanya urusan politik. Hal tersebut sangat penting, tidak hanya bagi dunia kampus tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat secara umum.
Bagi saya pribadi, melihat sosok Soleh saya membayangkan tokoh utama dalam film “Almost Famous”. Tokoh di dalam film itu tekesan lugu tetapi punya passion yang kuat terhadap musik. Saya mengutip apa yang disampaikan Soleh bahwa kita mesti menemukan “nyala api” di dalam dada kita, hasrat utama kita di dalam kehidupan. Nyala api Soleh ternyata ada di jurnalisme musik.

Saya seperti tertohok, nyala api saya di mana ya? yang jelas menulis adalah "nyala api" utama saya. Tidak harus jadi wartawan musik, seperti yang saya impikan dulu. Menjadi akademisi ilmu komunikasi yang peduli pada musik populer saya kira sudah sangat bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...