Jumat, 07 Agustus 2009

Gone Too Soon…: Mbah Surip dan “Kekejaman” Industri Media Hiburan

Pergi terlalu cepat…begitulah bila kita cermati karier mbah Surip di dunia hiburan. Bukan berarti mbah Surip baru di dunia hiburan. Walau sudah lama ada di panggung live bertahun-tahun sebelum ngetop, popularitasnya yang luar biasa baru sebentar saja. Kira-kira baru dua bulan setelah lagunya “Tak Gendong” menjadi hits. Di tengah puncak karier Mbah Surip tiba-tiba harus meninggalkan “panggung”.

Ia meninggalkan panggung dengan cepat karena panggung itu sendiri: panggung dunia hiburan.
Saya mengambil judul “Gone Too Soon” bukannya tidak disengaja. Lagu itu adalah lagu Michael Jackson dari album favorit saya pada tahun 1991, Dangerous. Lagu itu menggambarkan betapa Michael Jackson dan Mbah Surip pergi terlalu cepat karena “digerus” oleh panggung hiburan itu sendiri.

Pergi terlalu cepat karena seharusnya kita masih dihibur dengan lirik-lirik lagu Mbah Surip yang lucu tetapi cerdas. Pergi terlalu cepat karena masyarakat Indonesia masih perlu dihibur oleh penghibur sejati semacam Mbah Surip. Juga karena kita kehilangan para penghibur karena banyak dari mereka yang bermimikri menjadi politisi, terutama anggota legislatif.

Mbah Surip meninggalkan kesan yang mendalam pada masyarakat kita. Itu terlihat dari masyarakat yang menyemut dalam pemakamannya. Sampai-sampai Presiden kita melakukan konferensi pers menyatakan duka cita. Walau begitu, ada juga yang memandang rendah Mbah Surip.

Menurut mereka, lirik lagu Mbah Surip menunjukkan banalitas (rendahnya) selera. Justru di sini letak masalahnya. Siapa sebenarnya penentu selera di dalam industri hiburan? Apa indikator utama dari selera selain dicintai fans-nya? Menurut saya, lirik lagu Mbah Surip sudah lucu dan “mengangetkan” terlepas dari kesuksesannya di era Ring Back Tone (RBT), yang kabarnya mencapai 4 milyar itu.

Lebih bagus seperti Mbah Surip. Liriknya dinilai rendah tetapi sesungguhnya cerdas dan mengandung nilai filosofis yang mendalam. Ini masih lebih baik daripada orang yang berpura-pura dan “berperan” cerdas tetapi sesungguhnya kosong belaka. Kedalaman lirik lagu Mbah Surip justru dapat diselami terutama dari lagu-lagunya yang kurang populer, semisal “Aku Ganteng”, “Tukang Nasi Goreng”, dan “Melody Sekuriti”.

“Aku Ganteng” misalnya, lagu ini mengritik masyarakat kita yang cenderung hanya memperhatikan hal-hal yang tampak. Di lagu “Tukang Nasi Goreng” Mbah Surip berkisah masalah eksistensialisme. Tentang hilangnya seorang tukang nasi goreng di tengah malam. Lirik semacam ini hanya bisa ditulis oleh orang yang sudah makan asam garam kehidupan seperti dirinya.

Lagu Mbah Surip favorit saya adalah “Melody Sekuriti”. Melalui lagu ini saya merasakan sedikit kesendirian Mbah Surip di waktu malam. Kalimat “klonang kloneng ya klonang kloneng” yang sederhana itu justru sangat menghujam hati, menunjukkan kesendirian. Tapi dasar Mbah Surip, lagu ini kemudian berubah menjadi “masalah sepele” kesalahan menempel prangko dengan materai padahal surat yang ditulisnya ditujukan untuk sang pacar.

Pada dasarnya, semua lagu Mbah Surip seperti itu. Lagu yang ketika didengarkan pertama-kali seperti lagu jenaka biasa. Setelah didengarkan berulang-ulang dan lebih seksama, dapatlah kita temukan kedalaman isinya.

Di luar semua itu, ada juga yang menyatakan bahwa Michael Jackson dan Mbah Surip adalah “korban-korban” dari industri media hiburan. Dunia yang pada awalnya menjadikan mereka terkenal. Dunia hiburan yang dari luar sepertinya indah dan glamour tetapi sesungguhnya penuh jebakan dan bisa mendehumanisasi “anak-anaknya” sendiri.

Pada kasus Michael Jackson contohnya. Dia tidak bisa melepaskan diri dari citra yang diharapkan industri atas dirinya. Walau menjadi seniman kulit hitam pertama yang menembus banyak dominasi, antara lain penyanyi kulit hitam yang pertama-kali tampil di MTV, MJ tetap merasa dia tidak cukup diapresiasi oleh media. Michael Jakcson terus-menerus berada dalam kondisi “tidak menerima” kehadiran fisik dirinya sendiri.

Sedangkan Mbah Surip berbeda. Sepertinya industri media hiburan dan kita menerima kehadiran Mbah Surip apa adanya: rambut gimbalnya, tawanya, dan sikapnya yang berbicara sekenanya. Sosok Mbah Surip yang berbeda tersebut justru menjadi ciri khasnya. Di balik itu semua, akhirnya kita memahami bahwa karakter utama industri hiburan adalah dehumanisasi.

Industri hiburan tidak melihat keragaman “komoditas” yang sedang populer. Entah seorang penyanyi berusia muda atau tua, asalkan dia masih moncer, dia akan dieksploitasi terus-menerus. Industri hiburan “menghabisi” fisik Mbah Surip secara luar biasa.

Kita akan kaget ketika jadwal Mbah Surip dilansir baru-baru ini. Dia harus tampil di banyak acara televisi berkali-kali dalam sehari, belum lagi jadwal manggung dua sampai empat kali, dan wawancara yang juga harus dipenuhi. Karena itu tak heran sewaktu sakitnya yang terakhir sebelum meninggal, ia tak mau ke rumah sakit karena “takut” dikerubungi wartawan, terutama wartawan infotainment. Keterangan ini diberikan oleh Mamiek Prakoso, pelawak rekan Mbak Surip yang rumahnya menjadi tempat “mengungsi”.

Mbah Surip sangat percaya (dan dipengaruhi) pada/oleh otoritas yang lebih “besar”, antara lain, pemerintah (dalam lagu “Melody Sekuriti”) dan pak Carik – pak Lurah, pejabat lokal (dalam lagu “Aku Ganteng”). Sayangnya, dia mungkin tidak memahami “tangan yang lebih besar”, tangan yang juga mungkin lebih kejam daripada tangan pemerintah, yaitu industri hiburan. Industri yang mendehumanisasinya. Bagi industri hiburan sendiri, bintang-bintang seperti Mbah Surip dan Michael Jackson akan selalu datang silih berganti. Tak peduli seberapa besar dan sehebat apa pun mereka.

Walau demikian, semangat Mbah Surip untuk berkesenian dengan total dan juga kesederhanaannya di tengah keterkenalan, akan seharusnya mengilhami dunia hiburan kita. Saya mengutip komentar anak saya, Vari: “Ayah, Michael Jackson dan Mbah Surip sudah bersama-sama ya yah ? Michael Jackson menari (dia menirukan lengkingan khas Michael Jackson). Mbah Surip tertawa (sambil menirukan tawa khas Mbah Surip)”.

“Mungkin saja Nak…mungkin saja”….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...