Rabu, 05 Agustus 2009

Permasalahan Komunikasi dalam Kasus Prita Mulyasari

Belakangan ini banyak pihak menyoal permasalahan komunikasi yang muncul dari kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional. Salah satu tulisan yang permasalahan komunikasi adalah opini di harian Kedaulatan Rakyati tanggal 11 Juni 2009 kemarin yang berjudul Dokter dan Keluh Kesah Pasien oleh Ahmad Syaify. Tulisan tersebut menyimpulkan bahwa kasus Prita sebetulnya “hanya” masalah miskomunikasi antara dokter dengan pasiennya atau penerima dan penyedia layanan medis.

Opini tersebut bagus untuk memahami komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien tetapi terdapat beberapa pernyataan yang menurut penulis tidak tepat. Hal yang utama adalah permasalahan komunikasi itu sendiri. Pertanyaannya, komunikasi yang mana? Mengingat proses komunikasi adalah proses yang kompleks, penjelasan bahwa kasus Prita adalah semata permasalahan komunikasi antara dokter dan pasien jelas mereduksi persoalan.

Proses komunikasi yang pertama dan paling tinggi frekuensi terjadinya adalah proses komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal terjadi di antara sedikit orang, di mana pelaku komunikasi berinteraksi secara intens. Diskusi antara dokter dan pasien dapat dikategorikan sebagai komunikasi interpersonal. Permasalahannya, dokter adalah profesi yang berkaitan dengan orang banyak. Dengan demikian, dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien. Setiap pasien adalah individu yang harus mendapatkan layanan komunikasi yang baik, terutama pemberian informasi yang memadai dan empatik.

Selain itu, kasus Prita versus RS Omni Internasional juga adalah proses komunikasi organisasional. Rumah sakit adalah sebuah sistem dari beberapa bagian yang menjalankan fungsi pelayanan kesehatan dengan prosedur tertentu. Proses distribusi informasi di antara bagian atau divisi di dalam rumah sakit adalah salah satu bentuk komunikasi organisasi. Dalam kasus ini, komunikasi organisasi RS Omni Internasional belumlah bagus. Pasien yang mengeluh karena pelayanan yang menurutnya tidak memadai adalah sesuatu yang wajar. Hal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana keluhan tersebut didistribusikan dan dimaknai oleh bagian pengaduan, tenaga medis, dan praktisi humas rumah sakit. Jangan sampai komunikasi organisasi yang kurang baik dari rumah sakit berimbas kepada pasien secara negatif.

Kasus Prita dengan RS Omni Internasional juga memperlihatkan proses komunikasi yang paling penting dalam era keterbukaan seperti sekarang ini. Proses komunikasi tersebut adalah proses komunikasi publik dan massa. Setiap organisasi yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, termasuk rumah sakit, selalu menjalankan komunikasi eksternal kepada publik dan massa. Di dalam konteks ini, publik dapat diartikan secara bebas sebagai sekumpulan orang yang ada di sekitar isu tertentu. Publik memiliki pendapat tertentu mengenai sebuah peristiwa. Di dalam kasus Prita, publik yang pro terhadap Prita jauh lebih banyak daripada publik yang pro terhadap RS Omni Internasional. Humas RS Omni Internasional seharusnya mengklasifikasikan tindakan komunikasinya kepada publik yang berbeda.

Sementara massa diartikan secara bebas sebagai sekumpulan orang yang sangat banyak tetapi mereka mengakses informasi yang sama. Massa bisa jadi memiliki informasi tetapi belum berpihak terhadap isu. Massa adalah tujuan pemberian informasi umum karena berhak mendapatkan informasi tersebut. Pemberian informasi ketentuan biaya pelayanan kesehatan oleh departemen kesehatan adalah contoh jenis komunikasi untuk massa.

Proses komunikasi eksternal juga harus dijalankan dengan terbuka dan menghargai masyarakat (publik dan massa). Proses feedback (umpan balik) dari pasien harus disikapi dengan proporsional oleh rumah sakit. Keluhan Prita secara personal melalu email kepada sepuluh teman dekatnya tidak perlu disikapi secara berlebihan. Bila pun email itu muncul di mailing list, pihak humas rumah sakit dapat merespons keluhan tersebut dengan media yang sama. Menulis untuk berkeluh-kesah atau menyampaikan kritik jelas dibenarkan asalkan memberikan bukti dan tidak berbohong. Di dalam kasus Prita yang dipermasalahkan oleh publik adalah “tindakan” balasan RS Omni Internasional yang berlebihan yang mencederai perasaan masyarakat.

Terlihat dengan jelas bagaimana RS Omni Internasional tidak bisa mengklasifikasikan publik dan mitra komunikasi dengan baik. Pertama, mereka tidak memahami bahwa kasus Prita berkembang menjadi isu yang besar karena media massa dan media interaktif. Bentuk-bentuk media seperti suratkabar, majalah berita, dan televisi, jelas berbeda dengan mailing list dan facebook misalnya. Tindakan komunikasi melalui dan terhadap setiap bentuk media, utamanya media massa dan media interaktif, jelas berbeda.

Berkomunikasi dengan berbagai pihak juga berbeda dan tidak bisa disamakan. Tindakan komunikasi RS Omni Internasional yang berkomunikasi secara “keras” dengan DPR memberikan efek negatif yang lebih besar. Kini opini publik semakin kontra bagi RS Omni Internasional. Hal ini terlihat dari jumlah anggota thread Say No To RS Omni Internasional di facebook yang mencapai ribuan, juga rencana tuntutan beberapa mantan pasien yang menduga RS Omni Internasional melakukan malpraktek. DPR pun merekomendasikan pencabutan ijin untuk RS Omni Internasional. Bila sampai pada titik eksistensial seperti ini, proses komunikasi krisis yang harus dijalankan RS Omni Internasional harus meliputi komunikasi interpersonal, organisasional, dan publik secara lebih terpadu dan intens, bila pengelola RS Omni Internasional tidak ingin keberadaan mereka hilang.

Kesimpulannya, suatu peristiwa komunikasi antara pihak organisasi/korporasi dengan masyarakat tidaklah satu wajah. Terjadi ragam proses komunikasi. Sebaiknya, pihak dokter atau penyedia layanan kesehatan melihat dan memilah komunikasi dengan lebih cerdas dan tepat. Publik adalah elemen yang sangat penting di era kebebasan dan keterbukaan seperti sekarang ini. Semua tindakan komunikasi yang berkaitan dengan masyarakat harus disikapi dengan terbuka dan menghargai prinsip-prinsip saling menghormati.

Penulis setuju dengan pernyataan saudara Ahmad Syaify dalam opininya bahwa pendidikan dokter harus juga memberikan pengetahuan dan kecakapan komunikasi. Hal inilah yang harus dipahami oleh dokter, juga tenaga medis yang lain, bahwa pengetahuan dan kecakapan komunikasi itu penting. Tidak hanya dalam konteks komunikasi interpersonal atau demi kepentingan profesi, melainkan juga demi kepentingan yang lebih luas: kepentingan masyarakat

(opini ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Kamis, tanggal 18 Juni 2009. Diniatkan untuk memicu diskusi lebih jauh demi kepentingan publik yang lebih luas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...