Rabu, 05 Agustus 2009

Bebas dari Belenggu Negara Misteri dan Negara Horor

Hari Sabtu adalah hari yang paling saya tunggu. Selain karena Sabtu adalah hari saya bercengkrama bersama anak dan istri, Sabtu terkadang juga merupakan hari penuh inspirasi karena saya berdiskusi bersama teman-teman senior yang akan melanjutkan ke level doktoral. Tetapi yang terpenting, tentu saja karena Sabtu seringkali penuh dengan pencerahan karena biasanya saya berdiskusi dan bekerja bersama teman-teman “seperjuangan” pada hari tersebut.

Saya biasanya berdiskusi dengan teman-teman dalam kelompok diskusi kami yang bernama PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer). Atau pilihan yang lain, kami berkumpul dengan teman yang lebih banyak: lintas profesi dan lintas institusi. Sabtu kemarin saya berkumpul dengan teman-teman tersebut untuk menelaah RUU Kerahasiaan Negara yang akan segera disahkan oleh DPR.

Sejauh saya punya kesempatan dan waktu, saya berusaha maksimal hadir mengikuti berbagai acara diskusi tersebut. Tujuan saya bukan hanya dapat berinteraksi dengan teman-teman akademisi, profesional, dan aktivis bidang komunikasi yang di Yogya ini lumayan banyak, tetapi juga berguna untuk kepentingan profesional saya. Dalam konteks acara ini, pengetahuan saya berkaitan dengan kajian hukum media yang saya ampu, pastinya akan bertambah.

Acara yang dilaksanakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan SET (Sains Estetika Teknologi) ini menampilkan Ichlasul Amal (Ketua Dewan Pers), Djoko Susilo (anggota DPR), M. Irsyad Thamrin (Direktur LBH Yogyakarta), dan Agus Sudibyo (Koalisi untuk Kebebasan Informasi).
Menurut saya acara ini bagus tetapi mungkin sudah terlambat karena rancangannya sudah selesai.

Tinggal tunggu pengesahan saja. Walau demikian, pemahaman masyarakat akan RUU ini memang perlu ditingkatkan karena undang undang ini dapat mematikan proses demokrasi yang sudah berjalan sejak tahun 1998. Lebih jauh dari itu, undang undang ini punya potensi besar untuk membelenggu kebebasan bermedia yang kita rasakan dalam waktu yang cukup lama.

Saya mengutip dua istilah yang muncul dari diskusi ini, yaitu arcana imperi atau negara misteri dari Agus Sudibyo dan negara horor dari Irsyad Thamrin. Negara misteri adalah istilah yang dikeluarkan sendiri oleh penggagas RUU. Negara, yang jangan-jangan, berjalan tanpa keterbukaan kepada masyarakat, tetapi prosesnya misterius. Hanya diketahui oleh segelintir orang saja.

Sementara itu, negara horor, mengacu pada betapa mengerikannya undang undang ini nantinya. Produk hukum ini dapat menjadi “pelindung” bagi pejabat negara yang korup karena alasan keberadaannya memang ditujukan untuk kepentingan negara, bukan kepentingan masyarakat. Selain itu, ancaman pidana yang berat akan menjadi momok yang menakutkan bagi semua elemen masyarakat sipil.

Sementara itu, anggota DPR, Djoko Susilo, meminta aktivis pembela kebebasan informasi harus berfokus pada segelintir orang yang menjadi penyusun utama RUU Kerahasiaan Negeri bila masih ingin melobi. Lobi mungkin upaya yang perlu dilakukan walau cukup terlambat. Hal lain adalah kita tidak perlu terdikotomi antara sipil dan militer. Menurut Djoko, penggagas RUU kerahasiaan negara justru merupakan sipil, dan juga akademisi. Nah lo…

Peran media tentu saja besar dalam menguatkan masyarakat sipil agar berhati-hati terhadap undang undang ini. Paling tidak perjuangan tersebut mendekati seperti kasus Prita Mulyasari. Masyarakat sipil dari berbagai elemen mesti mengerahkan segala daya upaya untuk menentang kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuatan ekonomi yang korup, aparat penegak hukum yang tidak kompeten, dan kesewenang-wenangan, akan kalah oleh opini publik. Opini publik yang bergerak menjadi aksi karena rasa keadilan masyarakat dilukai.

Walau masih ada wartawan yang tidak profesional, upaya untuk terus mengedepankan demokrasi melalui media perlu selalu dilakukan. Paling tidak agar negara misteri dan negara horor tidak semakin mengemuka. Apa memang begitu sulit ya, mengingat masyarakat kita sendiri dininabobokan dengan sinetron horor dan misteri….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...